Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Stetoskop, Simbol Profesi Dokter

11 Oktober 2016   10:29 Diperbarui: 11 Oktober 2016   14:01 926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir semua orang mengenal stetoskop. Setiap orang punya persepsi yang berbeda tentang stetoskop ini, bergantung pada latar belakang, pendidikan, dan pekerjaan. Di fasilitas layanan primer (puskesmas atau klinik), benda ini selalu ada. Mulai dari yang sudah usang sampai yang masih baru. Setiap pengadaan barang, benda ini selalu ada. Mereknya bermacam macam. Bisa Riester atau merek lain, bisa juga Littman. Littman termasuk barang yang cukup mahal dan sering tidak tersedia, kecuali dimiliki pribadi oleh dokter.

Saat mulai memasuki klinik, seorang mahasiswa kedokteran mulai melakukan pemeriksaan pada pasien. Pada saat itu, mereka mulai memerlukan alat-alat kedokteran . Yang sangat penting adalah stetoskop dan tensimeter. Mereka mulai mencari alat-alat itu dan meminta kepada orangtuanya agar dibelikan. Orangtua yang dimintai uang biasanya merasa senang karena dengan adanya alat itu, anaknya selangkah lebih dekat dengan cita-citanya dan orangtuanya juga dapat menjalani pemeriksaan sederhana di rumah, minimal mengukur tensi.

Pada saat pertama kali belajar menggunakan stetoskop, ada perasaan “sesuatu” pada mahasiswa yang mulai belajar. Mereka mulai merasa menjadi dokter. Mereka mulai mengalungkan stetoskop di leher dan mulai ber-selfie ria dengan menggunakan stetoskop mereka. Ada kebanggaan tersendiri saat mulai menggunakan stetoskop tersebut. Ada perasaan yang gak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Sebagian dokter akan menggunakan stetoskop sebagai modalitas utama sepanjang kariernya, terutama jika dia menjadi dokter umum dan dokter spesialis non bedah. Sehingga sering ada potret seorang dokter menggunakan jas putih dan stetoskop di leher serta wajah tersenyum ramah. Sebagian besar orang menganggap inilah gambaran dokter yang ideal. Gambaran-gambaran inilah yang membawa banyak anak SMA bercita-cita menjadi dokter. Saya yakin dalam kepala mereka itulah gambaran dokter impian mereka.

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa stetoskop dapat menentukan sebagian besar penyakit. Seorang pasien tidak merasa puas jika dokter tidak menggunakan stetoskop saat memeriksa mereka. Begitu dokter mulai menggunakan stetoskop, mulai ada perasaan bahwa dokter itu serius memeriksa mereka. Tidak hanya pegang, pegang, raba-raba, dan ketok-ketok. Padahal, stetoskop itu tidak akan ada artinya jika dokter tidak meraba-raba, pegang-pegang, dan ketok-ketok pasiennya.

Saking berharganya stetoskop itu, pasien sakit kepala pun merasa bahwa stetoskop itu perlu diletakkan dijidatnya agar dapat menentukan sakitnya. Jika punggung mereka sakit, mereka juga ingin stetoskop itu diletakkan di punggung mereka.

Ada dokter yang memeriksa pasien dengan menggunakan stetoskop, tetapi bagian kupingnya tidak terpasang. Tentu saja tidak ada bunyi yang terdengar. Tetapi pasien mungkin tidak menyadari dan yang bersangkutan memeriksa hanya karena refleks tanpa berusaha mendengar. Mungkin sang dokter sudah tahu diagnosa pasien dan menggunakan stetoskop hanya untuk menyenangkan pasien.

Suatu ketika saya sedang operasi pasien, tiba-tiba petugas biusnya panik karena tidak terdengar suara jantung pasien. Saya sedang operasi dan pasiennya biasa-biasa saja. Saya sampaikan kepada petugas agar memeriksa stetoskopnya. Jangan-jangan stetoskopnya yang rusak. Dan benar saja ternyata stetoskopnya yang rusak, bukan pasiennya yang henti jantung.

Yang menyedihkan adalah di puskesmas, sering alat yang pasti ada adalah stetoskop dan tensimeter. Ini digunakan pada semua kasus. Sementara alat-alat yang lain sering tidak bisa digunakan. Maka dokter menggunakannya pada semua kasus. Jika dokter turun ke lapangan, yang tidak boleh lupa adalah stetoskop dan tensimeter, karena jika pasien sudah diperiksa menyeluruh, tetapi jika stetoskop belum ditempelkan ke bagian tubuhnya, sama artinya pemeriksaannya belum lengkap.

Walaupun saat ini sudah ditemukan Ultra Sonografi yang jauh lebih informatif dibandingkan stetoskop, tetap tidak bisa menggantikan stetoskop yang sudah berubah menjadi simbol dan tetap membuat yang memegang dan menggunakannya memperoleh aura tersendiri. Sehingga masih tetap sering terlihat seorang dokter senior berjalan di lorong rumah sakit menggunakan jas putih dan stetoskop di lehernya. Bagi masyarakat ini sekaligus juga penanda, bahwa yang berjas putih dan ada stetoskop di lehernya ini adalah seorang dokter, bukan profesi lain. Jika sedang menunggu lama antrean di poliklinik dan tiba-tiba ada yang masuk dengan memegang stetoskop, pasien lega dan tahu bahwa pemeriksaan pasien akan segera dimulai karena mereka menganggap dan yakin bahwa yang datang itu adalah dokter yang ditunggu-tunggu.

Sampai kapan masa ini akan berlangsung, tidak ada yang tahu. Karena profesi dokter pun sepertinya akan tetap menggunakan stetoskop sebagai simbol dan penanda bagi profesi mereka. Bahkan, bagi spesialis tertentu memang menjadi penanda. Jika Anda melihat seorang dokter berjalan dan terlihat bahwa stetoskopnya lebih kecil, kemungkinan besar itu adalah dokter anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun