Freeport : antara perpanjangan kontrak , kewajiban membangun smelter dan izin ekspor konsentrat
Kita patut menyambut gembira kebijakan Pemerintah yang telah mengeluarkan izin mengekspor konsentrat hasil produksi Freeport yang belum dapat dimurnikan di smelternya di Gresik, Jawa Timur. Lewat kebijakan tersebut, maka untuk sementara polemik antara Freeport dan pemerintah tentang kelanjutan operasi Freeport diharapkan dapat diakhiri dan negosiasi untuk mencapai suatu win-win solution dapat dilanjutkan.
Â
Selama ini ada kesan se-akan Freeport belum memiliki pabrik smelter dan tidak punya niat untuk membangun smelter di Indonesia. Bahkan dalam Media Indonesia tanggal 26 April 2017 ada usul agar konsentrat Freeport dimurnikan di Smelter milik PT Amman di NTB yang baru akan dibangun. Padahal pada tahun 1999, yaitu 10 tahun sebelum lahirnya Undang–Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Freeport yang berpatungan dengan Mitsubishi telah membangun smelter tembaga pertama di Indonesia, yaitu di Gresik, Jawa Timur. Smelter tersebut memiliki kapasitas untuk memproses konsentrat produksi Freeport menjadi batangan dan lempengan tembaga. Kapasitas tersebut disesuaikan dengan kapasitas produksi konsentrat dan daya serap produksi smelter di pasar dalam negeri pada waktu itu.
Sayangnya realitas tersebut tidak diakomodasi dalam undang-undang tersebut sehingga terkesan Freeport diperlakukan sebagai pihak yang belum memiliki smelter dan wajib membangun smelter baru bila ingin melanjutkan ekspor konsentrat. Mestinya berbicara tentang membangun smelter baru maka harus juga mempertimbang smelter yang sudah ada sebagai realitas yang tidak terpisahkan dari  kesungguhan Freeport membangun smelter. Akibatnya smelter dijadikan alat bargaining untuk selalu memojokkan Freeport sebagai perusahaan yang tidak patuh kepada Undang Undang.
Oleh karena itu, Pemerintah dan Freeport diharapkan untuk secepatnya menyelesaikan negosiasi perpanjang kontrak PTFI sebagai prasyarat atau jaminan kepastian hukum demi memperluas dan meningkatkan kapasitas produksi smelter yang sudah ada. Sebab dengan adanya kepastian hukum perpanjangan kontrak maka pada gilirannya pendanaan untuk mendukung investasi smelter baru senilai US$ 2,5 milyar relatif akan lebih mudah diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan yang bersedia memberikan dukungan bagi modal yang dibutuhkan. Â
Demikian juga halnya dengan eksport konsentrat yang mestinya tidak dilarang dengan alasan apapun karena akan melemahkan bisnis yang sudah berjalan 50 tahun sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak bagi negara, warga negara kita terancam kehilangan lapangan pekerjaan, melemahnya multiplier effect terhadap ekonomi Provinsi Papua dan khususnya Kabupaten Mimika, memicu terjadinya gangguan stabilitas keamanan di daerah serta akibat-akibat sosial lainnya yang belum dapat diprediksi.
Dalam merundingkan perpanjang kontrak Freeport ada prinsip dan semangat yang harus selalu dikedepankan yaitu win-win solution sebagaimana diharapkan oleh bapak Jokowi, presiden kita. Kepentingan nasional, kepentingan daerah tempat perusahaan beroperasi dan kepentingan pemegang saham akan menjadi isu-isu penting yang mewarnai seluruh perundingan. Kita percaya semua kepentingan ini akan dirundingkan dalam suasana saling pengertian tanpa mengorbankan prinsip-prinsip berbisnis yang berlaku secara umum. Â Â
Suka atau tidak suka Papua masih membutuhkan investasi sekelas Freeport yang tentunya dengan persyaratan yang semakin menguntungkan dalam jangka panjang. Mendiang mantan gubernur Izak Hindom dan mantan gubernur Barnabas Suebu menganalogikan Freeport sebagai sapi di belakang rumah orang Papua. Jangan bunuh sapinya karena Papua masih butuh susunya.
Kita berharap perundingan yang sedang berlangsung sekarang ini akan mengedepankan kepentingan Papua yang selama ini secara nasional diberi label daerah tertinggal.
Sudah waktunya kepentingan pembangunan Papua  dijadikan pertimbangan utama dalam perundingan. Artinya kehadiran Freeport di Papua harus memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan Provinsi Papua. Mungkin secara nasional kontribusi Freeport untuk ekonomi nasional dianggap tidak ada artinya tetapi bila seluruh pajak yang dihasilkan dikembalikan 80% saja kepada Papua akan sangat besar artinya bagi pembangunan rakyat di daerah itu. Kita sering mendengar suara-suara dari Papua yang meminta Freeport ditutup saja karena tidak memberi manfaat bagi Papua. Suara-suara ini dapat kita tafsirkan sebagai pelampiasan kekecewaan akibat harapan-harapan untuk menikmati pembangunan seperti di daerah-daerah lainnya belum terwujud. Freeport dapat diberi peran khusus untuk ikut berkontribusi dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia seperti peningkatan mutu Balai Latihan Kerja di seluruh Tanah Papua dengan mempersiapkan instruktur-instruktur dan peralatan yang berkualitas, pengembangan entrepreneurship di kalangan orang asli Papua dengan melibatkan perusahaan-perusahaan yang selama ini mendapat manfaat langsung dari Freeport, pengembangan laboratorium penelitian di universitas-universitas agar ada laboratorium yang berkualitas untuk meneliti berbagai potensi ekonomi yang ada di Papua. Mendukung pengembangan SDM di bidang kesehatan dan lain-lain.  Â