Mohon tunggu...
Patta Hindi
Patta Hindi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahir di Sulawesi Selatan, tapi tumbuh kembang di Kendari Sulawesi Tenggara I Mengajar di Universitas Swasta I fans klub Inter Milan I blog http://lumbungpadi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Ke) Pasar Kembang

15 Mei 2011   17:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:38 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_108284" align="alignright" width="150" caption="Gambar : google.com"][/caption] Malam itu mulai dingin, singgah sebentar menyeruput teh di angkringan dekat stasiun Tugu sedikit melegakan badan. Tak selang berapa lama lepas magrib, saya dan teman kuliah menyusuri pasar kembang yang luasnya sekitar dua hektar, mungkin lebih luas sedikit dari perkiraan. Seperti pemukiman lainnya, masyarakat membaur, anak kecil berlarian bermain petak-umpet, ada pedagang kaki lima menjajakan makanan. Tapi lansekap yang hadir itu adalah sebuah paradoks. Ada dunia lain yang hadir di pemukiman itu : pelacuran. Dikeremangan itu, gang-gang yang dijejali perempuan berpakain seksi menatap dengan harap. Ada yang mencoba menggoda, “mas tawar berapa ?”, sambil mencubit mesra dan.... Di gang kecil, dengan bedak tebal, gincu merah, pakaian u can see, perempuan-perempuan ayu itu mengerlingkan mata dengan cara menggoda. Berbaris mereka mencari pelanggan, mencari hidung belang yang haus dengan gairah. Teman sayapun mencoba menggoda, “gimana daeng, mau nggak ?” saya membalasnya “kita susuri jalan saja”...Bagi perempuan-perempuan malam itu, tak ada penghasilan juga tak ada pengharapan dalam hidup. sekali "mencicipi" tarif paling murah Rp50.000. Kedatangan saya bukan untuk “mencicipi”. Saya hanya datang untuk melihat realitas di pasar kembang : dunia pelacuran. (maaf saya sedikit sok religius)... Dalam temaran disepanjang lokalisasi itu, saya teringat tulisan Goenawan Mohamad, catatan pinggir-Pelacur. Goenawan melukiskan pelacur bernama Nur memecah batu di siang hari, malamnya menjajakan diri di atas gunung Bolo. Mungkin itu yang terjadi pada perempuan-perempuan ayu itu. ada pekerjaan tambahan untuk bertahan hidup. Sebuah buku yang dikarang Than Dam Truong - Sex, Money and Morality. Melukiskan pelacuran di Thailand sebagai bagian dari industri. Pelacuran berkaitan dengan ekonomi politik. Dalam dunia pelacuran, terkait relasi kuasa dan seks. Ada baiknya menoleh sejenak sejarah seksualitas dalam karya Foucault, berbunyi paling tidak seperti ini, relasi antara kekuasaan dan seks bukan salah satu represi, jauh dari hal itu. (Entah jauh dari hal itu apa menurutnya), tapi menurut saya, Foucault berkata, itu berkaitan dengan ekonomi kesenangan bukan norma-norma. Seks berkaitan dengan ekonomi kesenangan. Jika diperhadapkan pada moral, maka yang menjadi korban adalah pelacur. Tataran normatif memang seperti itu tapi bagemana dengan nasib mereka ? bukankah mereka adalah objek dari kekuasaan ? mereka juga punya hak mendaku punya moral. Mereka punya alat produksi untuk bertahan hidup. " Terkadang Nur berbicara tentang Tuhan (ia belum melupakan-Nya). Ia menyebut-Nya ”Yang di Atas”. Mungkin itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh—tapi justru tak merisaukannya, karena manusia, yang di bawah, tetap berharga: bernilai dalam kerelaannya ". Terkadang kita membenci dosa, tapi kita menyukai orang yang suka melakukan dosa. Siapa yang disebut pendosa disini : pelacur, hidung belang ataukah orang-orang yang selalu melihat sebelah mata para pelacur ?...entahlah dari sini haruskah pelacur dikatakan nista ? saya harus hati-hati untuk memberi jawaban. Setidaknya dia punya alat produksi untuk bertahan hidup. hujan pun mengakhiri perjalan menyusuri pasar kembang....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun