Mohon tunggu...
Patrianef Patrianef
Patrianef Patrianef Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Bedah di RS Pemerintah

Patrianef, seorang dokter spesialis bagi pasienku. Guru bagi murid muridku. Suami bagi istriku dan sangat berbahagia mendapat panggilan papa dari anak anaknya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dokter Indonesia Pendukung JKN

18 Mei 2016   15:14 Diperbarui: 18 Mei 2016   15:44 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

e. Pada keadaan dimana harus ditentukan pilihan pasien pada kondisi  pengobatan tertentu dengan keterbatasan peralatan maka setiap pasien mesti mendapatkan perlakuan yang adil. Pilihan harus berdasarkan kriteria medis dan dibuat tanpa diskriminasi.

f. Pasien mempunyai hak untuk melanjutkan pengobatan. Dokter berkewajiban untuk bekerjasama  dan berkoordinasi sesuai indikasi medis dengan pelaksana kesehatan lain dalam rangka mengobati penderita. Dokter tidak boleh menghentikan pengobatan sejauh pengobatan selanjutnya tetap diperlukan dan terindikasi, tanpa memberikan penderita bantuan dan kesempatan yang cukup untuk memilih dan membuat alternatif untuk pengobatannya.

Pada kondisi tahun 2016 ini dimana BPJS bekerja dengan kondisi defisit diperkirakan sekitar 10 T, maka salah satu yang dijadikan jargon dan diulang ulang oleh BPJS adalah Kendali Mutu dan Kendali Biaya. Pada prinsipnya BPJS mengedepankan efisiensi tanpa mengorbankan mutu, dan sebetulnya inilah yang diharapkan oleh banyak pihak. Tetapi dalam pelaksanaannya, kendali mutu dan kendali biaya bergulir kearah penurunan biaya yang tidak lagi rasional dan berubah menjadi penghematan luar biasa oleh BPJS. Ujungnya ujungnya yang terjadi adalah pelayanan kesehatan yang substandar. Inilah yang hendak dikritisi oleh Dokter Indonesia Bersatu. 

Bagaimana cara BPJS menghemat biaya :

1."memaksa" RS mengobati pasien yang harusnya rawat inap menjadi rawat jalan. Peluang itu sangat terbuka lebar karena rentang biaya yang sangat lebar antara tarif rawat inap dan rawat jalan. Kasus kasus seperti ini beredar banyak di Medsos. Sebagai contoh adalah kasus yang menghabiskan banyak uang BPJS adalah penderita hemodialisa. Penghematan pada penderita hemodialisa akan menghasilkan banyak uang. 

Pemasangan CDL ( Catheter Dual Lumen) sebagai akses cuci darah untuk penderita hemodialisa alatnya saja berharga Rp 4.000.000, ditambah dengan biaya kamar operasi dan lain lain maka biaya minimal diperkirakan sekitar Rp. 7.000.000. Biaya untuk RS tipe B rawat jalan sekitar Rp 1.6 juta. jika BPJS berhasil "memaksa" RS menindak pasien dengan rawat jalan dan itulah yang terjadi maka didapat penghematan sekitar 5 juta lebih perpasien. Untuk mengakali hal ini maka RS Swasta menggunakan CDL akut yang sebetulnya bukan untuk penderita cuci darah kronis dengan harga CDL sekitar 1 juta dan dikerjakan substandar bukan dikamar operasi tetapi diruangan tindakan saja. Alat CDL yang hanya untuk 5 - 6 kali atau sekitar 2 minggu dijadikan pemakaian jangka lama sekitar 3 bulan, bahkan lebih lama. Standar KDOQI guideline menetapkan pemakaian CDL tunneling untuk penderita cuci darah kronis, tetapi itu tidak dilakukan demi mengurangi biaya. Pasien akan mengalami resiko kematian,infeksi dan stenosis pembuluh darah. Jangka panjang akan merugikan dan menyebabkan kematian penderita dan jika pasien bertahan maka diperlukan tindakan angioplasti yang berbiaya besar dan rutin serta akan menyedot dana BPJS. 

Sebagian RS karena tidak mau rugi akan merujuk pasien dengan tindakan pemasangan CDL ke RS Pemerintah, karena RS Pemerintah tidak bisa menolak pasien dengan alasan rugi, dan merupakan kewajiban RS pemerintah menyediakan pelayanan alat alat kesehatan dan obat obatan.

Tindakan yang dilakukan BPJS seolah olah menguntungkan padahal jangka panjang merugikan BPJS sendiri karena diperlukan biaya besar untuk menangani komplikasi. Bagi pasien ini adalah masalah karena pasien mendapatkan pelayanan substandar tetapi pasien tidak mengetahuinya. 

2. "memaksa" RS menurunkan severity level penderita sehingga menurunkan paket pelayanan penderita. Ini menghasilkan selisih yang cukup besar karena perbedaan tarif akibat perbedaan severity level cukup besar. Misalnya untuk RS tipe C, prosedur operasi usus buntu sedang biayanya Rp. 4.997.500, verifikator menurunkan severity level nya menjadi ringan dengan paket Rp. 2.846.700. terjadi penghematan  Rp. 2 juta lebih. Prosedur operasi dengan biaya sebanyak Rp. 2.846.700 tersebut mengakibatkan operasi yang sub standar karena biaya nyatanya sekitar: Biaya kamar operasi Rp 1.000.000. , Biaya anestesi dan bahan habis pakai sekitar Rp. 1.000.000. , biaya rawatan sekitar Rp. 500.000. dan biaya obat juga sekitar Rp.500.000. Total sekitar Rp. 3.000.000, itu tanpa mempertimbangkan jasa pelayanan bagi pelaksana operasi. Akibatnya RS akan "memaksa" pasien pulang cepat dan obat obatan yang diberikan akan dikurangi. Jika pasien dipulangkan cepat oleh dokter atas perintah manajemen maka yang akan disorot oleh masyarakat adalah dokter, seolah olah kesalahan ada ditangan dokter.

 3.  "mengubah" rujukan penderita yang seharusnya ke tipe yang lebih tinggi di kabupaten yang sama atau provinsi sama, menjadi ke RS yang sekelas. Dengan pertimbangan peningkatan kelas RS akan meningkatkan paket biaya. Kasus rujukan yang harusnya dibangun atas pertimbangan medis berubah menjadi pertimbangan biaya yang pada akhirnya merepotkan pasien karena pada akhirnya pasien dirujuk juga ke RS yang lebih tinggi, tetapi pasien memerlukan waktu yang lebih lama untuk memperoleh penanganan. Padahal untuk merubah rujukan pasien bukanlah merupakan domain verifikator.

 4." menunda" memverifikasi berkas dengan alasan belum lengkap sehingga pembayaran tertunda. Ini bisa berlangsung lama sekali. Karena begitu berkas sudah mereka verifikasi maka dalam 15 hari mereka harus bayar. Menunda pembayaran juga merupakan modus untuk menghemat biaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun