Kita perlu mengingat bahwa mereka mereka ini bukan hanya seorang sarjana, tetapi adalah seorang profesional yang sudah menjalani pendidikan tambahan di klinik selama 2 tahun dan menjalani pendidikan internship selama 1 tahun . Hanya untuk bertugas dengan cara heroik itu mereka harus menjalani pendidikan 4 tahun untuk menjadi sarjana dan tambahan 3 tahun untuk bisa berprofesi penuh sebagai dokter. Jika mereka tidak lancar menjalani dan kadang-kadang hanya untuk hal sederhana seperti menunggu jadwal internship yang lama maka waktu tersebut bisa memanjang .
Pertanyaannya sangat sederhana, bisakah negara ini berlaku lebih bijaksana dan humanis kepada tenaga dokter yang mulai dari masuknya saja mereka adalah orang orang terpilih, sering tidak sampai hanya 5% dari seluruh pelamar program studi ini yang diterima dan mereka adalah 5% terbaik dari pelamar tersebut. Saat pendidikan mereka sudah harus belajar tunggang langgang, siang malam, tidur berkalang text book.Â
Saat orang lain tidur mereka harus bangun. Saat orang menyelesaikan semua pendidikan dan menjadi professional hanya perlu waktu 4 tahun, mereka perlu waktu. Kenapa hanya profesi ini yang harus menjalani aturan aturan yang sedemikian rupa, menghabiskan waktu dan umur, sementara imbalan yang mereka terima lebih besar dari gaji seorang sopir bus trans Jakarta yang minimal sebanyak Rp 6,2 juta rupiah per bulan.
Pertanyaan juga sangat sederhana, berapa sih sisa dari gaji mereka yang dapat mereka simpan sebagai persiapan untuk biaya pendidikan lanjutan mereka. Kalau gaji mereka cuma Rp 5,4 juta dan mungkin mendapatkan insentif atau praktek lain di luar itu sebanyak 2 juta sehingga memperoleh pendapatan Rp 7 jutaan, kira kira berapa sisa yang dapat mereka tabung untuk persiapan melanjutkan pendidikan ke depannya.Â
Jika seandainya masih bersisa Rp 2 juta per bulan maka selama 2 tahun mereka memperoleh Rp 48 juta. Jumlah yang sangat kecil untuk membangun impian. Jika mereka berkeluarga maka mungkin tidak ada uang sisa yang dapat mereka simpan. Mereka kecewa pada saat ujung pengabdian, ternyata uang yang mereka kumpulkan belum memadai bahkan tidak cukup hanya untuk pembayar uang masuk pendidikan spesialisasi.
Bagi mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan tentu akan dibantu oleh orang tua atau bahkan mertua untuk membangun impiannya. Banyak mereka yang berkemampuan tidak melaksanakan PTT atau Nusantara Sehat, karena mereka mampu dan punya uang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Mereka akan lebih senang menjalani pendidikan tanpa ikatan dan kewajiban apa apa. Tetapi lebih banyak dokter yang berasal dari keluarga sederhana. Dan sebagai orang sederhana tentu mereka punya keinginan besar untuk berubah. Dan harusnya itulah yang dibantu oleh pemerintah, membantu membangun impian mereka demi dunia kedokteran yang lebih baik.
Banyak pemerintah daerah yang bersedia membantu mereka yang berkeinginan untuk sekolah dengan kewajiban bermacam macam, mulai dari kewajiban kembali selama 2N+2 sampai N+2. Artinya ada kewajiban mereka kembali bertugas di daerah, jika mereka dibiayai selama 4 tahun maka mereka wajib kembali mengabdi selama 6 sampai dengan 10 tahun.Â
Jika mereka mulai menjalani pendidikan umur 30 tahun dan selesai umur 36 tahun maka mereka akan wajib mengabdi di kabupaten tersebut sampai umur 42 atau 46 tahun. Banyak yang tidak mau mengambil karena kewajiban pengabdian yang tidak seimbang. Ada juga beasiswa dari Kementerian Keuangan yang tidak banyak mengikat, tetapi jumlah penerima beasiswa biasanya terbatas.
Sudah waktunya mindset bahwa menempatkan tenaga dokter ke daerah sebagai kewajiban dengan imbalan yang tidak memadai bagi mereka diakhiri. Penempatan dokter dengan sistem yang wajar dan memberikan insentif yang memungkinkan mereka membangun impian pendidikan dan keluarga yang layak , itulah yang harus diusahakan.
Semoga dunia kedokteran Indonesia ke depannya jauh lebih baik.
Jakarta, 15 juni 2015
Patrianef