Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pusaran Nuklir Soekarno Dan Konstelasi Geopolitik Global

7 Desember 2022   15:28 Diperbarui: 8 Desember 2022   19:17 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Chemistrylearner.com

Perjalanan Nuklir Soekarno 

Nuklir yang melegenda dan mengakhiri Perang Dunia II adalah Little Boy dan Fat Man. Kedua nuklir ini dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki Jepang tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Pengembangan nuklir sebagai senjata untuk mempertahankan kedaulatan maupun menyerang negara lain terus dilakukan. Di AS sendiri proyek pengembangan nuklir ini disebut dengan proyek Manhattan dengan Bapak Bom Atom, seorang ahli fisika Robert Openheimer.

Berbicara masalah nuklir, ternyata bukan hanya dimiliki negara adikuasa. Indonesia pada zaman presiden Soekarno hampir memiliki senjata nuklir. Membingkai kredo ketahanan NKRI, founding father sudah merencanakan pembangunan pertahanan negara dengan senjata nuklir. Proyek pengembangan nuklir ini telah mempersiapkan tempat uji coba yang aman dari radiasi nuklir. Kota yang dipilih adalah Manado (Sulawesi Utara), Timor dan Ambon.  

Proyek nuklir Soekarno ini muncul dari kecemasan perang nuklir antara Uni Sovyet dan AS pada tahun 60-an. Kedua blok menguji coba senjatanya masing-masing. AS dengan bom hydrogen (termo nuklir)di Kepulauan Marshall, Samudera Pasifik tahun 1954. Sedangkan Uni Sovyet menguji coba super bom atom "Tsar Bomba" pada tahun 1961. 

Untuk menjalankan proyek pengembangan nuklir ini, Soekarno mengesahkan Keppres No.230/1954 pada Bulan November 1954 yang berisi tentang panitia negara dalam upaya penyelidikan Radio-Aktif. Profesor Sulfikar Amir dari NTU Singapore dalam karyanya yang berjudul The State and the Reactor: Nuclear Politics in Post-Suharto Indonesia menuliskan pengesahan Keppres tersebut dan proyek nuklir Soekarno.

Panitia tersebut dipimpin oleh G.A.Siwabessy yang merupakan ahli radiologi lulusan dari London. Selain itu, Presiden Soekarno kala itu sudah membentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA) serta blueprint nuklir untuk kepentingan nasional mulai dikembangkan. Untuk mempelajari proyek nuklir Soekarno ini, Siwabessy dan DTA belajar dari negara-negara yang telah mengembangkan nuklir. 

Selain itu, LTA juga menjalin kerja sama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) AS. Bahkan John F. Kennedy menilai proyek nuklir Soekarno ini bersifat damai dengan keikutsertaan LTA dalam program "Atom For Peace" (digagas oleh presiden AS Eisenshower, 1953). Hubungan bilateral AS dan Indonesiia terjalin pada Bulan Juni 1960. Beberapa ilmuwan Indonesia belajar tentang pengayaan uranium pada tenaga ahli di AS.

Tepat pada tanggal 21 September 1960, Indonesia menerima dana hibah dari AS sebesar 350.000 dollar AS untuk pengembangan reaktor nuklir di Bandung. Selain itu, AS telah menjanjikan untuk memberikan dana hibah tambahan sebesar 141.000 dollar AS untuk dana riset. Beberapa sumber sejarah lain mengungkapkan bahwa Indonesia mendapat bantuan pengembangan nuklir dari Uni Sovyet sebesar 5 juta dollar. Adanya intervensi Uni Sovyet dalam hal ini mengakibatkan pengikatan semakin kuat terhadap Indonesia dalam perjanjian nuklir yang beragam dari AS.

Sumber Gambar: Bangka.Tribunnews.com
Sumber Gambar: Bangka.Tribunnews.com

Singkat cerita, tanggal 17 Oktober 1964, Triga Mark II dioperasikan sebagai reaktor nuklir pertama milik Indonesia dengan kekuatan 250 kilowatt. Ternyata tanpa disengaja, uji coba pertama Indonesia ini selang 1 hari setelah China meledakkan bom atomnya pertama kali. Ledakan bom atom China ini mempropaganda secara besar-besaran penggunaan nuklir di Kawasan Asia. Bahkan seakan beritanya dibesar-besarkan untuk menimbulkan kesan Asia tidak lagi dibawah pengaruh Eropa dan Amerika. 

Dilansir dari Kompas.com, tepat pada tanggal 16 Januari 1965 Pusat Pengembangan Nuklir dibangun di Serpong, Tangerang Selatan dengan pembangkit reactor IRI-2000. LTA pun diubah menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Sedangkan Siwabessy diangkat menjadii Menteri Tenaga Atom Indonesia.

Soekarno memberikan dukungan pada pemanfaatan sains tenaga atom untuk revolusi negara. Saat yang bersamaan, Brigjen TNI Hartono sebagai Direktur Pengadaan Senjata Angkatan Darat mengisyaratkan kemandirian meledakkan bom nuklir sendiri dan meminta angkatan militer Indonesia dipersenjatai dengan nuklir. AS dan Australia menilai Indonesia tidak bisa meledakkan bom nuklir sendiri karena reactor nuklir terlalu kecil.
Pengembangan nuklir di Indonesia terus dilakukan hingga kejadian nahas terjadi. Setelah peristiwa penembakan Presiden John F. Kennedy, pengembangan nuklir ini terombang ambing nasibnya. Bersamaan dengan itu, Perang Vietnam dan Inggris terjadi dalam upaya membentuk Federasi Malaya.

Kemudian Soekarno menjadikan negara China sebagai tempat rujukan untuk pengembangan nuklir. Soekarno lantas secara sembunyi-sembunyi mulai mengirim ahli-ahli nuklir dalam negeri untuk dikirim belajar ke China. Diam-diam, Soekarno mengirimkan beberapa ilmuwan ke China lewat poros Jakarta -- Peking untuk belajar tentang nuklir tanpa diketahui AS.

Apakah pengembangan Nuklir Soekarno ini berjalan lancar?

Retorika nuklir Soekarno ini memunculkan kubu oposisi yang meragukan pengembangan tenaga atom untuk revolusi nasional. Jurnalis Rosihan Anwar dalam Sukarno (2006, hlm. 358) menuliskan bahwa publik masih meragukan kemampuan Indonesia membuat bom atom sendiri seperti yang dibesar-besarkan oleh Soekarno.  

Ahli politik dan sejarah Asia asal Ceko, Victor Miroslav Fic, mencatat sebuah pertemuan antara Presiden Sukarno dengan Marsekal Chen Yi di Jakarta pada bulan November dan Desember 1964. Dalam pertemuan itu disebutkan Soekarno bersikeras agar Cina bersedia memasok bom atom yang akan diklaim sebagai uji coba pemerintah RI. Hingga akhirnya nuklir Soekarno kandas bersamaan dengan kejadian G30S/PKI.

Nuklir Masa Depan dan Nuclear Non- Proliferation Treaty

Indonesia masuk kedalam " Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN)". ASEAN juga termasuk dalam ZOPFAN ditandai dengan penandatanganan traktat Bangkok tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok.

Isi traktat tersebut adalah:

  • Tidak diperbolehkan dalam pengembangan, produksi, kepemilikan, penguasaan senjata nuklir, pangkalan nuklir serta uji coba didalam dan luar Asia Tenggara.
  • Tidak diperkenankan meminta bantuan untuk pengembangan nuklir pada negara manapun.
  • Tidak membantu/mendukung pembuatan nuklir di negara manapun serta pengambilalihan peralatan nuklir dari mana saja.
  • Tidak menyediakan sumber daya atau material khusus ataupun perlengkapan kepada negara persenjataan non-nuklir di mana pun juga (non-nuclear weapon state), ataupun negara persenjataan nuklir terkecuali negara tersebut telah memenuhi perjanjian keselamatan dari The International Atomic Energy Agency.
  • Mencegah terjadinya operasi nuklir dan upaya uji coba nuklir di wilayah ASEAN.
  • Pencegahan terhadap sampah radioaktif di Kawasan ASEAN oleh siapapun.

Selain itu, adanya Non-Proliferation Treaty ( NPT ) sebagai perjanjian internasional penting yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata, untuk mempromosikan kerja sama dalam penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai dan untuk mencapai tujuan perlucutan senjata nuklir dan perlucutan senjata umum dan lengkap. Perjanjian ini menjadi komitmen perjanjian multilateral yang ditandatangani tahun 1968 untuk mencegah/pelucutan negara pemilik senjata nuklir. Pemberlakuan perjanjian ini dimulai pada tahun 1970. Hingga tahun 1995 NPT diperpanjang tanpa batas waktu. Saat ini negara yang tergabung dalam NPT sudah mencapai 191 negara.

Berdasarkan NPT dan Traktat Bangkok, nampaknya Indonesia belum memproyeksikan kepemilikan senjata nuklir. Hal ini dikarenakan pengelolaan limbah nuklir yang belum dapat diantisipasi dengan baik. Selain itu, apabila Indonesia memiliki senjata nuklir akan melanggar perjanjian NPT, Traktat Bangkok dan penyimpangan terhadap Gerakan Non Blok (GNB Bandung 1955).

Nuklir dan Konstelasi Geopolitik Dunia 

Tak berhenti sampai disitu, langkah lain yang dapat ditempuh tanpa melalui jalur nuklir adalah "Thorium". Thorium dikenal sebagai "nuklir hijau" karena ramah lingkungan dibanding uranium. Selain itu, limbah radio aktif yang dihasilkan oleh thorium lebih rendah dibanding uranium. Thorium tidak dapat menjadi reactor nuklir tradisional. Namun, dengan mengkombinasikan thorium dan neutron maka akan berubah menjadi uranium-233, bahan fisil pilihan untuk reaktor nuklir tingkat lanjut

Sumber Gambar : Chemistrylearner.com
Sumber Gambar : Chemistrylearner.com

Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto pada Bulan Juni 2020 melakukan pertemuan dengan Gubernur Bangka Belitung. Beliau membahas mengenai pendirian kantor kementrian di wilayah tersebut agar lebih dekat dengan Pantai Timur Sumatra. Karena 95% SDA Thorium terdapat sepanjang pantai Timur Sumatra. Sebulan setelah itu, Menhan dan Luhut bertemu dengan Gubernur Bangka Belitung membahas logam timah dan logam tanah.

Dari sini, sepertinya Menhan lebih memprioritaskan reaktor nuklir cair berukuran kecil dengan output pembangkit listrik 50 megawatt untuk menggerakkan kendaraan laut. Hal ini karena propulsi dengan bahan tenaga nuklir lebih efektif dibandingkan pengisian bahan bakar yang dibutuhkan kapal diesel. 

Selain itu, reaktor dari garam cair nuklir dinilai lebih memenuhi standar keamanan, kemudahan dan tingkat harga yang murah. Namun, kapasitas domestik Indonesia masih relatif kecil untuk mewujudkan itu semua. BATAN memperkirakan reaktor nuklir Indonesia baru mampu beroperasi setelah tahun 2040.

Untuk mewujudkan ambisi terhadap nuklir, Menhan melakukan penandatanganan dengan perusahaan nuklir ThorCon International AS tepatnya pada Bulan Juli 2020. Kesepakatan tersebut mengenai kerja sama untuk melakukan penelitian terhadap pengembangan reaktor garam cair thorium kecil. Kesepakatan ini terbilang "MAHAL".

Mengapa demikian?

Pertama terkait masalah usulan investasi $1,2 miliar Thorcon pada PLTN terapung 500 megawatt yang lebih besar untuk Indonesia pada Maret 2019. Permasalahannya, Indonesia masih belum siap dengan pengelolaan limbah yang dihasilkan dari nuklir. Tahun 2020 lalu, berdasarkan pengawasan dari Badan Pengawas Nuklir Indonesia mengungkap bahwa Jakarta memiliki tingkat radiasi yang tinggi, lebih spesifik di kompleks yang menampung reaktor riset milik Badan Tenaga Nuklir Nasional.

Radiasi yang dihasilkan berupa Cesium-137 dengan paparan 680 millisieverts per jam. Mungkin lebih sederhana bahayanya paparan itu sebagian besar ilmuwan mengatakan setara dengan tingkat maksimum pekerja radiasi yang merespons krisis Fukushima Jepang 2011. Padahal normalnya adalah 0,03 mSv per jam. Dampaknya terhadap kesehatan sama halnya dengan mereka yang merokok 1 bungkus setiap hari secara kronis selama setahun full. Resiko kesehatan yang ditanggung dari paparan nuklir terhadap kesehatan adalah kanker/mutasi.

Dalam geopolitik dunia, stakeholder nuklir di Indonesia memiliki kesulitan untuk mempromoosikan ide nuklir yang dimiliki saat ini kepada para konstituen. Pasalnya, para konstituen mempertimbangkan Indonesia yang berada di cincin api Pasifik dengan segala bencana alam seperti gempa dan erupsi gunung berapi. Memiliki gagasan dan ide, SDA berlimpah ruah, namun kesulitan mendapat konstituen untuk mengeksekusi dalam skala global.

Posisi Indonesia saat ini mempunyai 3 reaktor nuklir riset tanpa reaktor daya komersial. Selain itu, komitmen terhadap NPT yang harus dipatuhi sebagai kesepakatan bersama. Besar kemungkinan apabila Indonesia mengambil jalur nuklir penuh akan membutuhkan effort yang luar biasa. Apalagi Indonesia memiliki SDA yang dibutuhkan negara berkembang untuk mewujudkan energi nuklir. Saat ini ilmuwan Indonesia terus melakukan pengembangan untuk dapat mengekstraksi uranium dan thorium dari sumber alternatif seperti monasit.

Dalam Buku Merah IAEA atau Badan Energi Atom Internasional telah dituliskan secara rinci bahwa alternatif energi selain uranium terus dipersiapkan untuk pengembangan ekonomi secara global. Berdasarkan hal ini, Badan Energi Atom Internasional masih terus melakukan pengawasan terhadap negara-negara berkembang yang memiliki SDA cukup, berambisi ingin memiliki nuklir sendiri namun pemerintah dan sistem kelembagaaannya masih sangat lemah.

Bagi Indonesia sendiri, nuklir sangat dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi listrik nasional melalui pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Karena konsumsi listrik per tahun terus bertumbuh rata-rata 6,2%. Sementara energi yang ada akan habis jika tidak menggunakan energi terbarukan. 

Bagi Indonesia ambisi terhadap nuklir sendiri selain untuk kebutuhan energi skala nasional, Indonesia melakukan pembuktian sebagai "PEMIMPIN NUKLIR" di ASEAN. Diatas kertas, posisi Indonesia telah menyaingi Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filiphina. Bagi Indonesia, khususnya di Kawasan ASEAN, memiliki reaktor nuklir komersial adalah prestise dan status kebanggaan.

Salam, 

Sri Patmi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun