Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tugas Jaga Dokter Residen

25 Mei 2016   13:48 Diperbarui: 25 Mei 2016   13:55 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tidak banyak yang tahu apa tugas seorang dokter residen,bahkan keluarga, istri/suami, anak dan tetangga. Yang mereka tahu adalah bahwa si dokter bekerja di rumah sakit besar. Mereka melihat dan menduga bahwa si dokter adalah pegawai tetap dan organik di rumah sakit tersebut, dan tidak tahu bahwa si dokter menjalani pendidikan dengan “bekerja” sebagai “dokter spesialis” di RS tersebut.

Selama menjalani pendidikan maka salah satu bagian yang terberatnya adalah tugas jaga. Tugas jaga sebagai dokter dibagian sesuai dengan tempat dia menjalani pendidikan. Residen bedah misalnya akan bertugas jaga sebagai dokter “spesialis bedah” di tempat dia menjalani pendidikan. Mereka akan bekerja sehari hari sebagai dokter yang mengerjakan kasus kasus bedah sesuai dengan kompetensi yang diberikan kepada mereka. Tentu saja sebagai penanggung jawab adalah dokter konsulen bedah di RS tersebut. Dan mereka bekerja di supervisi oleh dokter konsulen di RS tersebut.

Tugas jaga disambung dengan tugas rutin bisa berlangsung sampai dua hari. Misalnya jika yang bersangkutan jaga hari senin, Maka mulai senin pagi jam 07.00 mereka sudah mulai tugas jaga sembari tetap mengerjakan tugas tugas rutin dalam menjalani pendidikan. Mereka akan tugas jaga sampai selasa jam 07.00 hari berikutnya. Ini akan disambung dengan tugas rutin kembali sampai pukul 15.00 hari selasa. Jika masih ada pasien yang bermasalah dan belum ada keputusan karena masih perlu konsultasi dan pemeriksaan penunjang lanjutan, maka mereka tidak bisa pulang dan harus menyelesaikantugas dan tanggung jawabnya lebih dahulu. Itu bisa berlangsung sebentar dan bisa berlangsung lebih lama. Jadi bekerja dan tidur dua malam berturut turut di RS itu hal biasa bagi seorang residen.

“Oh, mereka kan dapat insentif untuk tugas jaganya”. Tunggu dulu, mereka sama sekali tidak mendapatkan insentif dan imbal jasanya untuk tugas jaga yang menguras tenaga tersebut. Ada anggapan bahwa itu kewajiban dan hal yang lumrah mereka lakukan sebagai residen. Walaupun sebetulnya itu hanya terjadi di bumi kita tercinta yang kaya raya ini. Saya punya banyak teman satu profesi dari manca negara, pada waktu saya sampaikan bahwa pendidikan spesialis di Indonesia membayar, mereka heran, “ kok bisa ya” kata mereka. Bagi kita disini , seolah olah hal yang biasa melihat residen menderita karena konsulen juga pernah menjalaninya , akan ada yang berkomentar, “ biasa saja, kami dulu juga menjalaninya”.

Lalu apa yang mereka dapatkan?. Mereka mendapatkan makan pagi, siang dan malam hari. Jangan berfikir makan mereka sekelas Rumah Makan Sederhana. Makanan mereka benar benar sederhana. Biasanya makan pagi dengan telur rebus yang dicemplungin kedalam gulai, makan siang pakai telur goreng, malam hari pakai telur mata sapi. Untuk menghibur diri, maka biasanya menyebut nasinya pakai “ayam lengkap”. Saya sampai saat ini entah karena trauma atau bagaimana, setiap melihat hidangan rumah makan pakai hidangan telur rebus atau goreng, langsung merasa mual. Dan langsung saya pinggirkan.

Mereka juga mendapatkan kopi dan gula. Jangan berfikir mereka mendapatkan kopi luwak atau kopi gayo atau kopi bermerek lain. Mereka mendapatkan kopi yang tidak bermerek. Begitu selesai mereka minum maka ampasnya akan menempel di bibir dan tinggal di kumis. Serbuknya begitu kasar. Malahan saya berfikir jangan jangan lebih banyak campuran jagungnya ketimbang kopinya. Miris memang. Tetapi tetap mereka buat dan minum pada malam hari sebagai teman berjaga jaga mereka.

Dapat juga mereka mie bungkus dan telur. Karena tidak ada tempat masaknya maka sering mereka bawa pulang dan kadang kadang untuk telurnya jadi arisan. Bergantian mereka membawanya pulang.

Jangan fikirkan tempat tidur mereka. Jika ada kamar jaga dengan dua tempat tidur, sementara yang jaga ada 6 orang, maka mereka bisa tidur dimana saja. Bisa di kursi, bisa ditempat tidur pasien. Bahkan bisa di kereta dorong pasien . Jika ada yang bertanya, maka jawabannya gampang,” kan anda jaga, jaga itu ya tidak tidur”. Tidak tidur dua hari berturut turut bisa dibayangkan bagaimana kondisinya.

Menyedihkan memang , apa yang terlihat dipermukaan tidak seperti apa yang terlihat didalam. Dan untuk kita selalu ada pembenaran dan alasan bahwa mereka harus menjalani itu. Toh nanti setelah menjadi spesialis nasib mereka akan lebih baik. Suatu mata rantai yang sebetulnya telah di putus oleh UU no 20 tahun 2013 pasal 24 dan pasal 31 tetapi sampai sekarang masih belum ada petunjuk pelaksanaannya. Entah mungkin masih ada keinginan sebagian pihak untuk melestarikannya sehingga menjadi ciri khas Indonesia.

Saya pernah menjalani pendidikan di luar. Peserta didik program pendidikan spesialis disana dihargai, sehingga mereka bisa belajar sambil bekerja dengan tenang. Tidak memikirkan bagaimana kehidupan keluarga. Di Indonesia seorang yang mau menjalani pendidikan akan berfikir, “siapa yang menanggung kehidupan keluarga saya jika saya sekolah”. Apalagi jika istrinya tidak bekerja. Sering ini jadi alasan bagi sebagian orang tidak melanjutkan pendidikannya.

Penulis yang bekerja sebagai PNS Gol III D saat menjalani pendidikan merasakan beban berat untuk membiayai keluarga. Praktis selama 6 tahun menjalani pendidikan mesti bersabar dan ikhlas menjalaninya. Kalau peserta pendidikan berasal dari swasta dan mandiri pasti akan lebih susah. Penulis di saat pendidikan masih curi curi waktu dengan berpraktek bergantian dengan istri di rumah. Hal itu sangat banyak membantu. Sering kami menunggu pasien dahulu baru bisa membeli bensin. Hal yang pedih dan pahit. Tetapi kami selalu bisa tersenyum dan menghibur diri. Selalu tersenyum dan berkata “ kalau sudah selesai kita beli itu nanti ya”. Hal yang sederhana saja misalnya “ beli itu pa” pinta anak anak. Biasanya yang pertama dilihat adalah harga dan jika mahal akan dijawab” ndak bagus itu nak, kita pilih yang lain saja ya” dan dicari yang lebih murah dan sering sekali murahan.

Ada juga yang menjalani hidup lebih tenang, jika berasal dari keluarga yang berkecukupan. Tetapi selalu ada pertanyaan yang menggayut di fikiran keluarga , “ Kerja kecapean, siang malam, kok ga ada duitnya ya”. Ada memang sedikit rasa tidak percaya.

Ada tugas luar di RSUD dan itu biasanya disambut dengan suka cita, apalagi jika itu tugas luar ke rumah sakit yang belum ada spesialisnya. Tugas itu akan memberikan sedikit banyak uang. Walaupun bertugas sendiri selama 24 jam sehari, tetapi tidak ada yang mengeluh. Karena ditempat yang tidak ada spesialisnya maka ketrampilan mereka dihargai dengan wajar dan mereka dibayar. Yang pergi tugas luar biasanya sudah tahun tahun terakhir dari pendidikannya.

Membantu konsulen tugas luar merupakan tugas yang ditunggu tunggu. Biasanya konsulen itu akan membantu dengan memberikan imbalan jasa yang sangat membantu mereka. Pada saat sudah menjadi chief, tugas membantu konsulen ini semakin sering dan pada saat itu mereka mulai merasa sedikit nyaman. Jangan dibayangkan bahwa yang mereka terima besar, tetap kecil, tetapi artinya sangat besar bagi mereka.

Bagaimana kita mengharapkan pelayanan kesehatan yang berkualitas di republik tercinta ini, jika untuk pelayanan pasien di rumah sakit kita masih mengandalkan tenaga gratis dan dibayar hanya dengan mie murahan, makanan murahan, kopi murahan. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas tanggung jawab mereka jika mereka mendapatkan dan memperoleh imbalan yang sangat tidak layak. Ada harga untuk pelayanan berkualitas .

Sudah saatnya pembuat kebijakan memperlakukan dokter indonesia lebih manusiawi dalam bertugas dan menjalani pendidikan. Memberlakukan mereka dengan wajar tentu saja kita bisa mengharapkan keluarannya dokter yang lebih baik. Dan dunia pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.

Saatnya kita mendorong Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Perundangan yang menjadi turunan dari UU no 20 tahun 2013 sehingga bisa UU itu bisa dilaksanakan. Saatnya bagi kita untuk menciptakan kenyamanan yang seimbang. Nyaman bagi pasien dan nyaman bagi pelaku kesehatan

Mudah mudahan pelayanan kesehatan kita kedepannya lebih baik. Semoga.

Jakarta, 25 May 2016

Dr.Patrianef Patrianef

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun