Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Insentif ,Jam Kerja Residen dan Perlindungan Hukum

29 Mei 2016   01:12 Diperbarui: 29 Mei 2016   07:40 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Saya tergelitik lagi untuk menulis hal ini karena ada sejawat kita yang menyampaikan bahwa peserta PPDS statusnya adalah peserta didik sehingga wajar tidak dibayar,  walaupun banyak bekerja tetapi bukan DPJP. Klaim peserta BPJS harus ditandatangani oleh DPJP. Peserta didik juga tidak punya SIP.

Mereka juga status belajar dan mencari pengalaman untuk menjadi spesialis. Dan itulah keuntungan yang mereka peroleh dimasa depan.

Selain itu PNS juga punya gaji dan sering ada bantuan dari PEMDA, kecuali yang mandiri tentu minta bantuan sama pasangan dan mertua atau orang tuanya.

 

Yang pertama yang ingin saya sampaikan itu adalah bahwa hal itu adalah amanat UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, pasal 24 dan 31. Jika ada pihak yang tidak setuju tentu bisa mengajukan judicial review, atau membuat UU baru tentang pendidikan kedokteran. UU itu sudah cukup lama sudah lebih 3 tahun dan sampai sekarang belum ada turunan berupa aturan pelaksanaannya sehingga susah dilaksanakan oleh RS. Apalagi antara Dikti yang menerima PPDS dan RS adalah dua institusi yang berbeda sehingga pengeluaran uang harus jelas aturannya. Tetapi hal itu sebetulnya bukan hal yang rumit, tergantung niat dan aturan baik. Jadi pemberian insentif untuk peserta PPDS bukanlah wacana tetapi merupakan amanat undang undang dan harus dilaksanakan. Persoalannya harus ada kekuatan yang cukup untuk memaksa pihak terkait melaksanakan Undang Undang ini. Itu bisa saja dilakukan oleh IDI, PDGI dan LSM seperti DIB atau LSM lainnya.

Beda halnya dengan pendidikan dokterumum, saat pendidikan mereka tidak bekerja sehingga memang tidak dibayar.

 

Yang kedua, bahwa pemberian insentif tak ada hubungannya dengan DPJP. DPJP adalah penanggung jawab pasien secara medikolegal. Insentif adalah hal yang berbeda. Perawat, bidan, petugas paramedis , petugas non medis, pegawai administrasi, manajemen semuanya mendapatkan bagian dari jasa pelayanan dan tolong diperhatikan bahwa mereka bukanlah DPJP. 

 

Yang ketiga adalah bahwa Residen sekarang memang disaratkan mempunyai SIP di" tempat tugas" nya. Bahkan mereka mendapatkan kompetensi sesuai dengan level pendidikannya tetapi tentu tetap dibawah supervisi dari pendidiknya. 

Memang benar bahwa ada sebagian peserta didik saat ini yang mendapatkan bantuan dari Pemdanya. Tetapi tolong dicatat bahwa bantuan Pemda tersebut bukannya tanpa pamrih dan sangat sering mengikat sebanyak N+2. Artinya jika dia menjalani pendidikan 5 tahun dia harus kembali dan mengabdi disana sebanyak 7 tahun. Dan sesudah 7 tahun pun sering dihalangi oleh Pemda untuk pindah. Jika yang bersangkutan selesai pendidikan diumur 35 tahun, maka dia punya peluang pindah pada umur 42 tahun. Tetapi itupun belum pasti. Sementara mereka harus memikirkan pendidikan untuk anak anaknya yang sudah besar

. Di Kota Kabupaten  Pendidikan Tinggi sebagian besar tidak ada dan pendidikan menengahpun sering bermasalah. Apakah ini bantuan?, yang dimaksud yang sebetulnya lebih tepat disebut sebagai jebakan bagi orang yang sangat membutuhkan uang sehingga mereka terpaksa menerimanya. Memang PNS menerima gaji, tetapi jujur sajalah kita bahwa mereka kehilangan tunjangan saat pendidikan sehingga gaji mereka sangat kecil sehingga untuk menopang kehidupan keluarganya saja susah. Jujur sajalah kita. Kita sama sama pernah mengalami bahwa susah hidup saat menjadi residen dan banyak teman teman kita yang lebih susah jika dia menjadi tulang punggung keluarganya.

 

Ke empat didalam UU no 20 tersebut dalam ayat 1 pasal 34 juga dicantumkan bahwa peserta didik DLP. PPDS dan Peserta didik program pendidikan subspesialis juga berhak mendapatkan istirahat dan cuti. Jam kerja pegawai yang 8 jam sehari dan seminggu 5 hari kerja. Total 40 jam itu sering terlewati hanya dalam satu hari tugas jaga. Artinya sesudah tercapai 40 jam maka mereka tidak perlu masuk kerja disisa minggu itu. Kalau mereka tetap bekerja maka mereka harus dibayar lembur. Sekarang kita harus jujur saja, bahwa kita sudah sering mempekerjakan murid murid kita, adik adik kita diluar batas kewajiban, mereka tetap harus bekerja seperti biasa sesudah melebihi jam kerja dalam sekali jaga. Kejujuran akan membuka peluang untuk terjadinya perbaikan.

Kelima. Apakah kita beranggapan bahwa jika mereka dididik dengan cara demikian ,bekerja tidak dibayar, bekerja melebihi jam dinas tanpa ada hak istirahat dan cuti sebagai hal yang wajar. Jika kita anggap itu hal yang wajar, maka pemikiran kitalah yang justru harus dibenahi. Pembenaran terhadap hal itu justru melahirkan generasi berikutnya yang menciptakan pembenaran terhadap hal itu. Mereka berkata" kami justru menjadi begini karena mengalami hal hal susah tadi". Mereka lupa seandainya mereka dididik dengan penghargaan dan bermartabat maka akan tercipta generasi yang percaya diri dan kepala tegak menghadapi persaingan apapun bentuknya. Mau MEA mau AFTA, ga ada masalah. Gak perlu ketar ketir. Sangat percaya diri dan tidak memikirkan proteksi.

 

Keenam, menurut Undang Undang tersebut, mereka berhak memperoleh perlindungan hukum. Malu tidak kita ada residen yang peserta didik dihukum untuk kesalahan yang sebetulnya lebih tepat disebut sebagai resiko seperti di Manado. Saya pernah mendengar sendiri seorang residen dipukul oleh keluarga pasien. Dan manajemen menyalahkan residen dan meminta maaf kepada keluarga yang sudah melakukan tindakan premanisme . Bukannya memberikan perlindungan hukum, tetapi lebih mencari jalan termudah menyalahkan residen.

Jika kita ingin memperoleh hasil yang bagus maka orang yang kita pekerjakan harus kita beri imbalan yang sepadan. Apakah wajar kita mengharapkan hasil bagus dari pekerja gratis dan murah. 

Mereka bekerja dan belajar dengan mata merah karena kurang tidur.

Mereka belajar dan bekerja sambil memikirkan susu anaknya belum dibeli. Sambil bekerja mereka memikirkan susu apa yang paling murah dan toko mana yang menjualnya.

Mereka belajar dan bekerja sambil memikirkan kontrak rumah bulan depan sudah habis. Sambil memikirkan kepada siapa minta bantuan, sembari merenung pinjaman kontrak tahun lalu masih belum dibayar. Adakah itu tidak kita lihat dimatanya.

Mereka belajar sambil bekerja dan merenungkan permintaan anak anaknya yang minta diajak makan keluar. Dia bekerja sambil merenung tempat makan manakah yang memenuhi bujetnya tetapi tetap membuat anak anaknya bahagia.

Mereka belajar sambil bekerja dengan diam sehingga pasien sering mengira mereka berfikir. Padahal yang ada dalam kepala mereka adalah kenaikan kelas sudah semakin dekat dan anak perlu membeli kebutuhan sekolah. Mereka juga sedang memikirkan lebaran semakin dekat dan anak anak perlu baju dan sepatu baru. Mereka memikirkan apa kata tetangga mengetahui bahwa bapaknya seorang dokter sementara anaknya susah. Tetangga mungkin memikirkan betapa pelitnya si orang tua, padahal problemnya adalah mereka mesti memprioritaskan penggunaan uang yang sedikit.

Mereka tidak sempat dan tidak ingin memikirkan rumah untuk anak anak dan istrinya. Biarlah itu jadi fikiran dimasa depan. Bisa ndak kita membayangkan akan jadi apa anak dan istrinya jika dia meninggal sebelum menyelesaikan pendidikan. Tak punya harta, rumah kontrakan. Kebayang gak akan kemana mereka pergi.

 

Saya sedih sangat memikirkan jika masih ada sejawat yang beranggapan hal itu wajar dan lumrah. 

 

Tahu tidak teman teman, sistem pendidikan spesialisasi kita ini menjadi olok olok dan guyonan serta lelucon dilingkungan spesialisasi negara tetangga kita. Malu tidak anda, negara besar ini jadi bahan olok olok dan lelucon. Saya malu sangat. Belum sampai satu bulan saya pulang dari negara tetangga dan pertemuan Faculty meeting dengan negara serumpun ASEAN, sungguh sungguh saya malu. Negara besar dan konon katanya merupakan negara dengan kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di ASEAN memperlakukan peserta didiknya dengan kurang layak, kurang istirahat, tidak dibayar. Membayar malahan.

 

Berhentilah kita mencari pembenaran. Lihatlah mata anak didik kita yang tertunduk menghadapi kita dengan mata merah, dengan pakaian lusuh, dengan kepala tertunduk, dengan tangan memegang scrotum. Itukah yang kita inginkan.

Sudah saatnya kita hentikan cerita residen yang hidup susah sehingga memelas dan hilang akal mencari kontrakan yang murah. Sehingga tetanggapun ikut sedih melihatnya.

 

Marilah kita ciptakan generasi yang berdiri dengan kepala tegak. Dengan jas rapi, sepatu mengkilat, mata berbinar. Anak anak dan istri bangga bahwa bapak dan suaminya sekolah lagi.

 

Berhentilah bercerita bahwa kami ikut membantu residen kami. Yang harus kita benahi adalah sistem. Janganlah bangga dengan kerja pribadi sementara kita tetap melanggengkan dan melestarikan hal yang melanggar undang undang ini

 

Apa sih susahnya menjalankan Undang Undang.

 

Jakarta, 29 Mai 2016.

 

Patrianef Patrianef

Seorang Staf Pengajar PPDS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun