Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter Indonesia Pendukung JKN

18 Mei 2016   15:14 Diperbarui: 18 Mei 2016   15:44 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dokter Indonesia Bersatu :  Pendukung Jaminan Kesehatan Nasional , Berjuang Melawan Carut Marut BPJS

 "Quality assurance should always be a part of health care. Physicians, in particular, should accept responsibility for being guardians of the quality of medical services" ( World Medical Association Declaration of Lisbon on The right of the patient 1981)

Diatas adalah salah satu isi dari hak pasien sebagaimana yang tertera dalam Deklarasi Lisbon tentang hak hak pasien . Dalam poin diatas dicantumkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan adalah merupakan tanggung jawab para dokter dan sekaligus merupakan penjaganya. Itulah landasan kami Dokter Indonesia Bersatu (DIB) berfikir untuk selalu mengkritisi kualitas pelayanan kesehatan termasuk  yang dilaksanakan oleh BPJS.

Yang diinginkan oleh Dokter Indonesia bersatu adalah pelayanan kesehatan dan kedokteran yang bermartabat dan berkeadilan. Lalu seperti apa pelayanan kesehatan yang bermartabat tersebut.

Pelayanan kedokteran yang bermartabat adalah pelayanan yang memandang manusia (penderita) bukan sebagai Objek tetapi merupakan Subjek yang memandang manusia sebagai Human yang mempunyai Right

Pelayanan Kesehatan dan Kedokteran yang bermartabat itu harus memenuhi prinsip prinsip dari deklarasi Libon dan saat ini kita bahas prinsip pertama dari 11 prinsip Deklarasi  Lisbon yaitu:

Hak untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas

a. Setiap orang  berhak mendapatkan pelayanan kedokteran tanpa diskriminasi.

b. Setiap pasien berhak untuk memilih dokternya yang ia kenal bebas membuat keputusan klinis dan ethica tanpa intervensi dari pihak luar.

c. Setiap pasien ditangani sesuai dengan keinginannya dan setiap pengobatan harus memenuhi prinsip prinsip medis.

d. Kualitas pelayanan harus menjadi bagian dari pelayanan kesehatan. Dokter khususnya harus memiliki dan menerima tanggung jawab  menjaga kualitas pelayanan kesehatan.

e. Pada keadaan dimana harus ditentukan pilihan pasien pada kondisi  pengobatan tertentu dengan keterbatasan peralatan maka setiap pasien mesti mendapatkan perlakuan yang adil. Pilihan harus berdasarkan kriteria medis dan dibuat tanpa diskriminasi.

f. Pasien mempunyai hak untuk melanjutkan pengobatan. Dokter berkewajiban untuk bekerjasama  dan berkoordinasi sesuai indikasi medis dengan pelaksana kesehatan lain dalam rangka mengobati penderita. Dokter tidak boleh menghentikan pengobatan sejauh pengobatan selanjutnya tetap diperlukan dan terindikasi, tanpa memberikan penderita bantuan dan kesempatan yang cukup untuk memilih dan membuat alternatif untuk pengobatannya.

Pada kondisi tahun 2016 ini dimana BPJS bekerja dengan kondisi defisit diperkirakan sekitar 10 T, maka salah satu yang dijadikan jargon dan diulang ulang oleh BPJS adalah Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Pada prinsipnya BPJS mengedepankan efisiensi tanpa mengorbankan mutu, dan sebetulnya inilah yang diharapkan oleh banyak pihak. Tetapi dalam pelaksanaannya, kendali mutu dan kendali biaya bergulir kearah penurunan biaya yang tidak lagi rasional dan berubah menjadi penghematan luar biasa oleh BPJS. Ujungnya ujungnya yang terjadi adalah pelayanan kesehatan yang substandar. Inilah yang hendak dikritisi oleh Dokter Indonesia Bersatu. 

Bagaimana cara BPJS menghemat biaya :

1."memaksa" RS mengobati pasien yang harusnya rawat inap menjadi rawat jalan. Peluang itu sangat terbuka lebar karena rentang biaya yang sangat lebar antara tarif rawat inap dan rawat jalan. Kasus kasus seperti ini beredar banyak di Medsos. Sebagai contoh adalah kasus yang menghabiskan banyak uang BPJS adalah penderita hemodialisa. Penghematan pada penderita hemodialisa akan menghasilkan banyak uang. 

Pemasangan CDL ( Catheter Dual Lumen) sebagai akses cuci darah untuk penderita hemodialisa alatnya saja berharga Rp 4.000.000, ditambah dengan biaya kamar operasi dan lain lain maka biaya minimal diperkirakan sekitar Rp. 7.000.000. Biaya untuk RS tipe B rawat jalan sekitar Rp 1.6 juta. jika BPJS berhasil "memaksa" RS menindak pasien dengan rawat jalan dan itulah yang terjadi maka didapat penghematan sekitar 5 juta lebih perpasien. Untuk mengakali hal ini maka RS Swasta menggunakan CDL akut yang sebetulnya bukan untuk penderita cuci darah kronis dengan harga CDL sekitar 1 juta dan dikerjakan substandar bukan dikamar operasi tetapi diruangan tindakan saja. Alat CDL yang hanya untuk 5 - 6 kali atau sekitar 2 minggu dijadikan pemakaian jangka lama sekitar 3 bulan, bahkan lebih lama. Standar KDOQI guideline menetapkan pemakaian CDL tunneling untuk penderita cuci darah kronis, tetapi itu tidak dilakukan demi mengurangi biaya. Pasien akan mengalami resiko kematian,infeksi dan stenosis pembuluh darah. Jangka panjang akan merugikan dan menyebabkan kematian penderita dan jika pasien bertahan maka diperlukan tindakan angioplasti yang berbiaya besar dan rutin serta akan menyedot dana BPJS. 

Sebagian RS karena tidak mau rugi akan merujuk pasien dengan tindakan pemasangan CDL ke RS Pemerintah, karena RS Pemerintah tidak bisa menolak pasien dengan alasan rugi, dan merupakan kewajiban RS pemerintah menyediakan pelayanan alat alat kesehatan dan obat obatan.

Tindakan yang dilakukan BPJS seolah olah menguntungkan padahal jangka panjang merugikan BPJS sendiri karena diperlukan biaya besar untuk menangani komplikasi. Bagi pasien ini adalah masalah karena pasien mendapatkan pelayanan substandar tetapi pasien tidak mengetahuinya. 

2. "memaksa" RS menurunkan severity level penderita sehingga menurunkan paket pelayanan penderita. Ini menghasilkan selisih yang cukup besar karena perbedaan tarif akibat perbedaan severity level cukup besar. Misalnya untuk RS tipe C, prosedur operasi usus buntu sedang biayanya Rp. 4.997.500, verifikator menurunkan severity level nya menjadi ringan dengan paket Rp. 2.846.700. terjadi penghematan  Rp. 2 juta lebih. Prosedur operasi dengan biaya sebanyak Rp. 2.846.700 tersebut mengakibatkan operasi yang sub standar karena biaya nyatanya sekitar: Biaya kamar operasi Rp 1.000.000. , Biaya anestesi dan bahan habis pakai sekitar Rp. 1.000.000. , biaya rawatan sekitar Rp. 500.000. dan biaya obat juga sekitar Rp.500.000. Total sekitar Rp. 3.000.000, itu tanpa mempertimbangkan jasa pelayanan bagi pelaksana operasi. Akibatnya RS akan "memaksa" pasien pulang cepat dan obat obatan yang diberikan akan dikurangi. Jika pasien dipulangkan cepat oleh dokter atas perintah manajemen maka yang akan disorot oleh masyarakat adalah dokter, seolah olah kesalahan ada ditangan dokter.

 3.  "mengubah" rujukan penderita yang seharusnya ke tipe yang lebih tinggi di kabupaten yang sama atau provinsi sama, menjadi ke RS yang sekelas. Dengan pertimbangan peningkatan kelas RS akan meningkatkan paket biaya. Kasus rujukan yang harusnya dibangun atas pertimbangan medis berubah menjadi pertimbangan biaya yang pada akhirnya merepotkan pasien karena pada akhirnya pasien dirujuk juga ke RS yang lebih tinggi, tetapi pasien memerlukan waktu yang lebih lama untuk memperoleh penanganan. Padahal untuk merubah rujukan pasien bukanlah merupakan domain verifikator.

 4." menunda" memverifikasi berkas dengan alasan belum lengkap sehingga pembayaran tertunda. Ini bisa berlangsung lama sekali. Karena begitu berkas sudah mereka verifikasi maka dalam 15 hari mereka harus bayar. Menunda pembayaran juga merupakan modus untuk menghemat biaya.

 Tentu saja BPJS perlu RS dimana verifikator mereka tidak begitu ketat untuk dijadikan contoh dan bisa diekspose ke media massa. Untuk RS yang seperti ini akan " digoreng" dan dijadikan contoh keberhasilan BPJS. Tetapi pada sebagian besar RS, kejadiannya seperti yang tertera diatas.

 Modus diatas semuanya dibungkus dengan jargon Kendali Mutu, Kendali Biaya. Efisiensi diubah menjadi penghematan. Tentu saja penghematan yang dihasilkan luar biasa, tetapi penghematan itu diatas penderitaan pasien.

 Untuk kasus kasus seperti diatas apakah tidak terjadi penurunan kualitas pelayanan?, silakan dinilai sendiri. Hal yang menjadi keprihatinan kami Dokter Indonesia Bersatu adalah terjadinya pelanggaran hak hak pasien , terjadinya pelayanan substandar. Masyarakat tidak tahu masalahnya sehingga yang disalahkan dalam banyak kasus adalah dokter, tetapi problemnya adalah pada manajemen RS yang berusaha menghemat demi mencegah kerugian.

