Dalam Pilkada DKI Jakarta sekarang, muncul sebuah pemikiran dan argumentasi yang kerapkali digaungkan oleh beberapa kalangan, bahwa ini sebenarnya adalah pertarungan antara toleransi melawan antitoleransi. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa logika yang menyederhanakan kompetisi Pilkada dalam bingkai tersebut adalah keliru, dan bila dibiarkan, akan memecah belah masyarakat Indonesia yang pada akhirnya memundurkan demokrasi kita.
Perspektif yang melihat Pilkada DKI Jakarta dalam bingkai toleransi versus antitoleransi disampaikan oleh beberapa kalangan, termasuk beberapa media internasional dan juga diamplifikasi oleh beberapa kalangan di dalam negeri Indonesia sendiri (walaupun ada pula yang relatif hati-hati dalam menyimpulkan, seperti di sini).
Misalnya, peneliti CSIS Tobias Basuki mengatakan bahwa Pilkada DKI Jakarta adalah sebuah“litmus test” pada rasa keterwakilan bangsa Indonesia di Jakarta, apakah faktor agama atau rasial akan menjadi penentu dalam Pilkada, menjelaskan bahwa bila Pilkada dimenangkan oleh selain Pak Ahok, maka hal tersebut akan menjadi penentu apakah politisi dan kelompok Islam akan terus menghancurkan pluralisme dan Islam yang toleran untuk tujuan politik.
Hal senada juga disampaikan oleh banyak pihak lain. Deputi Koordinator Nasional Jaringan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto, mengatakan bahwa hanya isu SARA yang dapat menjegal Pak Ahok pada putaran kedua, yang secara tidak langsung mengatakan bahwa seluruh pemilih DKI Jakarta yang tidak memilih Pak Ahok adalah karena agama dan ras dari Pak Ahok. Bahkan penulis buku Indonesia Etc (buku yang bagus, recommended), Elizabeth Pisani mengatakan bahwa hasil Pilkada putaran 1 yang dimenangkan Pak Ahok menunjukkan bahwa rakyat Jakarta tidak mengikuti tren global yang memenangkan para populis karena memilih Pak Ahok ketimbang “demagog yang ingin menggantikannya dengan menyebarkan ketakutan pada orang asing”.
Singkat kata, kalangan ini ingin mengatakan bahwa bila Pak Ahok menang, maka hal tersebut adalah kemenangan pada toleransi, sementara bila kalah maka hal tersebut adalah kemenangan pada intoleransi. Pilkada ini adalah pertarungan antara kelompok pro-toleransi dan antitoleransi. Benarkah?
Keliru berpikir
Mengatakan Pilkada sebagai toleransi vs antitoleransi, atau mengatakan bahwa memilih Pak Ahok adalah bukti mendukung toleransi, sama seperti mengatakan bahwa seluruh orang Indonesia adalah seperti orang Jawa yang suka makan Gudek, atau semua orang Amerika adalah seperti Donald Trump.
Pertama, data menunjukkan bahwa pemilih yang menggunakan alasan agama dalam memilih selain Pak Ahok hanyalah sebagian kecil dari seluruh pemilih Pilkada kemarin. Hal ini ditunjukkan oleh temuan lembaga konsultan dan riset politik, Indikator Politik bahwa dalam putaran pertama yang lalu, hanya 6,5% saja dari seluruh pemilih memutuskan tidak memilih Pak Ahok karena alasan agama. Dengan demikian, mayoritas besar pemilih DKI (94%) memiliki 1001 alasan selain agama dan ras untuk tidak memilih Pak Ahok. Data ini menunjukkan bahwa pemilih selain Pak Ahok bukanlah warga masyarakat yang “antitoleransi” pada agama yang dianut Pak Ahok atau suku Pak Ahok, namun memiliki pertimbangan dan kekhawatiranlainnya sehingga membuat pilihan kandidat lain lebih sesuai bagi mereka.
Bila dilihat lebih jauh, dengan pemilih Muslim sebesar 85%, hampir dipastikan juga bahwa warga Muslim adalah bagian terbesar di antara pemilih Pak Ahok. Merupakan sebuah kekeliruan pula untuk melihat bahwa pemilih Pak Ahok yang memiliki identitas Muslim adalah semata karena mereka memilih Pak Ahok karena demi toleransi dan mengalahkan sentimen “antitoleransi” yang dianggap menjadi alasan para pemilih kandidat lain. Mereka bisa saja memilih Pak Ahok karena kebijakan, kepribadian, rekam jejak, keberpihakan Pak Ahok pada usaha/pekerjaan mereka, dan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan toleransi versus antitoleransi.
Kedua, menyederhanakan pemilih selain Pak Ahok sebagai wujud kaum intoleransi mengabaikan alasan-alasan yang riil, nyata, legitimate atas kekhawatiran yang dimiliki warga DKI sehingga memutuskan tidak memilih Pak Ahok dalam pilkada. Alih-alih disadari bila memang benar, diluruskan bila memang keliru, atau diperbaiki bila memungkinkan, kekhawatiran-kekhawatiran tersebut ditutup dalam karpet merah atau dimasukkan dalam kotak berlabel “antitoleransi”. Ini bukan berdemokrasi yang sehat.
Misalnya, dalam artikel oleh Jewel Topsfield yang dimuat dalam Sidney Morning Herald menyatakan bahwa salah satu alasan sebenarnya mengapa warga DKI Jakarta dari kalangan miskin tidak mendukung Pak Ahok adalah karena penggusuran yang kerapkali dilakukan selama ia menjabat. Kampung Akuarium disebutnya sebagai ground zero atas kebijakan ini di mana warga mengaku hanya diberikan notifikasi 11 hari sebelum penggusuran yang dilakukan untuk membangun sebuah alun-alun wisata relijius karena berdekatan dengan sebuah masjid bersejarah. Para warga pun merasa keberatan mengingat lokasi relokasi mereka yang cukup jauh, 25 kilometer dari kampung di mana mereka mencari nafkah.