Mohon tunggu...
Patrick Ayrton
Patrick Ayrton Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa

Siswa Kolese Kanisius Angkatan 25

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Akad Perjalanan Seorang Kanisian

18 September 2024   13:30 Diperbarui: 18 September 2024   13:32 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rasa dingin mulai menjalar di pori-pori kulitku ketika kakiku melangkah ke podium, berdiri di hadapan ratusan rekan seperjuangan, orang-orang yang telah berada di sisiku selama enam tahun yang penuh tantangan, melelahkan, namun juga memuaskan dan luar biasa dalam hidupku. Saat kakiku menghadap kerumunan, aku bisa merasakan setiap helai kecil rambut di tubuhku berdiri, seiring dengan banjirnya ribuan kenangan yang membanjiri pikiranku, mengenang masa lalu, menghadapi masa kini secara harfiah dan metaforis, serta menatap masa depan yang semakin mendekat, penuh ketidakpastian, keteguhan, kekhawatiran, namun di saat yang sama juga mengangkat semangat dan memberi harapan. 

Meskipun perjalanan sebagai seorang Kanisian selalu merupakan sesuatu yang kutahu akan terjadi, pada satu titik dalam hidupku, aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar berada di jalur yang benar untuk menciptakan momentum yang kuinginkan, atau bahkan yang kubutuhkan. Apakah aku merasa puas menjadi seorang Kanisian karena memang cocok denganku, ataukah aku menjadi puas karena standar yang melekat pada seorang Kanisian, tanpa peduli apakah itu sesuai dengan harapanku atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan ini mencekikku selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, sampai pada titik di mana semuanya menyatu dalam singularitas eksistensialisme yang menghempas dan menarikku melalui kosmos, menghancurkan hati dan jiwaku menjadi serpihan-serpihan. 

Bagaimana mungkin seseorang bisa menemukan makna dalam perasaan seperti ini? Orang-orang menghabiskan seluruh hidupnya merenung, bertanya-tanya, berpikir, khawatir tentang apakah jalan hidup yang mereka tempuh adalah yang sudah ditakdirkan untuk mereka. Mereka melukai diri sendiri, menikam, menembak, meracuni, dan menghancurkan hidup mereka, menghabiskan uang untuk terapi, hanya untuk menemukan jawaban ini. 

Bagaimana aku bisa menyejajarkan diriku dengan mereka, berdiri di atas panggung di depan orang-orang yang bertepuk tangan, bersorak, dan meneriakkan namaku, mengucapkan selamat atas apa yang telah kucapai. Apakah aku benar-benar seharusnya merasa seperti ini? Dalam momen singkat itu, pikiranku terlempar kembali saat aku mengenang sekolah ini, dan apa yang telah diberikannya kepadaku---masa lalu, masa kini, dan masa depan. Apakah Kolese Kanisius Jakarta benar-benar jalan yang seharusnya kutempuh?

Saat tubuhku pertama kali melangkah ke Kanisius sebagai siswa baru, aku tahu tahun ini akan berbeda dari apapun yang pernah kualami di SMP. Ada sesuatu di udara yang memanggilku, memanggil sesuatu yang lebih besar. 

Aku merasa seolah-olah ini adalah batu loncatan baru menuju apa yang bisa kucapai dan hal-hal yang bisa kuberikan kepada sekolah dan rekan-rekanku. Tahun-tahun SMP-ku terasa hampa karena kurangnya aktivitas fisik dan penilaian awal, berbanding terbalik dengan apa yang kumiliki sekarang---lingkungan belajar yang aktif dan fisik, yang dapat menjadi peluang besar untuk tumbuh menjadi sesuatu yang bisa kutinggalkan sebagai warisan. Menjadi sesuatu yang bisa kutinggalkan. 

Seiring berlalunya waktu, dari jam menjadi hari, hari menjadi minggu, dan minggu menjadi selamanya, aku melewati seluruh kelas 10. Sejujurnya, tidak ada yang terlalu luar biasa dalam periode hidupku ini. Namun, aku bergabung dengan ekstrakurikuler yang akhirnya membentuk jalur hidupku, mungkin menjadi yang terbesar selama masa SMA-ku. CEF, atau Canisius English Forum, menjadi katalis perubahan dan kemungkinan baru yang sangat kurindukan pada saat itu.

Canisius English Forum adalah sebuah ekstrakurikuler yang berfokus pada debat dan berbicara. Sebagai mantan debater dan pembicara yang bersemangat, aku bergabung dengan CEF dengan harapan dapat memperluas keterampilanku yang sudah ada dalam debat bahasa Inggris dan seni berargumen. Ketika pertama kali bergabung, dampak dari ekstrakurikuler ini sungguh tak terduga bagiku; tak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa sebuah ekstrakurikuler di ruang kecil English 2 akan memberikan pengaruh sebesar ini. Dalam beberapa minggu pertama di CEF, aku menyadari bahwa aku hanya terbiasa dengan satu jenis debat. Seiring berjalannya waktu, pengetahuanku tentang cara menyusun argumen formal pun berkembang. Aku harus belajar dan berjuang untuk menyusun argumen yang sederhana sekalipun. Tapi aku gagal. Aku tersandung, jatuh, dan terus gagal. 

Dalam tim debat, ada tiga pembicara: pembicara pertama, kedua, dan ketiga. Pembicara pertama dan kedua memiliki peran yang mirip dalam tim debat, namun pembicara ketiga tidak memiliki kenyamanan seperti itu. Peran pembicara ketiga, yang diberikan kepadaku, sangat berbeda. Pembicara ketiga harus menyampaikan ulang semua argumen sebelumnya dan mengimprovisasi argumen yang tidak ada untuk membalikkan keadaan kepada pihak lawan. 

Peran pembicara ketiga begitu penting dan integral sehingga memerlukan pelatihan tambahan bagiku untuk benar-benar memahami dan menguasainya. Namun, aku memberinya waktu. Aku mendengarkan masukan dan kritik dari guru debatku. Alih-alih menganggapnya sebagai serangan pribadi, aku menjadikannya kritik membangun yang bisa kugunakan untuk memperbaiki kekuranganku. Seperti benih yang membutuhkan waktu dan perawatan untuk tumbuh, begitu pula diriku. Akhirnya, aku terbiasa dengan struktur pembicara ketiga, sambil meningkatkan keterampilan berbicara secara keseluruhan.

Ketika kelas 10 berlalu, aku menyambut kelas 11 dengan tangan terbuka. Melihat ke belakang, tahun ini mungkin adalah salah satu tahun terbaik, jika bukan yang terbaik, dalam hidupku di sekolah. Tahun ketiga SMA adalah salah satu momen paling berkesan dalam hidupku. Saat aku semakin jauh masuk ke dunia debat dan menambah pengalaman dalam debat tiga orang gaya Asia Parlementer, aku memutuskan untuk memperluas cakrawala, tidak hanya dalam debat bahasa Inggris, tetapi juga bentuk berbicara argumentatif lainnya. Di tengah-tengah itu, sepupuku, yang kini menjadi rekan pemimpin CEF bersamaku, mengenalkanku pada Model United Nations. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun