Mohon tunggu...
Patrisia Dinta P.S.
Patrisia Dinta P.S. Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis Anak dan Remaja

Psikolog Klinis, Anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Jateng, Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Wilayah Jateng

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dampingi Anak, Lepas Stres saat SFH

11 Oktober 2020   22:05 Diperbarui: 11 Oktober 2020   22:05 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pandemic virus corona (covid – 19) mengubah banyak hal termasuk rutinitas sehari-hari. Pemerintah pun meminta masyarakat beradaptasi di gaya  hidup normal baru atau “the new normal”. Pada era new normal yang diterapkan membuat banyak kegiatan kembali berjalan normal, tetapi untuk kegiatan perkuliahan maupun sekolah masih tetap berjalan dengan sistem daring.

Metode belajar jarak jauh dengan belajar di rumah  yang dilakukan anak melalui daring ternyata membuat anak merasa lelah dan stres. Beberapa waktu belakangan ini penulis sering menemukan berbagai cerita dari para orangtua terutama ibu-ibu mengenai anak mereka selama belajar di rumah. Para orangtua menyampaikan bahwa anak sudah mengalami kebosanan dengan keadaan ini dan tentunya menjadi problem orangtua karena mereka harus meramu strategi yang efektif untuk mendampingi anak mereka.

Stres dengan pembelajaran daring pun terlihat dari survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan responden siswa dan guru (13-21 April 2020). Survei dilakukan  di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota di Indonesia.  Ternyata  stres dengan pembelajaran daring di rumah, ditunjukkan 79,9% anak mengatakan bahwa proses pembelajaran jarak jauh tanpa interaksi. Anak-anak  pun merasa kebingungan mengerjakan tugas karena tak ada interaksi. Bentuk interaksi yang dilakukan, yakni dengan chatting berbalas pesan pendek (87,2 %). Ada yang menggunakan zoom meeting (20,2%), video call (7,6 %). Hanya 5,2 % yang interaksi lewat telepon.

Stres merupakan masalah umum yang terjadi dalam kehidupan manusia dan stres yang ada saat ini sudah menjadi bagian hidup yang tak bisa terelakkan. Stres bisa terjadi di rumah, di lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan dimanapun berada. Stres juga bisa menimpa siapapun termasuk anak – anak, remaja, dewasa bahkan yang sudah lanjut usia. Dengan kata lain, stress bisa menimpa siapapun dan dimanapun.

Pendapat dari beberapa para ahli, stres merupakan  respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping) (Santrock, 2003). Menurut Sarafino (1994) mendefinisikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak  antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Seseorang yang mengalami stres terdapat dua aspek utama yang ditimbulkan yaitu aspek fisik dan aspek psikologis. Aspek fisik terjadi pada penurunan kondisi seseorang saat stres sehingga mengalami sakit pada organ tubuhnya, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan. Pada aspek psikologis terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi dan gejala tingkah laku. Dimana masing-masing dari gejala tersebut memengaruhi kondisi psikologis seseorang dan menyebabkan psikologisnya menjadi negatif, seperti menurunnya daya ingat, merasa sedih dan menunda tugas.

Sebenarnya stres tidak selalu berdampak negatif. Stres juga bisa memberikan dampak positif. Stres yang memberikan dampak positif, dikenal dengan eustress  dan stres yang berdampak negatif adalah distress (Gadzella, Baloglu, Masten & Wang, 2012). Stres yang memberikan dampak negatif (distress) bisa dirasakan oleh anak-anak. Secara khusus, stres bisa berdampak negatif terhadap kondisi belajar dan kemampuan kognitif anak.

Gejala stres pada anak memang  tidak mudah untuk dikenali. Ada beberapa tanda anak mengalami stres, seperti gangguan tidur, rasa cemas, sulit berkonsentrasi saat belajar sehingga mengalami kesulitan saat mengerjakan tugas,  emosi yang sering berubah-ubah, perubahan nafsu makan. Selain itu terjadi pula masalah fisik, seperti sakit kepala atau nyeri perut.

Brannon & Feist (2007) dan Myers (1996) menjelaskan ada tiga sumber yang menyebabkan terjadinya stres. Pertama katastrofi, katastrofi merupakan kejadian besar yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi. Sumber yang kedua adalah perubahan kehidupan dimana perubahan kehidupan dapat memicu terjadinya stres dan sumber ketiga adalah kejadian sehari – hari. School From Home merupakan keadaan yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya dan perubahan rutinitas. Anak – anak yang dulu mereka bisa langsung berinteraksi dengan guru saat belajar, kemudian mereka  yang ketika mengalami kesulitan dalam pelajaran bisa langsung bertanya dengan sebangkunya sekarang hal tersebut tidak bisa mereka lakukan. Bahkan waktu bermain dan bercerita bersama dengan teman-teman saat istirahat sekolah merupakan moment  yang ditunggu-tunggu pun kini hilang.

Kekompakan dan peran orang tua saat mendampingi anak School From Home merupakan hal yang sangat penting. Banyak orangtua yang mengaku kalau mereka perlu menyesuaikan diri karena memang belum bisa mengelola waktu dan tanggung jawab di rumah. Antara suami istri perlu membagi waktu dan emosi saat mendampingi anak School From Home perlu mengkomunikasikan dan mendiskusikannya dengan baik. Hal tersebut penting, karena tidak bisa hanya ibu saja yang mengerjakan semuanya atau ayah saja. Ayah dan ibu bisa mendiskusikan jadwal harian mengenai pola kegiatan di rumah tangga, kemudian bisa membagi waktu yang menemani anak belajar, siapa yang menemani anak bermain.

Meskipun orangtua memiliki tanggung jawab dalam pekerjaan sekaligus juga mendampingi anak dalam belajar selama School From Home, perlu diingat agar ornagtua tetap memiliki waktu untuk me time. Orangtua perlu meluangkan waktu untuk bersantai dengan melakukan aktivitas yang disukai sejenak sehingga secara emosional ayah dan ibu pun tetap terjaga. Di situasi seperti ini sangat tidak dianjurkan orangtua menunjukkan egonya masing-masing. Ayah dan ibu harus bersikap kooperatif. Harapannya dengan mengkomunikasikan peran sesuai dengan kesepakatan, konflik di dalam keluarga bisa dihindari dan meminimalisir anak mengalami stres saat School From Home. 

Dalam proses pembelajaran daring, sebisa mungkin orangtua untuk mendampingi anak selama belajar. Pentingnya peran orangtua mendampingi saat belajar agar tercipta keharmonisan dan anak tidak merasa dirinya  belajar sendiri. Orangtua pun dituntut lebih kreatif. Adanya pandemi ini membuat anak tidak dapat pergi ke sekolah dan waktu bermain bersama teman-teman pun cukup terbatas. Hal tersebut membuat anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan dengan keadaan itu tentunya membuat anak mengalami kebosanan. Maka anak harus terus diberikan rangsangan dengan
cara memberikan mainan atau cara bermain yang baru dan positif agar rasa keingintahuan anak dapat terpenuhi. Ciptakan suasana rumah yang nyaman dengan membebaskan anak untuk melakukan kesukaannya.

Hendaknya orangtua mendengarkan setiap kali anak ingin menceritakan sesuatu. Ketika menjadi pendengar yang baik, orang tua bisa memahami apa yang dialami dan apa yang sedang dirasakan oleh anak sehingga orangtua bisa memberikan jalan keluar dari tekanan atau stres yang dihadapi anak. Dampingi dan selalu berada di dekat anak saat ia dalam keadaan stres maupun sedih dapat membuat anak menjadi lebih tenang dan mampu menghadapi masalahnya dengan lebih baik. Anak pun lebih ceria dalam menghadapi hari-harinya.

Referensi

Brannon, L. & Feist, J., 2007. The Nervous System and the Physiology of Stress. In: Health Psychology: An Introduction to Behaviour and Health 6 th Edition. USA: Thomson Wadsworth

Gadzella, B. M., Baloglu, M., Masten, W. G., & Wang, Q. (2012). Evaluation of the student life-stress inventory-revised. Journal of Instructional Psychology 

Myers, D.G., 1996. Stress and Health. In: Exploring Psychology 3 rd Edition. New York: Worth Publisher

Santrock, J.W. (2003). Adolescent- Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga

Sarafino, E. P. (1994). Health psychology: Biopsychosocial interactions (2nd ed.). John Wiley & Sons.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun