Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Masih Ada yang Ingin Jadi Dokter di Indonesia?

16 Juli 2016   00:11 Diperbarui: 1 Juli 2017   03:53 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami dokter Indonesia memang ditakdirkan seolah olah menjadi sumber masalah di negara ini. Stereotipekami memang sudah dibentuk dan tertanam seperti itu. Entah sejak kapan itu mulai, kami tidak tahu dan tidak paham. Mungkin saja sejak jaman penjajahan. Pada tahun 1944, Direktur Lembaga Eijkman dr. Achmad Mochtar disalahkan atas tragedi kematian 900 romusha yang disuntik dengan sejenis cairan vaksin eksperimen Jepang, dan untuk menutupi kesalahan eksperimen penjajah Jepang karena ada ancaman kejahatan perang jika hal itu terbongkar, maka dr Achmad Mochtar dikorbankan dengan jalan disalahkan dan di hukum mati dengan jalan dipancung dan tidak cukup hanya itu konon katanya sesudah dipancung jasad beliau digilas dengan mesin giling.

Sampai saat ini takdir seperti itu terus berlanjut. Jika ada pasien yang tidak tertangani dirumah sakit dan tidak bisa dioperasi, dan pasien mengadu ke media massa maka para petinggi termasuk wakil kami, wakil rakyat juga bahkan seorang dokter akan datang kerumah sakit, menanyakan dokternya kenapa pasien sampai sekarang belum ditangani. Akan muncul di media massa dan media sosial bahwa dokter di RS A atau apapunlah namanya menelantarkan pasien. Padahal masalah pada pasien itu bisa saja penjaminannya yang belum selesai, atau ketersediaan tempat di RS tersebut terbatas, atau fasilitas di RS tersebut tidak memadai. Masalah manajemen akhirnya dibebankan kepada dokter, gampang memang menuduh dokter.

Jika ada pembiayaan mahal di suatu RS, maka kembali yang disorot adalah dokter. Dokter jangan menerapkan tarif mahal mahal. Dokter jangan mengambil keuntungan dari pasien, dokter jangan mengeruk keuntungan diatas penderitaan pasien. Muncul di media massa dan media sosial hujatan kepada dokter. Padahal tarif disuatu RS ditentukan oleh manajemen RS, apalagi di RS Pemerintah dan di RS Swasta yang melaksanakan asuransi sosial BPJS. Tak ada pengaruh dokter dalam menentukan jasa. Yang paling menentukan adalah manajemen RS dan saat ini yang punya kuasa mutlak adalah tarif BPJS yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Ayo, dimana salahnya dokter?.

Jika ada pasien yang meninggal di RS, jika ada keluarga yang membawa kedia massa atau media sosial dan membawa ke jalur hukum, maka yang salah adalah dokter lagi. Padahal mungkin saja obat yang disuntikkan tersebut bermasalah seperti obat yang digunakan untuk anestesi spinal dan menyebabkan kematian pasien yang dianastesi. Atau kalau masih ingat kita gas oksigen yang tertukar oleh petugas di salah satu RS kalau tak salah di bengkulu sehingga menyebabkan kematian pasien. 

Yang salah bukanlah pabriknya, atau petugas yang salah mengisi gas. Tetapi paling gampang memang menuding dokter lagi. Mana ada dokter yang ingin pasiennya meninggal. Tidak ada yang memprediksi bagaimana hasil pengobatan seorang dokter, karena seorang dokter bukanlah malaikat, mereka hanya bisa berusaha. Tuhanlah yang menentukan.

Kan dokter dapat jasa pelayanan? Ketahuilah bahwa jasa pelayanan itu digunakan dan dibagi untuk semua pihak termasuk untuk membiayai rumah sakit apalagi di RS swasta, menggaji satpam, menggaji cleaning service, menggaji perawat, menggaji bidan, menggaji manajemen, bahkan menggaji direktur. Tetapi jika ada masalah dan sampai keranah hukum maka korbannya sebagian besar dokter, yang malpraktek adalah dokter. Jasa pelayanan digunakan dan dibagi bersama sama, tetapi resiko pelayanan ditanggung sendiri. Tragis sekali

Jika mau pemilihan kepala daerah maka dokter juga yang menjadi korban. Kesehatan memang jualan yang paling gampang. Maka calon kepala daerah berjanji kepada masyarakatnya bahwa pengobatan di Puskesmas dan di RS akan berlangsung 24 jam dan gratis. Gampang memang mengucapkannya, tanpa pernah mengingat bahwa dokter itu juga adalah manusia biasa yang perlu istirahat seperti orang lain. Perlu juga menyediakan waktu buat istri atau suami dan anak anak dirumah. 

Bahkan ada calon kepala daerah yang menjanjikan pengobatan sampai kedepan pintu rumah masyarakatnya. Tragis memang. Entah dia sendiri akan duduk dan berdiam dikantornya selama 24 jam. Gampang memang mengorbankan dokter. Tetapi jika mereka terpilih sebagai kepala daerah, maka pelayanan kesehatan akan menjadi sumber pendapatan asli daerah, sehingga banyak RS di daerah yang menderita seperti baru baru ini RS Taluk Kuantan di Riau yang tidak bisa memberikan pelayanan karena dana yang ada disetor ke kas pemda dan karena kesalahan penganggaran dana untuk RS tidak mencukupi.

Berikutnya lagi, pegawai lain boleh liburan pada saat hari raya, maka ada pengumuman khusus untuk tenaga medis harus ada jaga 24 jam. Maka berbagi tugaslah mereka untuk mengatur pelayanan supaya mempunyai waktu sedikit untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga. Tragis jika tak ada tempat berbagi jika dokter sedikit maka dia akan bertugas 24 jam. Adakah kita semua paham bahwa mereka sama seperti yang lain perlu bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat. Bahkan suatu lembaga mengeluarkan pengumuman nama nama RS yang buka 24 jam pelayanan, walaupun lembaga tersebut bukan atasan RS, tragis memang.

Sudah banyak bukan, tapi masih banyak yang lain. Disaat pegawai negeri lain bertugas 40 jam seminggu, maka kami bertugas 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 30 hari sebulan. Wajib mengambil absensi pagi seperti pegawai lain, wajib absensi pulang. Jika masuk terlambat maka dihitung sebagai kurang masuk, jika pulang terlambat tidak dihitung sebagai kelebihan kerja. Tidak tahu mereka bahwa sang dokter terlambat masuk karena baru pulang dinihari menolong pasien. 

Jika masuk hari libur menolong pasien itu hal biasa dan tidak dihitung sebagai kelebihan jam kerja. Tidak tahu mereka bahwa si dokter dijadwalkan operasi jam 11 malam di RS tersebut sehingga tidak lagi konsentrasi ,dan manusiawi sebetulnya jika tidak masuk hari berikutnya. Tetapi itu tidak berlaku bagi kami. Kami akan ditegur untuk kesalahan terlambat masuk dan ketidak hadiran dan akan mengurangi kinerja kami. Beda dengan petugas lain. Masuk pagi pulang sore, teratur dan tak bekerja diluar jam kerja. Tragis memang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun