Patricia Beatrix Amarthya Putri
12018003664 // 201805000176
Bahasa Hukum Indonesia
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya JakartaÂ
Fakultas Hukum
PLURALISM JUSTICE SYSTEM DALAM PENYELESAIAN MASALAH KEBEBASAN BERAGAMA
PendahuluanÂ
Kebebasan beragama merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, menafsirkan dan memilih agama dan kepercayaan. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) menjamin setiap warga untuk berekspresi dan menjalankan kegiatan keagamaan dalam bingkai negara hukum. Prinsip negara hukum Indonesia adalah menjamin dan melindungi hak semua umat beragama. Namun seringkali hak beragama yang disalahgunakan hingga memicu disintegrasi sosial. Pluralism justice system menekankan reformasi cara berhukum melalui pendekatan kultur hukum. Hukum di Indonesia tak dapat dipisahkan dengan kultur yang sesungguhnya merupakan nilai penting dalam membantu penegakan hukum. Teori pluralisme hukum diartikan sebagai garis penghubung antara berbagai sistem hukum dalam masyarakat tertentu, termasuk kultur hukum. Inilah yang ditangkap oleh Werner Menski, seorang guru besar hukum dari University of London pada saat meneliti tentang perbandingan hukum negara-negara di Asia dan Afrika. Menski menyimpulkan penegakan hukum di Asia dan Afrika berbeda dengan penegakan hukum di Barat, khususnya di Eropa. Penegakan hukum di Eropa tidak terlalu dipengaruhi unsur-unsur non hukum, seperti moral, etika dan agama. Bangsa-bangsa di eropa sangat nyaman dengan state law. Berbeda dengan bangsabangsa di Asia dan Afrika yang sangat dipengaruhi oleh moral, etika dan agama dalam cara berhukumnya (Suteki, 2015). Menski berpendapat untuk melihat efektivitas cara bekerjanya hukum di Asia dan Afrika menggunakan pendekatan pluralisme hukum yang mengandalkan pertautan antara state (positive law), aspek kemasyarakatan (socio-legal approach) dan moral, etika dan agama (natural law) (Suteki, 2015).
Kerangka Teori
Leopold Pospisil dalam bukunya The Anthropological of Law (1971), mengemukakan bahwa sumber hukum yang paling utama bukan berasal dari negara (positivistik) melainkan dari perilaku masyarakat dan hukum yang mampu mewadahi pluralisme masyarakat. Demikian pula Frederick Karl von Savigny memandang bahwa hukum yang baik bersumber dari adat-istiadat, kebiasaan, dan kemauan masyarakat yang diwujudkan melalui lembaga perwakilan sehingga hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kehendak masyarakat dalam rangka memenuhi kehidupan sosialnya (Saptomo, 2012).
Analisis Data dan PembahasanÂ
Penyelesaian Masalah Kebebasan Beragama melalui Pluralisme Hukum  Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia (HAM) yang sifatnya universal. Indonesia mengakui hak-hak warganya untuk bebas menentukan agama sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) melalui Bab tentang Agama dalam Pasal 29. Jika dijabarkan lebih jauh, ayat (1) menegaskan bahwa Indonesia menganut prinsip ketuhanan sebagai wujud pengakuan negara terhadap agama. Ayat (2) menegaskan adanya jaminan negara kepada warganya untuk memiliki agama dan kepercayaanya serta jaminan untuk beraktivitas spiritual tanpa ada unsur paksaan. Dua ayat dalam Pasal 29 merupakan satu kerangka hubungan antara negaraagama-warga. Ketiga unsur tersebut berorientasi pada terciptanya kerukunan substantif. Kerukuran substantif memiliki dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosial (bermasyarakat). Dalam aspek individual, kebebasan beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu merupakan ranah khusus (forum internum). Sedangkan dalam aspek sosial hubungan antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat masuk kategori umum (forum eksternum) yang terdapat batasan dalam kerangka negara hukum.
Gagasan pluralisme hukum mendorong revisi UU No.5/PNPS/1965 agar lebih humanis, bersifat holistik, menekankan upaya preventif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Politik hukum yang diusung berorientasi pada hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering by law). Merekayasa sosial agar tercipta situasi yang toleran dan tertib hukum dengan cara mengontrol tingkah laku masyarakat untuk mencapai keadaan yang diinginkan hukum. Pasal 2 ayat (2) Pembubaran organisasi atau aliran keagamaan yang menyimpang setelah melalui prosedur peringatan. Pasal 3 ancaman pidana terhadap pengurus atau kader organisasi terlarang.
Pancasila yang terdiri dari asas ketuhanan, asas kemanusiaan, asas persatuan/nasionalisme, asas musyawarah dan asas keadilan adalah panduan dalam pembentukan Undang-Undang (ius constituendum). Pada akhirnya pluralisme hukum diharapkan mampu mengubah paradigma berhukum yang positivistik menjadi hukum yang progresif dengan cara memberi pilihan kepada masyarakat bahwa ada banyak cara berhukum untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan. Cara berhukum yang pluralistik, korektif, rehabilitatif dan restoratifadalah cara kerja pluralism justice system.
Forum internum adalah hak untuk memeluk suatu agama, hak untuk meyakini kebenaran dari suatu agama, hak untuk beribadah, dan hak untuk menafsirkan suatu teks agama. Adapun forum eksternum adalah hak untuk mengekspresikan atau menyebarkan ajaran agama yang tentu ada batasannya. Undang-Undang No. 5 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama (UU No.5/PNPS/1965) mengakui ada enam agama di Indonesia yakni, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meski demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pemerintah wajib menjamin setiap hak warga negara dalam kebebasan forum internum sepanjang tidak berbenturan dengan aturan.
Kesimpulan
  Gagasan ini merumuskan politik hukum kebebasan beragama untuk membentuk kultur hukum yang baik dan harmonis di dalam struktur masyarakat. Pluralism justice system menekankan reformasi cara berhukum melalui pendekatan kebudayaan hukum. Hukum yang ada di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan aslinya merupakan nilai penting dalam membantu penegakan hukum. Gagasan pluralisme hukum memiliki landasan kuat untuk membentuk politik hukum kebebasan beragama. Landasan ini meliputi landasan yuridis, bahwa UU No.5/PNPS/1965 tidak responsif dan cenderung represif. Landasan sosiologis bahwa pluralisme hukum dapat merekatkan relasi sosial menjadi sebuah konstruksi hukum termasuk pengaturan mekanisme pluralism justice system yang melibatkan semua pihak dalam struktur sosial. Landasan filosofis bahwa kebebasan beragama merupakan nonderogable right dalam menentukan aktivitas spiritual. Kebebasan disini dikonsepkan sebagai hak konstitusional bersyarat, karena ada aspek masyarakat yang perlu diperhatikan.
Daftar PustakaÂ
  Â
  https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/22867/15900#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H