Mohon tunggu...
Patrisius Djiwandono
Patrisius Djiwandono Mohon Tunggu... Dosen -

Pemerhati masalah-masalah pendidikan, generasi millennial, dan gejala-gejala sosial budaya lainnya. Introvert, karena itu lebih suka menulis daripada clubbing atau berkampanye. Banyak belajar dari manusia lain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lulusan "Siap Pakai", Apakah Lembaga Pendidikan Kita Memproduksi Celana?

13 Juli 2018   15:00 Diperbarui: 13 Juli 2018   20:48 1737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: istimewa

Saya paling heran dan masygul membaca promosi banyak kampus yang mengandung kalimat "kami melahirkan lulusan yang siap pakai".

Siap pakai?

Pertama, dari segi bahasa saja, penggalan kata yang lazim disebut frasa itu sudah layak dipertanyakan keakuratannya. "Pakai" adalah kata kerja yang umumnya dilekatkan dengan pakaian, topi, sepatu, atau apapun yang dikenakan di tubuh.

Maka kalimat "saya memakai celana jins" adalah berterima karena jins memang sejenis pakaian yang kita kenakan di badan. Untuk mengungkapkan makna "mengambil manfaat dari sesuatu barang dengan cara mengoperasikannya" ada kata "guna". 

Maka, kalimat "saya menggunakan gunting untuk memotong tali itu" adalah berterima. "Saya memakai gunting untuk memotong tali itu" secara semantik akan mengandung arti bahwa saya mengenakan gunting di kepala atau kaki saya untuk bisa memotong tali itu. Aneh, tidak lazim, dan menggelikan.

Kembali pada hal "lulusan siap pakai". Maka, ungkapan itu menyiratkan makna bahwa setelah lulus dari kampusnya, para insan muda terdidik itu akan dikenakan oleh pihak majikan. Jika Anda adalah majikan itu, di bagian tubuh mana Anda akan memakai para lulusan itu? Mungkin akan enak kalau dipakai di perut supaya tidak masuk angin. Atau lebih enak lagi dipakai di bagian sedikit di bawah perut supaya . . . Ah, sudahlah.

Kedua, ungkapan "lulusan siap pakai" menyiratkan makna bahwa lembaga pendidikan tinggi tak ubahnya seperti mesin pabrik yang bekerja sesuai standar tertentu dengan urutan yang sudah baku pula untuk menghasilkan para lulusan yang "siap dikenakan (dipakai)".

Kalau demikian, apa bedanya perguruan tinggi dengan pabrik celana dalam? Keduanya sama-sama berfungsi dengan mengoperasikan mesin-mesinnya sesuai dengan SOP dan standar baku sehingga menghasilkan lulusan yang mutunya sesuai standar pula.

Maka rasanya tidak salah grup band Pink Floyd dengan lagunya "The Wall" mengkritik pedas sistem pendidikan yang hanya mencetak manusia-manusia berpikiran seragam seperti ini. Tidak keliru pula seorang pembicara di TED bernama Sir Ken Robinson menceramahkan dengan elok pemikirannya bahwa sekolah telah membunuh kreativitas.

Kenapa perguruan tinggi bisa seperti ini? Mungkin tidak terlalu keliru untuk menduga bahwa kampus telah menjadi subordinat kaum industrialis. 

Disadari atau tidak (mungkin lebih banyak tidaknya), para pendidik di kampus telah mengikuti dan mengaminkan cara pikir kaum industri yang mengutamakan keseragaman, kecakapan kognitif akademis, dan pembakuan perilaku dan cara berpikir.

Karena itu, ketika berbicara tentang lulusan pun, mereka dengan sendirinya akan mengatakan, "Inilah para lulusan kami yang sudah kami cetak dan proses sedemikian rupa sehingga siap Anda pakai."

Kalau kecurigaan bahwa kampus memang subordinat dunia industri ternyata adalah hal lumrah yang sudah sepantasnya dimaklumi, ya baiklah. 

Kalau memang faktanya demikian ya sudahlah. Namun aspirasi untuk mengasah kreativitas, daya berpikir kritis, orisinalitas, dan semangat kewirausahaan yang tidak jarang berakar dari cara pikir di luar kotak (out of the box) barangkali perlu dikaji ulang. Semua itu bertentangan dengan praktek penerapan standar baku dan keseragaman yang selama ini telah nyata-nyata membelenggu cara pikir sivitas akademik di banyak kampus.

Lalu apa alternatif yang lebih baik untuk menggantikan ungkapan "lulusan siap pakai" tersebut? Sederhana saja solusinya: hapuskan ungkapan itu dari wacana kampus baik ke dalam maupun ke publik luas. Ganti saja dengan yang lebih elok: "Kami melahirkan para lulusan yang mempunyai semangat juang, siap untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkarakter baik."

Melahirkan, bukan mencetak. Ya, karena kata "melahirkan" lebih menyiratkan perjuangan dan pergumulan di dalam untuk kemudian melepas sang bayi itu lahir sebagai insan yang sehat dan menatap mantap ke masa depan, entah apapun bentuknya masa depan itu . . .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun