Mohon tunggu...
Patra Mokoginta
Patra Mokoginta Mohon Tunggu... Lainnya - Warga kotamobagu

Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

10 Januari 2025: Mengenang 365 Tahun Terpisahnya Manado dari Bolaang

10 Januari 2025   11:51 Diperbarui: 10 Januari 2025   11:51 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Cover buku Mukadimah Celebes Utara. Buku yang menjadi referensi utama artikel ini (Sumber: Koleksi pribadi penulis)

Boelang en Manado (Bolaang-Manado)

Lebih dari 3 abad lalu, nama Bolaang selalu dicatat berbarengan dengan nama Manado. Francois Valentijn dalam bukunya yang berjudul Oud en Nieuw Oost Indie mencatat kerajaan terbesar di Sulawesi Utara ini dengan teks "koning van Boelang en Manado" sebagaimana diulas lengkap dalam buku Mukadimah Celebes Utara. Tulisan ini disadur dari buku Mukadimah Celebes Utara yang diterbitkan oleh KBM Indonesia.

Raja Loloda Mokoagow tercatat sebagai raja Manado terakhir, diakhir masa pemerintahannya, dia tercatat sebagai raja Bolaang tanpa sebutan Manado lagi.

Verbond 10 Januari 1679: Penggulingan Raja Manado

Pada tanggal 10 januari tahun 1679, Gubernur Ternate Robertus Padtbrugge menginisiasi perjanjian antara antara VOC yang diwakili oleh Gubernur Ternate dengan para kepala Desa  (Alle de dorpshoofden) yang berada di Manado dan sekitarnya. Perjanjian ini dilaksanakan di Manado namun meluputkan Raja Manado.

Pasal krusial yang dimuat dalam Verbond ini antara lain: "Seluruh kepala Desa (Alle de dorpshoofden) van Aris, Clabat, Bantik, Clabat boven, Caskassen, Tomon, Tombaririe, Saronson, Tonkinbout omlaegh (Tongkinbut bawah), Tonkinbout boven (Tonkinbout atas), Romon, Tombassiaen, Langoubon, Kakas, Ramboekang, Tompasso, Tondano, Tonsea, Manado, Tonsaban en Passan, untuk Datahan dan Ponnosaccan menegaskan kembali diri mereka sendiri.

Telah menyatakan bahwa mereka telah turun ke Manado atas panggilan untuk mengadakan rapat, dan atas permintaan mereka bersama, dan dengan syarat bahwa Kepala Desa sampai akhir hayat mereka akan tetap cinta dan setia pada Compagnie, yang telah berjanji, bahwa kami tidak akan meninggalkan para Kepala Desa, atau memberi kesempatan Raja Bolaang berkuasa kembali, baik atas daerah ini maupun atas orang-orangnya, oleh karena bukan mereka yang meninggalkan raja, tetapi rajalah yang meninggalkan mereka" (Mukadimah Celebes Utara hal 537).

Tonsawang, Passan, Datahan (Ratahan) dan Ponosakan walau namanya dicatut dalam verbond tapi 4 suku ini ditambah suku Bantik ini masih bersetia dengan raja Manado (Loloda Mokoagow).

Upaya menggulingkan kekuasaan Raja Loloda Mokoagow atas Manado sebenarnya sudah berlangsung sejak kekalahan Sultan Hasanudin dalam perang Makassar melawan VOC dan aliansinya. Loloda Mokoagow selaku raja Manado ketika itu ikut terlibat perang di pihak Makassar melawan VOC.

Perjanjian Bongaya yang ditanda tangani pada tanggal 18 November 1667, salah satu pasalnya mencantumkan bahwa Manado harus diserahkan ke Ternate. Saat itu Ternate sepihak dengan VOC melawan aliansi Makassar.

Silih berganti Gubernur Ternate tidak mampu menjalankan pasal penyerahan ini kepada Ternate sebagaimana diamanatkan dalam perjanjian Bongaya. Penggulingan kekuasaan Loloda Mokoagow atas Manado nanti terjadi setelah 12 tahun perjanjian Bongaya dibawah kendali Gubernur Robertus Padtbrugge. Karena selalu mendapat penolakan dari penguasa Manado, Raja Loloda Mokoagow akhirnya dengan culas Gubernur Padtbrugge berhasil menjungkalkan Loloda Mokoagow dari Manado dengan politik "devide et impera". Memisahkan Loloda Mokoagow dengan rakyat Manado.

Pada hari selasa tanggal 10 Januari tahun 1679, bertempat di benteng Amsterdam Manado ditanda tangani perjanjian (verbond) antara Gubernur Ternate dengan para kepala Desa dan suku-suku alifuru di Manado dan sekitarnya. Perjanjian yang meneguhkan bahwa suku-suku ini menjadikan VOC sebagai dipertuan satu-satunya. Tentang Raja Loloda Mokoagow, sempat muncul keraguan dari pihak para kepala Desa namun diatasi oleh Gubernur dengan menambahkan satu klausul yang menyebutkan bahwa "Mereka (suku-suku ini) tidak pernah meninggalkan raja (Loloda Mokoagow) tapi raja lah yang meninggalkan mereka". Dengan tambahan jaminan VOC akan melindungi mereka dari penindasan atau aksi balas Raja Loloda Mokoagow membuat para kepala Desa menandatangani perjanjian ini.

Perang Celebes Utara (1680-1683)

Gambar Cover buku Mukadimah Celebes Utara. Buku yang menjadi referensi utama artikel ini (Sumber: Koleksi pribadi penulis)
Gambar Cover buku Mukadimah Celebes Utara. Buku yang menjadi referensi utama artikel ini (Sumber: Koleksi pribadi penulis)
Akibat penolakan Loloda Mokoagow terhadap Verbond 10 Januari 1679, situasi Sulawesi Utara mulai mencekam sejak saat itu. Pertengahan tahun 1680 akhirnya pecah perang dasyat di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Raja Loloda Mokoagow melawan VOC.

Raja Loloda Mokoagow yang didukung oleh berbagai suku diantaranya Mongondow, Bantik, Tonsawang, Ratahan, Passan dan Ponosakan. Rakyat kerajaan Bolaang-Manado  yang terdiri dari berbagai etnis ini bersatu padu serentak mengangkat senjata melawan Belanda. Sementara itu suku-suku alifuru dipedalaman yang mendukung Verbond 10 januari bergabung dengan pasukan Belanda mengempur basis pertahanan Raja Loloda Mokoagow.

Setelah 4 tahun berperang melawan Belanda, tahun 1683 seluruh basis kekuatan rakyat Sulawesi Utara yang terkosentrasi di Ratahan dan Ponosakan berhasil dihancurkan oleh pasukan Belanda dan aliansinya.

Tahun 1683 akhir dari perang paling berdarah di Sulawesi Utara yang memakan korban rakyat yang sangat banyak. Di Tahun ini juga Belanda terakhir kali mengirim ekspedisi militer dengan tajuk "Penghukuman Bolaang". Negeri Solimandungan yang merupakan Desa terbesar di wilayah Bolaang dihancurkan oleh Belanda tanpa perlawanan berarti dari pihak Raja Loloda Mokoagow.

Dengan kekalahan ini, upaya Loloda Mokoagow untuk menyatukan Manado dengan Bolaang pun berakhir dengan kekalahan di pihak Loloda Mokoagow. Manado benar-benar lepas dari genggaman Raja Loloda Mokoagow, Manado dan Bolaang akhirnya terpisah. Manado tidak mampu lagi dibebaskan oleh Loloda Mokoagow. Manado menjadi milik Belanda seutuhnya.

Kerajaan Bolaang hingga wafatnya Loloda Mokoagow masih berstatus independen (bukan vasal Belanda).

Sebelum Loloda Mokoagow wafat, Raja Bolaang sekaligus bekas raja Manado ini sempat memberikan wasiat kepada suku Bantik: "Intau (Orang) Bantik jangan pernah tinggalkan Manado". Loloda Mokoagow berharap, suku Bantik menjadi pelindung Manado ketika dirinya tidak mampu lagi melindungi Manado.

Kelak dibawah pemerintahan turunan Loloda Mokoagow (dinasty Manoppo), nama Mongondow menjadi pengganti Manado dalam penyebutan Bolaang. Bolaang-Manado menjadi Bolaang Mongondow hingga saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun