Tulisan ini adalah koreksi terhadap tulisan saya yang sempat tayang di berbagai media online terkait Raja Raja Bolaang dan Manado abad 17.
Ketika kita membuka dokumen-dokumen tua abad ke-17, Manado akan selalu bersentuhan dengan dua kekuasaan lokal yakni Bolaang dan Ternate. Dua kekuasaan ini selanjutnya memiliki persentuhan dimulai dengan Portugis, Spanyol, dan VOC-Belanda.
Keterangan yang kita peroleh dari Bolaang baik lewat daftar silsilah maupun tradisi lisan, akan muncul nama raja-raja Bolaang yang ditarik mulai dari Mokodoludut hingga Loloda Mokoagow yang di tradisikan sebagai penguasa Manado secara turun-temurun. Sementara dari kalangan tradisional Maluku Utara mentradisikan bahwa sejak Sultan Babbullah berkuasa atas 72 negeri (termasuk Manado), kekuasaan Ternate berlaku kontinyu tanpa putus. Namun ada fakta sejarah yang saya temui dimana penguasaan Ternate atas Manado tidak demikian. Kecuali itu maka saya sepakat dengan David Henley yang mengatakan; penguasaan Ternate atas Manado atau Utara Celebes tidak kontinue melainkan terputus-putus, setidaknya di abad ke-17.
Penguasa Manado abad ke-17 dari kalangan Dinasty Mokodoludut ada tiga orang yakni Raja Mokodompit/Mocodompis, Raja Tadohe/Don Fernando dan Raja Loloda Mokoagow (Datu Binangkang). Sedangkan dari Dinasty Sultan Hairun Jamil (Sultan Ternate) antara lain; Kaicil Tulo, Sultan Sibori (Pasibori) dan Sultan Mandarsjah. Namun untuk penguasa dari Ternate penulis membatasi pada Kaicil Tulo karena dia yang terekam menyebut dirinya sebagai Raja Manado, King of Manado atau Rey de Manado. Sedangkan Sultan Sibori dan Sultan Mandarsjah tetap disebut sebagai King of Ternate.
Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba mengangkat sedikit kiprah 4 orang yang pernah menjadi Raja Manado. Mereka adalah Mokodompit/Mokodompis, Kaicil Tulo/Cachil Tulo, Tadohe/Don Fernando, dan Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang. Akan diawali dengan sekilas hubungan erat antar kerajaan di Sulawesi Utara dan tengah serta bentuk otoritas Raja awal abad ke-17.
Kerajaan dalam Rumpun Keluarga Besar.
Kerajaan yang berdiri di Buol, Gorontalo, Kaidipang, Bolaang Mongondow hingga Siau, secara genealogis merupakan rumpun keluarga besar. Ini bisa di telusuri dari Silsilah Raja Raja Bolaang Mongondow yang di mulai dari Raja Mokodoludut.
Ini dapat kita mulai dari Ratu Kaidipang bernama Lingkakoa yang nasabnya menjurus ke Mokodoludut lewat jalur Abo Ginupit. Raja Raja Buol bernasabkan Mokoapat, hikayat – hikayat dari Siau nasabnya bertali ke Mokodoludut lewat Lokonbanua, Raja Raja Bolango terpaut dengan Golonggom, pendiri kerajaan Limboto yakni Ratu Tolangohula bersuamikan Yilomoto, dimana Yilomoto adalah cucu dari Raja Bolaang bernama Buluati atau Butiti alias Busisi hasil perkawinan dengan putri Raja Suwawa.
Maka kita tidak akan heran ketika di Bolaang Mongondow, Mokodompit merajuk karena urusan internal keluarga, dan pergi ke Siau. Dari Mokodompit dan Istrinya di Siau, lahir Tadohe kemudian menjadi Raja Bolaang. Jacobus Pontoh kelahiran Bolangitang di jemput oleh Dewan Adat Siau dan di lantik menjadi Raja Siau. Ini semua karena adanya hubungan keluarga yang erat.
Abad ke-17 kerajaan di Sulawesi Utara yang secara genealogis bertalian erat dengan Buol, Kaidipang , Bolaang dan Siau, ketika saling menguatkan dominasi masing – masing, kadang saling membantu walau sering kali pecah juga konflik internal namun bagaimanapun konflik itu terjadi, tak serta-merta dapat menghapus pertalian darah sebagai satu keluarga besar, keluarga kohongian atau keluarga kerajaan.
Ikatan dan pertalian keluarga ini bukan bersumber dari musyawarah untuk membentuk aliansi tapi benar - benar merpakan hubungan keluarga yang erat. Ini dapat kita kroscek lewat stambom pada masing masing keturunan raja di semua wilayah yang disebutkan di atas. Namun demikian tulisan kali ini di batasi untuk tidak membahas silsilah agung rumpun keluarga Raja Raja di Utara Sulawesi mulai dari Buol hingga Siau termasuk di dalamnya suku Bantik. Kecuali itu, tulisan ini selain sebagai koreksi atas tulisan terdahulu, adalah untuk membahas raja raja Manado abad ke-17.
Otoritas Kerajaan Awal Abad ke-17
Membaca David Henley dalam desertasinya berjudul Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies, maka diketahui bahwa di masa prakolonial masyarakat di wilayah ini (Sulawesi Utara) jarang dikelola berdasarkan pada konsep kewilayahan/teritori. Kekuasaan raja bukan berdasarkan pada wilayah melainkan kekuasaan terhadap orang-orang/penduduk wilayah. Otoritas kerajaan lebih tertumpu pada pribadi raja dibanding pada negara atau ibukotanya. Oleh sebab itu, berdasarkan peran yang telah umum ini, nampaknya raja telah menghabiskan banyak waktu untuk bergerak atau berpindah-pindah. Namun demikian tetap melekat kepadanya otoritas kerajaan disesuaikan dengan dimana ia berada.
Inilah yang kemudian menyebabkan para pendatang dari Eropa cukup kebingungan. Belanda misalnya. Pada akhirnya dalam laporannya di abad ke-17, orang (raja) yang sama disebut sebagai Raja Manado, Raja Amurang dan Raja Bolaang, karena kerap berpindah-pindah. Disinilah diperoleh keterangan kuat bahwa otoritas kerajaan melekat pada pribadi raja, bukan pada teritorial. DArtinya, dimana raja berada, disitu otoritas kekuasaannya berlaku. Raja ini, menurut Henley, berperan penting pada bagian cerita yang dijelaskannya dalam desertasi di atas. Henley mencontohkan, raja yang dimaksud mempertahankan tempat tinggal dan istri atau selir di tiga wilayah )(Manado, Amuranhg, Bolaang). Kebijakan kerajaan tidak mengenal batas atau teritorial, sehinga dalam konsep toponim sebagaimana didaftar raja, ketika diminta untuk mendefinisikannya wewenang itu lebih bersifat etnis ketimbang geografis.
Raja Mokodompit (Mokodompis)
Silsilah Raja Mokodompit
N.P. Wilken dan J.A.T Schwarz menyalin kembali silsilah kerajaan dari Jogugu Damopolii sebagaimana termuat dalam Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou pada bagian “Buk Ouman Sinomongondou” (Buku berbahasa Mongondow) terbit tahun 1871. Saya kutip sedikit; Mokodoludut yang adalah Punu (Raja) Gumolung menikah dengan Bounia yang terlahir dari Patung Bulawan (Bambu Kuning). Mereka berdua mendapatkan lima orang anak masing-masing: Golonggom, Ginupit, Pondadat, Ginsapondo, Jajubangkai (Raja). Jajubangkai menikahi Silagondo bangsawan dari Buntalo memperoleh anak masing-masing: Kinalang yang adalah Damopolii dan Mokoapa. Si Kinalang yang adalah Damopolii menikahi Tendeduwayo bangsawan dari Sinumolantaan memperoleh anak : Busisi (Raja) dan Ponamon. Busisi lantas menikahi Limbatondo bangswan dari Ginolantungan memperoleh anak: Dunu, Takadumakul, Makalunsenge dan Makalalo (Raja). Selanjutnya Makalalo menikahi Gantiganting putri dari Mandolang memperoleh anak Mokodompit. Dari garis pihak laki laki (Ayah) lurus ke atas : Mokodompit Putra dari Raja Makalalo, Raja Makalalo putra dari Raja Busisi, Raja Busisi putra dari Raja Damopolii, Raja Damopolii putra dari Raja Jajubangkai, Jajubangkai adalah putra dari Raja Mokodoludut.
Raja Mokodompit Meninggalkan Bolaang Mongondow
Sejarah Mokodompit yang saya kutip dari buku Over de Vorsten van Bolaang Mongondow karya W.Dunnebier langsung pada poin pentingnya yakni : 'Daar deze Gogoene' een vrouw uit het volk was, maakten velen heel wat minder vriendelijke opmerkingen over dit huwelijk. wege al dat gebabbel verliet Mokodompit zijn land en ging naar het eiland Sangir, waar Gogoene' het leven schonk aan een zoon, die Tadohe' werd genoemd'. Terjemahan bebasnya : ‘Karena Gogune (Isteri Mokodompit) dari kalangan rakyat (bukan bangsawan Bolaang) telah melahirkan banyak pergunjingan yang tak enak dari pernikahan ini. Semua pergunjingan ini membuat Mokodompit tak enak hingga memilih meninggalkan kerajaannya dan pergi ke Pulau Sangir tempat Gogune (Isterinya) melahirkan seorang Putra yang di beri nama Tadohe.
Dalam buku Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa karya J.G.F. Riedel, mengulas jalur perjalanan Raja Mokodompit (Mokodompis) saat meninggalkan negerinya. Pada bagian Tou Babontehuh - Lumentut, Mokodompis, Riedel menulis; Kemudian deri pada itu maka datanglah bangsa orang asing deri fihakh salatan menurut jang ampunya tjerita sawatu Datu baserta anakh-anakhnja apatah bertjidera satara istrijnja sebabnja perkara gondikh sehingga meninggalkanlah ija tanah pandudokannja tjharaij tampat perdijaman lajin itulah,-Maka pergilah Datu ini mula mulanja singgah di Molibagoh pula berikot-ikot di pasoloh, baleng-baleng, lembeh tetapi diusirlah pada tampat tampat ini lalu berpindahlah ija pada achrinaka pulow Bangka sakarang itu - Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batukarang. serta mati ija tinggij usija umornja pada tempat itu.
Jika Dunnebier hanya memberi informasi sekilas tentang Mokodompit yang meninggalkan negerinya karena akibat gunjing terkait status Isteri keduanya bernama Gogune, maka Ridel sedikit merinci jalur perjalanan Mokodompit (Mokodompis) yang dimulai dari Molibagu (Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini ) termasuk nama-nama tempat yang disinggahi sang Datu, hingga menjadi Raja di Manado hingga wafatnya Mokodompit dalam umur yang usur di Pulau Manado.
Mokodompit Raja Manado
Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang. pada tandjong Buaroh, lalu perusahlah disitu bentengnja batu karang. serta mati ija tinggij usija umornja pada tempat itu'. Demikian kutipan Riedel menegaskan bahwa Datu Mokodompit menjadi Raja di Manado dalam waktu yang lama, karena Mokodompit berumur panjang.
Riedel tidak menyebutkan apakah Gogune (salah satu Istri Mokodompit asal Siau) melahirkan anaknya (Tadohe) di Manado atau di Sangier sebagaimana disampaikan oleh para tetua Bolaang Mongondow kepada Dunnibier. Namun dari kedua referensi ini ada informasi yang sama persis diberikan kepada kita yakni, Raja Mokodompit meninggalkan negerinya (Bolaang Mongondow) disebabkan masalah internal keluarga.
Sebagaimana menurut David Henley bahwa pada masa prakolonial kekuasaan raja bukan didasarkan pada teritorial melainkan pribadi raja dan penguasaannya (raja) terhadap orang-orang/rakyat dimana ia berada, maka sudah barang tentu baik secara spasial maupun temporal, pendapat Henley memiliki kesesuaian dengan eksistensi Mokodoludut dimana ketika itu konsep (politik) teritorial belum digunakan sebelum Belanda (VOC) datang (soal tapal batas, pembagian tanah /wilayah).
Demikian juga berlaku pada Raja Mokodompit. Ketika Raja meninggalkan tempat kediamannya di Bolaang Mongondow, melewati jalur Molibagu (Bolaang Mongondow Selatan sekarang ini) bukan berarti kerajaan Bolaang Mongondow bubar, tapi dalam pribadi raja yang berpindah-pindah tempat ini melekat “otoritas negara” Bolaang Mongondow pada pribadi raja. Sang raja biasanya akan disapa oleh rakyat yang mendaulatnya sesuai tempat kediaman Raja. Maka lazim Mokodompit disebut sebagai Raja Manado, Raja Bobentehu, Raja Bolaang atau Raja Mongondow. Ini juga jauh maknanya dimana seorang raja menduduki atau menaklukan banyak kerajaan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa Mokodompit sebenarnya mewarisi juga tahta kerajaan di Manado dari buyutnya Mokodoludut, pendiri Kerajaan Babountehu atau Kerajaan Manado. Pada saat Mokodompit berada di Manado sekaligus menjadi raja, sudah terbangun kerjasama dengan pihak Kesultanan Ternate. Ridel mencatat ini walau agak samar : Adapon maka berfakatlah Lumentut dan Mokodompis itu fakatan bersudara baserta kolanoh Tarnatej — Tobeloh. pada berparang-paranga melawan bangsa-bangsa ini. tetapi tijada dialahkannja marika iiu, sebah terlalu amat baranijnja, melajinkaa dibudjokhnja marika itu djuga pulang kombali,bewat perdijamannja senderij diatas Pulau bobentehu tersebut itu. Catatan Riedel ini, menjelaskan pada kita relasi yang dijalin Raja Mokodompit yang menegaskan Ibukota Kerajaan Manado di masa Raja Mokodompit berada di Manado (Sekarang dikenal Pulau manado Tua)
Kondisi Politik Sulawesi Utara dan Maluku era akhir Mokodompit
Kejadian di Sulawesi Utara ada korelasi dengan kejadian di Maluku Utara. Ini erat kaitan dengan jalur perdagangan rempah yang sentralnya di Maluku. Jalur perdagangan rempah ini terkait erat dengan berbagai kekuatan dan pengaruh baik lokal maupun bangsa asing. Di Maluku Utara selain Ternate dan Tidore terdapat kelompok Halmahera. M.Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah - Rempah Sejarah Maluku Utara 1250-1950, mengutip pendapat A.B Lapian: “Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis adalah Batucina de Moro, atau Batu cina yang merujuk pada kerajaan tua di Halmahera Utara yang masih eksis hingga abad ke-17, di mana Portugis berhasil mengkonversi agama sebagian penduduknya ke Kristen. Namun Batucina tidak punya hubungan samasekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah. Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian, adalah sebuah salah ucap dari kata Bacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Oleh karena itu menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan, yang berkedudukan di Jailolo”.
Kelompok Batachina ini diketahui telah eksis di Sulawesi Utara sejak pemerintahan Sultan Hairun. Bahkan jumlahnya sudah sangat besar, kira-kira 4 sampai 6 ribu jiwa. Ini terdapat dalam Documenta Malucensia, berikut kutipannya : Esta Batachina 20 hé toda povoada e á muitos luguares grandes de quatro e cinquo e seis mil almas , e todos querem ser christãos e são gentios . Eu não ey -de fazer já mais até ver quaa quem os emsine e doutrine , porque me parece que é milhor poucos bem doutrinados que muitos mal doutrina (do ] s . Esta gente dos celebres folgua muito de camtar a doutrina , e tãoto que a andão camtando comtinuamente assi nas embarquações como por terra ,assi os grandes como pequenos . Não tenho mais ao presemte que posa escrever a Vosa Reverencia . Do Manado , a 28 de Julho de 1563 anos. Terjemahan bebasnya : Batachina ini penuh penduduk dan ada banyak tempat besar dari empat dan lima dan enam ribu jiwa, dan semua orang ingin menjadi Kristen dan bukan Yahudi. Aku tidak akan melakukannya lagi sampai aku melihatnya. yang mengajar dan mendoktrinasi mereka, karena menurut saya jumlahnya lebih sedikit di doktrinasi dengan baik daripada banyak yang di dokrin dengan buruk. Orang-orang ini bergembira dan senang mempelajari doktrin, dan begitu banyak sehingga mereka menjalankannya. Melanjutkan di atas kapal maupun di darat, jadi yang besar juga yang kecil. Saya tidak lagi memiliki itu Bolehkah saya menulis surat kepada Yang Mulia. Manado 28 Juli 1563.
Ini menjelaskan tentang keberadaan kelompok Batachina di Sulawesi Utara. Dari keterangan ini, jelas bahwa Batachina, Bathasina atau Bacan pada dasarnya adalah penyebutan terhadap kelompok-kelompok Halmahera di Maluku Utara. Pengaruh kelompok ini sangat luas hingga ke Sulawesi Utara. Kelompok Bacan/Batasina di Sulawesi Utara ini sempat kontak dengan rombongan Datu Mokodompit sebagaimana dicatat oleh Riedel : Maka datanglah pada masa perdijamannja di situ orang orang Batjan namanja apatah mengharukan kahidopannja orang bala bala djuga sehingga berpindahlah Datu itu kembali pergi ka Pulow Nain dan pulow Babontehuh atawa pulow Manaroh sakarang.
Kedatangan Kelompok Batachina ke Sulawesi Utara tidak sekaligus, tapi terjadi dalam beberapa periode. Saat saling rebutan dominasi di pulau Halmahera prakolonial antara Jailolo, Loloda dan Morotai, banyak warga yang eksodus meninggalkan negerinya. Akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 adalah peperangan. Seperti yang di sebutkan oleh M. Adnan Amal; Setelah naik takhta, Babullah menciptakan hubungan baru Ternate-Portugis. Semua prakarsa yang sebelumnya selalu berawal dari Portugis, kini berbalik datang dari Ternate. Hal ini berarti semua kontrol atas Ternate dilakukan oleh kerajaan sendiri, yang ditangani Bab dengan bantuan para Bobatonya. Kemudahan-kemudahan yang telah diberikan Khairun kepada Misi Jesuit dihentikan. Babbulah bahkan memerintahkan pasukannya memburu orang Portugis sampai ke manapun dan membunuh mereka.
Kelompok Batachina yang telah di satukan oleh Hairun menjadi bagian tentara Baabullah yang mengejar portugis di segala penjuru sebagaimana di sampaikan oleh Amal di atas.Konflik di pusat rempah dunia ini pun berlanjut sampai sesudah wafatnya Sultan Baabullah. P.J.B.C. Robidé van der Aa dalam De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw terbit 1 Jan 1881, menyebutkan; Sekarang setelah Baab meninggal,tentu saja putra kandung harus berkuasa, tetapi (sebelumnya) Baab telah membujuk kakak laki-lakinya Kaichi Tulo agar putranya Baabullah bernama Said sebagai penggantinya dengan perjanjian Said akan Menikahi putri Kaicil Tulo.
Kaicil Tulo – paman Saidi dan saudara Babullah – berubah menjadi orang yang berambisi atas tahta Ternate. Pangeran ini menulis banyak surat kepada Gubernur Jenderal Spanyol di Manila dan membeberkan kesalahan-kesalahan Saidi serta sikap anti Spanyolnya. Ia mendesak Spanyol mengirimkan ekspedisi untuk menyingkirkan Saidi. Menurut Kaicil Tulo, rakyat akan membantu, termasuk dirinya. Gubernur Jendral Spanyol di Filipina yang baru dilantik, Don Santiago de Vera, sangat tertarik dengan informasi Kaicil Tulo dan berpendapat bahwa isu itu perlu dipertimbangkan. M.Adnan Amal juga mencatat ini; ada versi yang juga menyatakan Kaicil Tulo memusuhi Sultan Saidi karena perilaku Sultan Saidi diantaranya upaya Saidi menyingkirkan Kaicil Mudaffar serta masalah perkawinan Sultan Saidi dengan putri dari Kaicil Tulo
Bersambung ( ke bagian 2 )
Sumber data yang di olah :
- Abdulrahman, Paramatiha R. Bunga angin Portugis di nusantara : Jejak jejak kebudayaan portugis di nusantara.
- Amal, Adnan M . kepulauan Rempah rempah sejarah Maluku Utara 1250-1950. 2006
- Aritonang, Sihar Jan dan Steenbrink, Karel. A History Of Christianity in Indonesia.
- Campo López, Antonio C., “La presencia espa- ñola en el norte de Sulawesi durante el siglo XVII. Estudio del asentamiento español en el norte de Sulawesi ante la oposición local y la amenaza holandesa (1606 - 1662).
- Henley, David. Nationalism And Regionalism In A Colonial Context Minahasa In The Dutch East Indies.
- Henley, David. A Superabundance Of Centers: Ternate And The Contest For North Sulawesi.1993
- Henley, David dan Caldwell, Ian. Kings And Covenants Stranger-Kings And Social Contract In Sulawesi.2008
- https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Bolaang_Mongondow
- Jacobs, Hubert. Documenta Malucensia
- Mantiri, Stella. Datu Binankang Raja Manado 1644-1689 Pelopor Kemerdekaan Di Nusantara Utara. 1990
- Ramerini , da Marco. Scritto. GLI SPAGNOLI NELLE ISOLE MOLUCCHE 1606-1663/1671-1677 La Storia Della Presenza Spagnola Nelle Isole Delle Spezie. 2020
- Riedel,J.G.F. Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu Apatah Dibukakan Guna Orang Orang Pandudokh Tanah Minahasa .
- P.J.B.C. Robidé Van Deer Aa. De Groote Bantamsche Opstand in het Midden der Vorige Eeuw
- Wilken dan Swarzh Geslachts In De Taal Van Bolaang-Mongondou bagian “Buk Ouman Sinomongondou’’
- W,Dunnebier. Over de Vorsten van Bolaang Mongondow.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H