Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Manajemen Jam Kerja Tenaga Medis yang Harus Dibenahi

29 Juni 2017   10:54 Diperbarui: 29 Juni 2017   18:51 4239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat dengan kejadian di mana Gubernur Jambi mengadakan kunjungan mendadak ke RSU Jambi untuk memastikan bahwa tenaga medis dan kesehatan yang bertugas saat itu benar benar sedang jaga dan terbangun. Ketika itu beliau mengamuk saat menemukan ada petugas yang tertidur disebuah ruangan. Berita itu jadi kontroversi antara yang pro dan kontra.

Menurut saya tidak ada tenaga profesional yang mengalami eksploitasi berlebihan saat ini selain dari tenaga medis. Eksploitasi itu semakin berlebihan jika berhubungan dengan peserta didik. Walaupun UU no 20 tahun 2013 sudah mengatur hak cuti dan hak atas insentif peserta didik.

Saat ini terjadi kematian seorang peserta didik pendidikan konsultan intensive care disebuah RS Swasta setelah mejalani tugas jaga selama 2 x 24 jam. Berbagai bantahan dan alasan muncul untuk pembelaan tugas yang melebihi jam kerja tersebut. Kematian tersebut disebut karena sebuah penyakit. Apapun alasannya, keletihan bekerja melebihi jam kerja tentu saja merupakan pemicu timbulnya kematian tersebut.

UU tenaga kerja mengatur bahwa seorang tenaga kerja hanya boleh bekerja 40 jam seminggu dan 8 jam perhari untuk 5 hari kerja dan Sabtu serta Minggu adalah hari libur. Bagi PNS jam kerja adalah 37.5 jam seminggu dan 7.5 jam perhari serta hari Sabtu dan Minggu libur. Tetapi untuk seorang dokter peraturan tersebut sering tidak berlaku atas dasar kelangkaan tenaga. Misalnya satu RS hanya punya seorang dokter spesialis bedah, maka bertugaslah dia selama 24 jam perhari dan berlangsung tiap hari. 

Bagi dokter peserta didik malahan lebih konyol. Mereka bisa bertugas melebihi 24 jam (penulis mengalami sendiri) dalam sehari dan tidak mendapatkan imbalan apapun kecuali sebungkus supermi dan sebungkus kecil gula dan kopi yang cukup untuk membuat segelas kopi yang butiran butirannya sangat kasar dan mungkin lebih tepat disebut "kopi jagung". Tugas 2 x 24 jam itu hal yang biasa. Untungnya mereka bertugas beberapa orang sehingga bisa berbagi tugas. Mereka dianggap sebagai tenaga gratis .

Mereka tidak dibayar, sehingga mereka berusaha "nyambi" dengan bertugas di RS Swasta besar sehingga mendapatkan tambahan pendapatan. Kadang kadang mereka menemukan keberuntungan pada hari libur besar dan panjang karena banyak yang minta digantikan. Keperluan mereka untuk pembeli kebutuhan hidup mengalahkan rasionalitas sehingga tugas melebihi kemampuan pun mereka ambil. Akar dari permasalahan ini adalah kebutuhan  biaya hidup yang tidak dipenuhi Rumah Sakit.

Terlepas dari silang sengketa mengenai penyebab kematian seorang peserta didik di sebuah RS Swasta besar di Jakarta, jam kerja seorang dokter harusnya dibenahi, jika menginginkan keselamatan pasien yang menjadi utama.

Jargon "patient safety" itu tidak bisa hanya sepihak. "Doctor safety" juga harus dikedepankan dengan memperhatikan kebutuhan dan keperluan mereka. Pasien tidak akan mendapatkan pelayanan yang berkualitas jika dokternya kurang tidur.

Regulasi hari kerja dan jam kerja sejogjanya juga berlaku bagi tenaga medis dan kesehatan. Pelaksanaan hal ini tentu saja dengan catatan sehingga ada pengecualian bagi daerah daerah yang kurang tenaga medis. Tidak boleh sebaliknya, karena tenaga medis masih langka, maka jam kerja tidak berlaku bagi mereka. 

Manajemen RS sering sekali memaksakan jam kerja dan dihitung sebagai kinerja tanpa pernah menghitung kelebihan jam kerja. Terlambat masuk kerja karena baru pulang dinihari melayani pasien dianggap sebagai keterlambatan dan mengurangi kinerja bersangkutan. Tetapi kelebihan kerja malam hari tidak dihitung.

Saatnya semua pihak melakukan introspeksi dan berbenah.

Padang, 28 Juni 2017

Patrianef Patrianef

Praktisi Kesehatan

Aktivis Pelayanan Kesehatan dan Kedokteran 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun