Ataukah pembiaran ini terjadi karena kita mengaggap merekalah penyebab konflik itu sehingga pantas dibiarkan menderita dan mati agar menjadi pelajaran bagi yang lain?
Hanya Tuhanlah yang maha tahu dan mampu menyelidiki isi hati para pemimpin yang dengan kekuasaannya telah membuat kebijakan yang melahirkan krisis kemanusiaan ini.
Sebagai bangsa yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, marilah kita renungkan realitas-realitas ini sambil mengujinya dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Sebab sesungguhnya apa yang menimpa rakyat Nduga nampaknya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan kelima sila dari Pancasila.
Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-Perikemanusiaan Yang adil dan Beradab?
Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-Persatuan Indonesia? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang ber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan namun terkesan tidak mau mempertimbangkan usul dan pendapat yang berbeda dari para pemimpin Papua dan rakyat Nduga yang menjadi korban? Apakah penderitaan rakyat Nduga pantas terjadi di tengah bangsa yang menyebut diri ber-Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Saya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Bijaksana untuk menerangi hati dan pikiran kita agar merenungkan hal ini tanpa menyalahkan siapa-siapa. Dari perspektif Pancasila pertanyaan mendesak yang patut ditujukan kepada para pemimpin bangsa kita adalah: Kapan konflik Nduga akan diselesaikan dengan Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan secara bermartabat dan manusiawi?
Ataukah kita sudah tidak memiliki lagi pemimpin-pemimpin yang sanggup bermusyawah dengan rakyatnya sendiri di Tanah Papua karena lebih nyaman mendahulukan pendekatan keamanan yang eksesif untuk membungkam rakyat Nduga yang berbeda dengan kita dan tidak kita fahami?
Dalam kondisi seperti ini patut kita renungkan kata-kata mendiang DR. Daud Jusuf dalam bukunya "Studi Strategi -- Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional yang mengatakan bahwa konflik dan perang terhadap rakyat sendiri yang pernah terjadi di Aceh, Timor Timur dan masih terus berlanjut di Tanah Papua adalah: "a wrong war, at the wrong place, at the wrong time, with the wrong enemy and initiated by the wrong reason."(perang yang keliru, pada tempat yang keliru, pada waktu yang keliru, dengan musuh yang keliru dan digagas dengan alasan yang keliru).
Bahwa perlawanan rakyat seperti ini dapat ditumpas dengan kekuatan bersenjata dan luka-luka akibat perang yang serba keliru itu dapat disembuhkan, namun bekas luka-lukanya tidak akan pernah hilang, karena diceritakan dari orang tua ke anak, dari anak ke cucu dan dari cucu ke cicit sehingga menjadi ingatan kolektif yang penuh kepahitan.
Bila konflik di Nduga dibiarkan berlarut larut tanpa ketegasan penyelesaian yang damai dan bermartabat dan terus menerus membenturkan aparat keamanan dengan rakyat maka hasil akhirnya adalah menambah dan memperpanjang rasa sakit hati dan ketidak percayaan rakyat Papua kepada pemerintah.