Mohon tunggu...
Patricia Daniela
Patricia Daniela Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Seorang guru SD kelas 6

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Erik Erikson's Stages of Psychosocial Development

22 November 2021   16:40 Diperbarui: 22 November 2021   16:46 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Erik Erikso  adalah seorang psikolog dan psikoterapis perkembangan Jerman-Amerika, mendirikan Teori Perkembangan pada awal 1960-an. Erikson menjelaskan bahwa cara anak-anak menegosiasikan perkembangannya terkadang dapat berhasil, namun juga bisa tidak berhasil. Dia merasa bahwa pertumbuhan anak-anak harus dilihat tidak hanya melalui kacamata psikoseksual dan mekanis, tetapi juga melalui perspektif humanistik dan fenomenologis yang inklusif (Maree, 2021). Erikson percaya bahwa pada saat seseorang mengalami konflik dan konflik tersebut berhasil dilewati maka hal tersebut akan menjadi titik balik di dalam kehidupan orang tersebut. Jika itu gagal maka orang tersebut mungkin tidak dapat mengembangkan keterampilan penting yang dibutuhkan untuk membangun kehidupannya. (Susman, PhD, 2021). Di mana, komponen tersebut akhirnya akan membentuk kepribadian yang sehat jika dapat terpenuh dan berhasil dilewati dengan baik oleh orang tersebut. Terdapat 8 tahapan yang dibagi oleh Erikson di dalam teori perkembangan psikososial ini.

Tahap pertama disebut sebagai tahapn “Trust vs. Mistrust” yang terbentuk pada usia 0-12 bulan. Anak pada tahap ini akan belajar untuk mempercayai orang-orang disekitarnya. Jika berhasil, anak tersebut akan tubuh menjadi anak yang memiliki rasa aman dan nyaman akan dunia. Namun jika tidak, maka akan timbul rasa kecemasan, ketakukan, hingga ketidakpercayaan di dalam dirinya. Tahap kedua dialami pada usia 1-3 tahun yang disebut “Autonomy vs. Shame/Doubt”. Di tahap ini, anak-anak belajar untuk memegang kendali akan perilaku dan tindakan mereka. Mereka akan melihat bahwa tindakan yang dilakukan akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka pribadi. Anak yang melewati tahap ini dengan baik akan memiliki rasa aman dan rasa percaya diri. Namun jika tidak, maka anak tersebut akan merasa tidak mampu dan muncul rasa keraguan di dalam diri anak tersebut.

Tahap ketiga adalah “Initiave vs. Guilt” ada di usia 3-6 tahun. Pada tahap ini, anak diberikan kesempatan untuk dapat menyelesakan tanggung jawabnya secara mandiri. Mereka mulai mencoba berbagai macam hal untuk menggali kemampuannya. Saat tahap ini berhasil, maka akan timbul perasaan bangga akan dirinya dan mereka dapat memutuskan tujuan secara mandiri. Namun jika gagal, maka akan muncul rasa bersalah, keraguan terhadap dirinya, dan menjadi kurang inisiatif dalam memutuskan sesuatu. Tahap Keempat adalah “Industry vs, Inferiority” terjadi pada usia 6-12 tahun. Dalam tahapan ini, anak-anak akan menjadi lebih terampil dalam melakukan tugas-tugas yang lebih sulit. Mereka belajar dan berinteraksi dengan kondisi dan lingkungan sekitar mereka dan mendapatkan rasa bangga dari prestasi yang berhasil dicapai. Jika anak-anak di tahap ini didukung oleh orangtua maupun lingkungannya, mereka akan muncul rasa percaya diri di dalam diri mereka. Namun, jika tidak terpenuhi maka cenderung akan muncul sikap pemalu, rendah diri, dan keraguan dalam mengerjakan atau memutuskan sesuatu.

Tahap kelima adalah “Identity vs. Role Confusion” yang terjadi pada usia 12-18 tahun. Pada usia ini, anak sudah mulai masuk ke dalam tahap pubertasnya, di mana mereka cenderung mencoba melakukan berbagai macam hal untuk mencari identitas pribadi. Saat mereka dapat menerima dorongan dan penguatan yang tepat maka rasa kemandirian akan muncul. Namun jika tidak, mereka menjadi tidak yakin dengan keinginan mereka. Akibatnya, mereka akan merasa takut untuk mencoba dan kebingunan akan diri identitas mereka. Tahap keenam “Intimacy vs. Isolation” muncul diusia 18-40 tahun. Selama tahap ini, seseorang akan mulai menginginkan hubungan dekat dengan orang-orang penting dalam kehidupan mereka. Hal ini yang dapat mereka bentuk, pertahankan, dan dorong. Mereka harus membangun hubungan yang memungkinkan mereka mengakui kelemahan mereka. Namun, jika keintiman itu tidak berhasil dibangun maka mereka akan memiliki perasaan diri yang buruk dan cenderung memiliki hubungan yang kurang berkomitmen sehingga akan masuk ke dalam masa isolasi emosional, kesepian, bahkan depresi.

Tahap ketujuh adalah “Generativity vs. Stagnation” ada di usia 40-60 tahun. Pada usia ini, biasanya orang tersebut berkontribusi pada generasi berikutnya. Biasanya mereka akan memiliki keluarga dan mulai merawat keluarga mereka. Mereka akan terlibat dalam pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Jika tahap ini tidak berhasil, maka akan merasa tidak berkembang dan merasa tidak memberikan kontribusi apa pun bagi sekitar mereka, yang akhirnya menghambat keinginan mereka untuk menjadi lebih produktif dan untuk perbaikan diri. Tahap terakhir “Integrity v. Despair” ada pada usia > 60 tahun. Orang-orang yang senang dengan pencapaian mereka memiliki perasaan harga diri yang kuat dan dapat melihat kembali kehidupan mereka dengan sedikit penyesalan. Orang-orang yang tidak berhasil pada tahap ini mungkin merasa seolah-olah hidup mereka telah disia-siakan. Mereka marah, tertekan, dan putus asa saat mereka mendekati akhir hidup mereka.

Di dalam kelas, secara tidak langsung hal-hal ini bisa diamati dan diperhatikan di dalam diri anak-anak yang kita temui. Pengetahuan akan setiap tahapan ini juga memberikan informasi yang bermanfaat bagi guru dalam mengenal karakteristik dari setiap anak yang dia ajar. Guru bisa melakukan pendekatan terhadap anak dengan lebih tepat dan bisa menyusun strategi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dari anak tersebut. Kita bisa melihat satu contoh kasus yang saya alami. Saya mengajar anak-anak di rentang usia 6-12 tahun. Saya memiliki seorang siswa yang memiliki pencapaian akademik yang baik, namun anak tersebut memiliki kecenderungan untuk takut dalam mengerjakan hal-hal yang dipercayakan kepada dirinya. Si anak cenderung selalu bertanya kepada guru setiap dia ingin mengerjakan sesuatu. Dia cenderung untuk terus memastikan apakah pekerjaan yang dikerjakan sudah tepat atau tidak. Dia akan menunggu hingga pernyataan yang diberikan oleh guru terkait tugas yang dikerjakan. Kondisi perilaku tersebut menunjukkan bahwa anak tersebut ragu akan kemampuan yang dia miliki, dia cenderung takut untuk mencoba hal-hal yang baru, dan sulit untuk memutuskan hal-hal yang kenyataannya bisa dia kerjakan dengan baik.

Kondisi ini terjadi karena lingkungan disekitarnya yang kurang menunjukkan atau mendorong anak tersebut untuk mencoba hal-hal baru, dan memberikan apresiasi terhadap prestasi yang dia miliki. Ekspetasi orangtua yang cukup tinggi terhadap anak tersebut juga mempengaruhi rasa keberanian dan kepercayaan dirinya. Akhirnya, saya secara pribadi memberikan dorongan dirinya untuk mengerjakan hal-hal baru. Dia juga diberikan kesempatan secara perlahan-lahan untuk memiliki tanggung jawab di dalam kelas sebagai leader. Hal lainnya, anak tersebut juga diberikan apreasiasi saat berhasil mencapai hal-hal baik walaupun kecil. Namun, tetap pengarahan dan bimbingan terus disampaikan dan diberikan oleh guru. Dalam hal ini juga, guru dapat mengajak orangtua untuk bekerja sama membangun rasa percaya diri siswa dan memberikan apreasi dan ekspetasi yang seimbang. Mendorong orangtua juga bisa melihat potensi-potensi yang baik yang dimiliki oleh sang anak.

Dari hal ini, bahwa peran dan pembentukan diri seorang anak sangat dipengaruhi dari fase-fase sebelumnya yang dia alami. Dukungan dan kondisi lingkungan yang baik dan sehat juga dapat menjadi salah satu faktor terpenting di dalam perkembangan psikososial anak. Guru dan orangtua dapat bekerjasama sehingga dapat mendukung siswa di dalam aspek-aspek penting yang perlu dipenuhi. Namun, perlu diperhatikan bahwa dukungan dan dorongan perlu diberikan secara ideal dan tidak berlebihan. Perhatian bisa diberikan pada komposisi yang tepat dan pada waktu yang tepat, sehingga outcome yang muncul dari pribadi anak tidak menjadi berlebihan.  

References

Maree, J. G. (2021). The psychosocial development theory of Erik Erikson: critical overview. Early Childhood Theorists and Pioneers, 191(7-8), 1107-1121. doi:https://doi.org/10.1080/03004430.2020.1845163

Orenstein, G., & Lewis, L. (2021). Erikson's Stages of Psychosocial Development. USA: StatPearls Publishing. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556096/

Susman, Ph.D., D. (2021, July 18). Psychosocial Development Guide. Retrieved from Erik Erikson's Stages of Psychosocial Development: https://www.verywellmind.com/erik-eriksons-stages-of-psychosocial-development-2795740

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun