Mohon tunggu...
Patrick Waraney Sorongan
Patrick Waraney Sorongan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Ende gut, alles gut...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Jokowi "Emoh" Maju ke Pilkada Solo

11 Desember 2020   21:19 Diperbarui: 11 Desember 2020   21:41 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

      SUATU malam pada medio 2004 di sebuah bengkel mebel yang berada di bagian belakang salah satu rumah di Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah. Lelaki bertubuh kurus tinggi bersarung ini menghela nafas panjang ketika disarankan untuk maju ke pancalonan wali kota setempat. "Ah ndaklah Mas, politik itu kotor," katanya.

Karena berpolitik dianggapnya tidak baik, lelaki yang kala itu menjabat Ketua Asosiasi Mebel Indonesia (Asmindo) Cabang Surakarta ini pun mengaku lebih memilih untuk menekuni usaha pembuatan mebel. Setidaknya, usaha tersebut selama ini sanggup menafkahi keluarganya, dan...murni dari hasil keringat sendiri.

Lelaki ini tak lain Joko Widodo yang kini menjadi Presiden Republik Indonesia. Saya mengenal Jokowi secara kebetulan. Dalam perjalanan ngebut karena mengejar 'deadline' berita ke arah redaksi Terang Abadi Televisi (TA Tv) di kawasan Mojosongo, sepeda motor kami, mendadak mogok persis di depan gedung Graha Saba di kawasan Sumber.

Mentari bersinar terik dari langit yang tak berawan. Kami benar-benar kehausan. Rekan saya, Rianto, jurukamera yang asli 'wong' Solo, kemudian menyarankan ke Graha Saba untuk mewawancarai seorang pengusaha mebel. "Nama Beliau, Jokowi. Daripada pulang minus berita, lumayan dapat satu berita ekonomi, dan...pasti ada teh manis. Syukur-syukur kalau ada esnya," ujarnya.

Sekretariat Asmindo Cabang Surakarta, terletak di bagian depan gedung Graha Saba. Tanpa birokrasi, kami dengan ramah diterima oleh seorang staf  Asmindo Cabang Surakarta, kemudian dipersilakan menunggu di ruang tamu.

Tak lama berselang, muncul seorang lelaki tinggi 'nan panjang' berkemeja putih. Setelah berkenalan, lelaki yang tak lain adalah Jokowi -panggilan akrabnya- ini, siap diwawancarai, Jokowi sangat menguasai soal mebel, kayu sebagai bahan baku, dan permasalahan penebangan kayu ilegal di kawasan eks Karisidenan Surakarta. Padahal, kabarnya Jokowi baru pertama kali diwawancarai untuk stasiun televisi. Selama itu, Jokowi hanya diwawancarai media cetak, terutama Solo Pos, koran harian dari Grup Jawa Pos yang 'menguasai' Eks Karisidenan Surakarta.

Perkenalan itu berlanjut dengan kerap bersedianya Jokowi sebagai narasumber untuk 'talkshow' berdurasi 15 menit di ujung siaran langsung (live) berita TA Tv, yakni Surakarta Hari Ini. Setiap berita yang aktual selalu dibahas dalam slot terakhir program berita tersebut yang kerap disertai hadiah beragam, antara lain telepon selular.

Mencari narasumber secara rutin Senin-Sabtu untuk 'talkshow', bukanlah perkara yang mudah bagi saya. Maklum, saya  masih 'meraba-raba' wilayah Surakarta, karena belum lama bertugas di kota itu.

Karena akrab dan rendah hati, Jokowi akhirnya menjadi narasumber langganan kami. Jika tak ada urusan penting, pasti Jokowi bersedia memenuhi undangan sebagai narasumber. Hanya saja, materi 'talkshow' disarankan oleh Jokowi, harus bersih dari perpolitikan. "Bisnis saja, khususnya soal illegal logging," katanya.

Memang, 'talkshow' mengenai permasalahan kayu berikut penebangan ilegalnya di wilayah seluas eks Karisidenan Surakarta, tak pernah habis untuk diangkat sebagai materi bincang-bincang tersebut. Jokowi saban wawancara, selalu memberikan solusi menghadapi kasus-kasus itu. Termasuk rutin menekankan mengenai usaha mebelnya yang aktif melakukan peremajaan dan konservasi hutan usai pohonnya ditebang sebagai bahan baku mebel.

Harus diakui, eks karisidenan yang didirikan oleh Sunan Pakubuwono II pada abad ke-17 ini, cukup luas wilayah hutannya. Betapa tidak, selain Kota Solo, Eks Karisidenan Surakarta memiliki enam kabupaten, yakni Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Boyolali, Sragen -yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur- dan Klaten, yang berbatasan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tak heran jika banyak masalah kayu ilegal yang terjadi di wilayah itu.

Saking setianya sebagai 'pelanggan' Surakarta Hari ini, Jokowi beberapa kali menunggu selama sejam lebih, bahkan pernah hampir dua jam. Padahal, Jokowi sudah berulangkali disampaikan, agar datang ke studio minimal setengah jam sebelum 'talkshow' dimulai. "Kayaknya saya ini jadi 'bumper', ya?" candanya kepada saya yang sedang memimpin siaran berita sekaligus rutin mengoperasikan 'prompter' untuk presenter di 'news room'.

Kalau sudah begini, apa mau dikata, biasanya saya langsung menelpon 'office boy', supaya membawakan kopi plus beragam koran terutama Solo Pos untuk Jokowi, supaya 'tabah bertahan lama' menunggu. Rasanya, nyaman melihat seorang narasumber setia seperti Jokowi, menyeruput kopi dan membaca koran sambil didandani di ruang salon dan 'wardrobe' sebelum tampil di depan kamera.

Hingga suatu ketika, media massa di Solo mulai menebak-nebak pengganti Wali Kota Slamet Suryanto menjelang digelarnya pilkada setempat. Heru, rekan wartawan TA Tivi asal Sragen yang juga kader PDIP di kabupaten itu, lumayan lihai mereka-reka nama-nama tokoh setempat yang dinilainya 'mumpuni' untuk maju ke bursa Wali Kota Solo. Di antaranya, menurut Heru, yakni Jokowi. "Saya yakin, bisa. Ayo mancing Beliau agar mau maju," sarannya.

Ajakan Heru langsung saya iyakan. Maklum, saya sedang mengincar meja makan model sayap kupu-kupu di bengkel mebel Jokowi.

'Sayang seribu sayang'. Kalimat seperti 'ah ndaklah Mas, politik itu kotor' yang selalu dijawab oleh Jokowi saban disinggung tentang kesediaannya untuk maju sebagai calon wali kota. Dan, saat berbincang-bincang santai usai wawancara, barulah saya mengutarakan niat untuk membeli sebuah meja kayu sayap kupu-kupu. "Minimal saya cicillah," kata saya.

Jokowi hanya tersenyum.

Tak lama usai wawancara tersebut, pagi itu sebuah mobil bak terbuka memasuki halaman rumah kontrakan saya di kawasan Bibis Wetan, tepi Bengawan Solo. Bak mobil itu memuat sebuah meja makan sayap kupu-kupu. "Kami disuruh \nganter' pesanan meja ini dari Pak Jokowi," kata si pengemudi.

Saya kemudian pindah ke stasiun televisi swasta lokal lainnya di Jateng, yakni ProTv, kawasan Srondol, Kota Semarang, milik Prima Entertainment, yang kini menjadi MNC Semarang. Dan, beberapa bulan kemudian, terbetik kabar bahwa Jokowi maju ke Pilwako Solo bersama calon wakilnya, FX Hadi Rudyatmo, Ketua DPC PDI-P setempat.

Hingga suatu ketika, saat saya sedang menikmati pecel lele di kompleks Terminal Terboyo di pinggiran Kota Semarang, seorang rekan dari Solo menelpon bahwa Jokowi  berhasil terpilih sebagai Wali Kota Solo yang ke-16.

Akhirnya, ada saatnya bagi seseorang untuk mengubah keputusannya demi suatu pilihan yang dianggap paling baik, Dan sekarang ini, setidaknya, sebuah stasiun televisi lokal di Solo, yakni TA Tv,  sempat 'mengawal' karir  seorang Joko Widodo, dari seorang pengusaha mebel, akhirnya terjun berturut-turut ke 'dunia yang kotor': menjadi Wali Kota  Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan...mencapai karier politik yang sangat gemilang di NKRI tercinta ini: menjabat Presiden RI, bahkan...hingga dua periode.(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun