Kita melihat saat ini terjadi silang pendapat bahkan silang sengketa antara Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS -K), dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Kementerian Kesehatan, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia (ARSSI), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Perselisihan itu dipicu perihal Surat Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS nomor 2, 3 dan 5 tahun 2018 tanggal 25 Juli 2018 perihal pelayanan Buta Katarak, Ibu Melahirkan dan Anak serta Pelayanan Rehabilitasi Medik.
Peraturan itu membatasi pelayanan pada ketiga bidang pelayanan tersebut, walaupun hal tersebut selalu dibantah oleh BPJS dengan menyatakan tidak ada yang dikurangi dan tidak ada yang ditambah.
Tetapi dokter dan Rumah Sakit sebagai pelaksana pelayanan tahu pasti bahwa ada pengurangan pembiayaan dengan tujuan akhir adalah efisiensi. Untuk hal yang terakhir ini diakui oleh BPJS-Kes bahwa terbitnya Perdirjampelkes BPJS- Kes tersebut dapat menghemat biaya hingga Rp 360 Miliar.
Pada buta katarak pembiayaan dibatasi pada visus lebih jelek dari 6/18 tanpa mempertimbangkan pekerjaan dari pasien. Peraturan ini akan berakibat jelek bagi peserta yang bekerja memerlukan penglihatan optimal seperti pada pengemudi dan operator mesin.
Dalam hal ini yang dirugikan adalah pemberi kerja dan peserta. Pemberi kerja sangat dirugikan karena mereka lah sebagai pembayar terbesar dari iuran pekerja penerima upah. Pemberi kerja membayar empat persen dan peserta berkontribusi satu persen pada pekerja penerima upah BUMN, BUMD, dan Swasta.
Pada pekerja penerima upah yang bekerja pada lembaga pemerintahan kontribusi pemberi kerja 3 persen dan peserta 2 persen. Bagi pemberi upah, produktivitas adalah hal utama dan itu tentu tidak terpenuhi jika menunggu visus peserta sudah jelek.
Bagi peserta dengan pekerjaan pengemudi, maka visus lebih jelek dari 6/18, katakanlah 6/24 tentu berbahaya bukan hanya bagi peserta, tetapi juga bagi orang sekitar.
Bisa kita bayangkan sebuah objek yang harusnya dapat lihat dari jarak 24 meter oleh pengemudi, tetapi yang bersangkutan baru bisa melihat jelas setelah jaraknya 6 meter.
Dapat kita bayangkan risiko kecelakaan jika BPJS-Kes menerapkan aturan visus harus kurang dari 6/18 tanpa mempertimbangkan pekerjaan dari penderita. Kecelakaan bisa saja terjadi melibatkan dan membahayakan orang dalam kenderaan dan orang diluar kenderaan.
Bagi peserta yang pekerjaannya operator mesin, bisa kita bayangkan pentingnya peranan mata. kecelakaan sangat besar risikonya akibat penglihatan yang kabur melibatkan mesin dan jelas bukan hanya menyebabkan cedera pada peserta tetapi juga bisa mengganggu produktifitas perusahaan.
Pada kasus buta katarak, bukan hanya masalah visus yang menjadi masalah oleh BPJS, kuota operasi jelas oleh BPJS juga merupakan suatu yang membingungkan.Â
Penundaan operasi karena over kuota tidak menyelesaikan masalah, karena setiap bulan akan menyisakan pasien dan jadwal tunggu akan semakin panjang. Seseorang akan semakin lama menunggu penanganan kebutaannya.
Harusnya BPJS Kes kembali ke wilayahnya dengan tidak masuk ke wilayah medis yang jelas jelas merupakan wilayah teknis medis. Menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dan melayani substandar jangka panjang mengakibatkan kerusakan yang lebih parah dan akan menurunkan kualitas sumber daya manusia.Â
Jakarta
7 Agustus 2018
Patrianef
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H