Mohon tunggu...
Patrick Waraney Sorongan
Patrick Waraney Sorongan Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Ende gut, alles gut...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bandara Naha dan Kekejaman Orba di Nusa Utara

10 Desember 2020   01:58 Diperbarui: 15 Desember 2020   14:52 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di Bandara Naha, Tahuna (foto: manadoline)

       DENDAM akan masa lalu akibat perlakuan kejam rezim Orde Baru (Orba) telah memicu eksodus besar-besaran warga Nusa Utara ke selatan Filipina,  akhir dekade 1960-an. Karena dililit kemiskinan, banyak yang diyakini bergabung dalam milisi-milisi garis keras  di negeri jiran tersebut.

       Dalam rentang hampir setengah abad, warga dari pulau-pulau tapal batas Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) dan Mindanao, Filipina ini pun beraktulturasi dengan warga setempat. Kekejaman rezim Orba terhadap keluarga dan kerabatnya di Sangihe, kini Kabupaten Kepulauan Sangihe, tak bisa dilupakan oleh Iverdixon Tinungki, spesialis penulis buku bertema sosial dan sejarah Nusa Utara ini.

       Sejarah kelam   itu berawal selama pembangunan proyek Bandara Naha di Kecamatan Tahuna.  "Waktu itu, pemberontakan PKI di Jakarta belum lama selesai, Gerakan 30 September (G-30 S). Warga diharuskan bekerja membangun bandara itu. Upah sangat kecil dan diperlakukan sangat kasar. Jika ada warga yang dianggap malas bekerja atau tidak mau ikut bekerja di proyek itu, mereka akan dimasukkan ke lubang kakus," kenang Ipe, panggilan akrabnya, dalam suatu perbincangan dengan saya, di rumahnya, kawasan Manado Utara, Kota Manado, Ibu Kota Sulut.

       Ipe tercatat sebagai seorang penyair yang  lahir di Manado, 10 Januari 1963, bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media cetak di Manado, pernah menjabat Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulut dan anggota kehormatan PWI Sulut.  Penerima Anugerah Puisi tahun 2013 lewat Buku Kumpulan Puisi KLIKITONG sebagai Buku Pilihan pada Sayembara Buku Puisi Indonesia.

       Dia juga penerima Anugerah Puisi 2014 lewat Buku Kumpulan Puisi MAKATARA sebagai Buku Pilihan Sayembara Buku Puisi Indonesia. Puisi dan esainya pernah dimuat diantaranya: di majalah sastra Horison, Harian Sinar Harapan, Harian Indopos. Karya-karya yang telah diterbitkan: Jalur Rempah, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2016; Longuseiku, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2016; Dari Ramensa ke Manongga, Kumpulan Cerita Rakyat Talaud, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Talaud 2016..

       Kopero, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2015; Makatara, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2014; Moraya, Sepilihan Puisi Berlatar Minahasa, Taman Budaya Sulut 2014. Ipe juga menulis novel Kepas, Teras Budaya 2013.  Karya-karya nonfiksinya, antara laiun,  Delik Nedosa, Sebuah Kajian Hukum Adat Sangihe; Kantor Kejaksaan Tinggi Sulut, 2002; Nazaret, Sejarah Gereja, 2012; Gunung Hermon, Sejarah Gereja, 2013. Ia juga menjadi editor Antologi Puisi Guru, Balai Bahasa Provinsi Sulut, 2005. Puisi Siswa, Antologi Puisi Siswa, Balai Bahasa Provinsi Sulut.

       Seluruh warga di kepulauan tersebut diharuskan bekerja membangun Bandara Naha. Jika menbolak, warga ini langsung dicap sebagai simpatisan atau kader PKI. "Jika masih menolak, akan dijemput paksa. Diceburkan ke lubang kakus," kenang Ipe.

        Kesaksian yang dikumpulkan dari kampung halaman kedua orangtuanya ini sudah diadaptasikan  dalam novel berjudul Stigma yang sudah dia tulis tapi belum diterbitkan. Kisah Ipe ini juga sempat saya tulis pada awal medio 2000-an di Harian Jurnal Nasional, Jakarta, ketika saya sebagai koresponden koran tersebut untuk Sulut.

       Bandara Naha -yang kini memiliki landasan pacu berukuran 1.600 kali 30 mete dan berjarak sekitar 16 kiloneter dari Tahuna, Ibu Kota Sangihe- akhirnya berdiri. Namun, tidak sedikit warga dari Sangihe yang berimigrasi ke Filipina. "Mereka umumnya tidak mau balik lagi ke Indonesia, memilih tinggal di sana, walaupun rata-rata hidup miskin dan tinggal sebagai nelayan di pesisir-pesisir," kata Ipe.

       Memang, jika Anda ke kawasan-kawasan pesisir di selatan Filipina, menggunakan bahasa Suku Sangihe atau  Talaud atau ber-"ngana-ngana" (baca: kamu)dalam bahasa Melayu-Manado, sudah biasa bagi banyak warga di wilayah tersebut. Namun, sebagaimana pula diakui oleh Ipe, jangan pernah tanya komentar mereka, terutama dari kalangan yang berusia setengah abad ke atas. Jawaban mereka umumnya sinis. Dipekerjakan secara paksa di Bandara Naha, 'beda-beda tipis' dengan pekerja Romusha di masa Pendudukan Jepang, menjadi trauma bagi mereka. Dan yang membuat mereka terhina, adalah kenangan pahit dari kaum tua, tentang bagaimana tersiksanya mandi air atau tertelan air tinja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun