Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pusaran Nuklir Soekarno Dan Konstelasi Geopolitik Global

7 Desember 2022   15:28 Diperbarui: 8 Desember 2022   19:17 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto pada Bulan Juni 2020 melakukan pertemuan dengan Gubernur Bangka Belitung. Beliau membahas mengenai pendirian kantor kementrian di wilayah tersebut agar lebih dekat dengan Pantai Timur Sumatra. Karena 95% SDA Thorium terdapat sepanjang pantai Timur Sumatra. Sebulan setelah itu, Menhan dan Luhut bertemu dengan Gubernur Bangka Belitung membahas logam timah dan logam tanah.

Dari sini, sepertinya Menhan lebih memprioritaskan reaktor nuklir cair berukuran kecil dengan output pembangkit listrik 50 megawatt untuk menggerakkan kendaraan laut. Hal ini karena propulsi dengan bahan tenaga nuklir lebih efektif dibandingkan pengisian bahan bakar yang dibutuhkan kapal diesel. 

Selain itu, reaktor dari garam cair nuklir dinilai lebih memenuhi standar keamanan, kemudahan dan tingkat harga yang murah. Namun, kapasitas domestik Indonesia masih relatif kecil untuk mewujudkan itu semua. BATAN memperkirakan reaktor nuklir Indonesia baru mampu beroperasi setelah tahun 2040.

Untuk mewujudkan ambisi terhadap nuklir, Menhan melakukan penandatanganan dengan perusahaan nuklir ThorCon International AS tepatnya pada Bulan Juli 2020. Kesepakatan tersebut mengenai kerja sama untuk melakukan penelitian terhadap pengembangan reaktor garam cair thorium kecil. Kesepakatan ini terbilang "MAHAL".

Mengapa demikian?

Pertama terkait masalah usulan investasi $1,2 miliar Thorcon pada PLTN terapung 500 megawatt yang lebih besar untuk Indonesia pada Maret 2019. Permasalahannya, Indonesia masih belum siap dengan pengelolaan limbah yang dihasilkan dari nuklir. Tahun 2020 lalu, berdasarkan pengawasan dari Badan Pengawas Nuklir Indonesia mengungkap bahwa Jakarta memiliki tingkat radiasi yang tinggi, lebih spesifik di kompleks yang menampung reaktor riset milik Badan Tenaga Nuklir Nasional.

Radiasi yang dihasilkan berupa Cesium-137 dengan paparan 680 millisieverts per jam. Mungkin lebih sederhana bahayanya paparan itu sebagian besar ilmuwan mengatakan setara dengan tingkat maksimum pekerja radiasi yang merespons krisis Fukushima Jepang 2011. Padahal normalnya adalah 0,03 mSv per jam. Dampaknya terhadap kesehatan sama halnya dengan mereka yang merokok 1 bungkus setiap hari secara kronis selama setahun full. Resiko kesehatan yang ditanggung dari paparan nuklir terhadap kesehatan adalah kanker/mutasi.

Dalam geopolitik dunia, stakeholder nuklir di Indonesia memiliki kesulitan untuk mempromoosikan ide nuklir yang dimiliki saat ini kepada para konstituen. Pasalnya, para konstituen mempertimbangkan Indonesia yang berada di cincin api Pasifik dengan segala bencana alam seperti gempa dan erupsi gunung berapi. Memiliki gagasan dan ide, SDA berlimpah ruah, namun kesulitan mendapat konstituen untuk mengeksekusi dalam skala global.

Posisi Indonesia saat ini mempunyai 3 reaktor nuklir riset tanpa reaktor daya komersial. Selain itu, komitmen terhadap NPT yang harus dipatuhi sebagai kesepakatan bersama. Besar kemungkinan apabila Indonesia mengambil jalur nuklir penuh akan membutuhkan effort yang luar biasa. Apalagi Indonesia memiliki SDA yang dibutuhkan negara berkembang untuk mewujudkan energi nuklir. Saat ini ilmuwan Indonesia terus melakukan pengembangan untuk dapat mengekstraksi uranium dan thorium dari sumber alternatif seperti monasit.

Dalam Buku Merah IAEA atau Badan Energi Atom Internasional telah dituliskan secara rinci bahwa alternatif energi selain uranium terus dipersiapkan untuk pengembangan ekonomi secara global. Berdasarkan hal ini, Badan Energi Atom Internasional masih terus melakukan pengawasan terhadap negara-negara berkembang yang memiliki SDA cukup, berambisi ingin memiliki nuklir sendiri namun pemerintah dan sistem kelembagaaannya masih sangat lemah.

Bagi Indonesia sendiri, nuklir sangat dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi listrik nasional melalui pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Karena konsumsi listrik per tahun terus bertumbuh rata-rata 6,2%. Sementara energi yang ada akan habis jika tidak menggunakan energi terbarukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun