Para tetua Dusun Kepala Jeri senantiasa mewanti-wanti warga  supaya jangan keluar rumah selepas magrib. Diyakini, roh halus bergentayangan saat pulau tersebut mulai gelap. Kerap terlihat cahaya-cahaya berukuran telapak tangan orang dewasa yang berkejar-kejaran di atap atau dinding rumah warga. Jika pun terpaksa harus keluar rumah, warga disarankan supaya tidak sendirian dan berjalan hati-hati.
Percaya  atau tidak, akar pohon yang terinjak bisa saja hidup, melilit pegelangan kaki atau mendadak berubah menjadi ular mirip kobra yang ' cengengesan' siap mematuk.  Jika sudah begini, warga diyakini bakal 'kesambet' roh halus sehingga akan jatuh sakit. Sedangkam warga yang jantungnya lemah berisiko semaput karena  serangan jantung.
Sebelum ditanami karet oleh Pemerintah Kolonial Belanda, pulau -yang berbatasan dengan Singapura- ini belum dihuni manusia. Pada abad ke-16, kaum penjajah mendatangkan puluhan pasangan suami istri serta lelaki bujangan dari Jawa untuk membuka perkebunan karet di pulau yang banyak dihuni oleh kancil ini.
Para pekerja tanpa upah ini tinggal di barak-barak kayu  yang berderet-deret membentuk setengah lingkaran. Di tengah kompleks, terdapat  tanah lapang yang menjadi lokasi para pekerja berbaris untuk didata baik sebelum maupun seusai bekerja di kebun-kebun karet.
Ironisnya, hingga 'wong londo' dan antek-anteknya hengkang dari pulau tersebut, warga tak pernah dikembalikan ke kampung halaman mereka di Jawa. Mereka ditelantarkan begitu saja. Dilingkari hutan bakau, mitos-mitos mistis, dan berhadapan dengan laut lepas, membuat ciut nyali bagi sispa saja yang ingin kabur dari situ. Â Kepala Jeri akhirnya menjadi penjara bagi para perantau asal Jawa ini. Hidup yang tak lepas dari derita dan kesedihan di perantauan di pulau terkucil nan sepi membuat kalangan buruh ini sepakat menamakan pulau tersebut sebagai Kepala Jeri.
Sebagian besar dari puluhan barak ini masih utuh sampai sekarang. Di sekitar kompleks, terdapat perkebunan warga.  Sejumlah ternak sapi dan kambing bebas 'berjalan-jalan santai', merumput, atau kejar-kejaran  di bekas barak-barak yang mulai ditutupi semak-belukar tersebut.
Suasana di kompleks bangunan-bangunan tua ini bakal mencekam saban ksli malam tiba. Di balik gulita, hanya terdengar suara satwa-satwa hutan, desau angin, atau dedaunan dan ranting pohon yang dipermainkan oleh sang bayu. Saat malam kian melarut seiiring turunnya kabut dingin-tebal menggigilkan tubuh, lamat-lamat warga sering mendengar suara gamelan yang mendayu-dayu sendu dari arah bukit. Diyakini, gamelan itu dimainkan oleh arwah-arwah leluhur, yang rindu akan kampung halaman yang telah ditinggalkan ratusan tahun silam. Mereka meratapi orang-orang tercinta nun jauh di seberang lautan.(***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H