 Tentu saja hulu dari masalah ini adalah ke tidak sesuaian tarif Ina CBG dengan biaya real pada beberapa kasus. Kalau kita tinjau lebih ke hulu lagi masalahnya adalah kurangnya biaya pelayanan kesehatan untuk BPJS. Hal itu diperburuk oleh tindakan BPJS yang cenderung menghambur hamburkan uang negara dengan melakukan acara acara mewah di resort atau hotel hotel mahal. Bahkan untuk mengadakan acara serah terima jabatan saja dilakukan dihotel mewah. Tidak salah, tetapi kurang pantas disaat dana BPJS yang digunakan untuk pelayanan saat ini tidak mencukupi. Terjadi defisit pada pembiayaan BPJS yang masih dibungkus dengan kalimat eufemisme " mis match".

 Jika BPJS berteriak menyatakan bahwa akan terjadi pelayanan substandar jika terjadi defisit tentu saja akan didengar oleh Pemerintah dan DPR. Tetapi BPJS tidak berani menyampaikan suatu kebenaran karena  " saya yakin" takut dianggap tidak becus mengelola dana JKN, sehingga pimpinannya takut akan diganti dengan orang yang dianggap lebih becus.

 Harusnya bersama sama kita menyuarakan ada masalah pada pembiayaan BPJS dan itu harus dimulai dari BPJS sendiri yang sangat paham akan hal ini. Ada anggapan dan pemaafan bahwa BPJS masih muda dan perlu di proteksi sehingga wajar saja ada pemaafan jika terjadi masalah pada pelayanan BPJS. Suatu anggapan yang benar benar salah karena sebagai mana tertulis dalam UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN dan UU no 24 tahun 2011 tentang pembentukan BPJS dimana dinyatakan bahwa BPJS adalah penggabungan dari beberapa asuransi yang sudah jalan sebelumnya seperti PT Askes, ASABRI dan Taspen.

 Tentu ada yang bertanya, kalau benar kondisi diatas  tentu akan  banyak RS swasta  kolaps dengan sistem yang terjadi sekarang. Jawabannya adalah tidak. RS punya banyak cara menghindari kerugian  bahkan akan banyak keuntungan dengan cara antara lain:

 1. Mencicil pemeriksaan pasien di poliklinik dalam beberapa kali kunjungan ketimbang dalam satu kali pelayanan. Akibatnya paket kunjungan poliklinik  yang harusnya satu paket untuk beberapa pemeriksaan menjadi beberapa paket dalam beberapa hari. 

2. Merujuk kasus yang berbiaya besar ke RS rujukan tentu saja dengan menambah severity levelnya supaya ada alasan untuk dirujuk . RS akan pilih pilih kasus yang memberikan keuntungan cukup saja.

3. Mengajak pasien naik kelas pada penderita non PBI, sehingga ada selisih biaya yang ditanggung oleh penderita.

4. Bagi penderita yang selesai tindakan memerlukan rawatan ICU, hampir dapat dipastikan mengakibatkan kelabakan dan keteteran RS karena hampir bisa dipastikan biaya paket akan kurang, maka jumlah tempat tidur di ICU dibatasi dan jika diperkirakan pasien akan memerlukan ICU nantinya , diusahakan merujuk pasien.

Kenapa kami tulis semua hal diatas, karena Dokter Indonesia Bersatu peduli dengan pelayanan kesehatan Indonesia sebagaimana yang ditulis pada paragraf awal.

Selanjutnya tentu akan ada yang bertanya bagaimana cara memperbaiki hal ini. Tentu saja kita kembali ke hulu masalah ini yaitu BPJS bekerja dengan defisit sehingga menggunakan segala cara untuk mengatasinya. Cara yang paling tepatadalah:

1. Hilangkan defisit BPJS dengan menambah anggaran untuk BPJS

2. Pindahkan sebagian cukai tembakau menjadi dana BPJS karena penyumbang terbesar pengeluaran BPJS adalah penyakit yang diakibatkan rokok.

3. Tambah Asuransi pelaksana JKN sehingga BPJS bekerja lebih efisien dan efektif karena ada kompetitor.

Selain hal diatas tentu saja banyak sebetulnya yang harus dibenahi, tetapi sebagian masalah yang muncul didasari keinginan BPJS untuk menghemat pengeluaran.

Sudah saatnya semua pihak yang terlibat dalam carut marut ini turun dan berjuang meningkatkan kualitas pelayanan sebagaimana yang tertulis dalam Deklarasi Lisbon diatas. Dewan Perwakilan Rakyat sudah saatnya untuk turun memikirkan dan bersama sama mengatasi hal ini, jangan hanya berdiri di menara gading dan menonton carut marut yang sudah menghebohkan ini. Benahilah masalah ini dari hulu. Karena Bapak Bapak dan Ibu Ibu yang terhormat bersam Bapak Presiden punya kekuasaan dihulu untuk menyelesaikan masalah ini.

 Kami dokter Indonesia Bersatu memperjuangkan dunia kesehatan dan kedokteran Indonesia yang bermartabat dan berkeadilan. Tidak ada maksud kami berpolitik dalam masalah ini. Biarkan masyarakat menerima pelayanan kesehatan sebagaimana yang seharusnya mereka dapatkan.

 

Jakarta, 21 April 2016

 

Patrianef

Spesialis Bedah

Subspesialis Bedah Vaskular dan Endovaskular (Konsultan)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun