Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

The Future of War: Menyoal Etnosentrisme dan Fanatisme dari Perspektif Huntington

6 Desember 2022   17:01 Diperbarui: 6 Desember 2022   17:10 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah yang paling kentara dari isu SARA tersebut adalah sikap intoleran dan konflik agama. Dilansir dari Setara Institute bahwa pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan tahun 2007 sebanyak 135, 2008 sebanyak 265 kasus, 2009 sebanyak 200 kasus, tahun 2010 sebanyak 216 kasus, tahun 2011 berjumlah 244 kasus, tahun 2012 sebanyak 264 kasus, tahun 2013 sebanyak 222 kasus dan tahun 2014 sebanyak 134 kasus. Meskipun jumlahnya fluktuatif naik dan turun, sikap intoleran ini akan menjadi boomerang yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan. 

Selain itu, konflik internal ini akan membuka peluang pihak tidak bertanggung jawab untuk menjadi musuh didalam selimut sekaligus memanfaatkan celah kekopongan dalam lemahnya legitimasi hukum di Indonesia.

Perspektif Future War Huntington

Nama lengkapnya adalah Samuel Huntington. Ia merupakan penasehat presiden Lyndon B. Johnson tahun saat perang Vietnam -- AS tahun 1975. Huntington memberikan saran dan masukan pada presiden untuk menggunakan gas Napalm untuk membunuh rakyat Vietkong dari mulai tentara hingga rakyat sipilnya. Atas kejadian tersebut Huntington didakwa bersalah dan harus bertanggung jawab atas kematian lebih dari 5 juta rakyat Vietnam, Kambodia dan Laos.

Huntington menyangkal karya Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man. Tesis Francis memakai teori Hegel tentang metode Dialektika Sejarah. Fukuyama meramalkan dunia akan berada dibawah satu gagasan pemikiran liberalisme dan demokrasi barat. 

Huntington dalam karya Clash of Civilization yang menjadi rujukan kebijakan politik dunia yang berlaku saat ini. Pasca Perang Dingin, dunia akan lebih banyak di dominasi oleh dinamika politik yang terjadi antara peradaban (kultural) alih-alih konflik antara National State seperti yang terjadi pada Perang Dingin ( negara perang melawan negara, atau pakta melawan pakta ).

Dalam asumsinya, Huntington menjelaskan tentang 3 perspektif yaitu:

  • Selepas perang dingin perbezaan paling kentara dalam masyarakat bukan masalah ideologi, politik dan ekonomi, melainkan budaya.
  • Tamadun merupakan entitas budaya yang paling besar, konflik akan timbul dari perbezaan budaya.
  • Wujud perbezaan antara tamadun merupakan isu utama agenda antar bangsa.

Hal ini relevan dengan konflik horizontal yang terjadi di Indonesia. Dimana ultra-fundamentalis mengambil peluang besar tercipta sikap intoleran karena fanatisme dan aspek kecintaan budaya dan merendahkan budaya lain (etnosentrisme) menjadi center of gravity agenda besar future war yang dikemas rapi. Menghadapi permasalahan future war ini, pemerintah harus membingkai kebudayaan dalam ranah kebijakan. 

Sebab beberapa konflik besar yang terjadi di dunia ini berakar pada dimensi kultural suatu negara. Terlebih Indonesia dengan tingginya keberagaman SARA. Potensi gesekan konflik adalah hal yang menyebabkan disintegrasi. Ditambah lagi dengan berkembangnya teknologi, informasi dan komunikasi yang mempermudah para oknum menyebarkan sentiment primordial secara massif melalui jejaring dan membentuk komunitas yang akan merongrong kedaulatan suatu negara.

Menyikapi masalah ini, perlu adanya kebudayaan dalam bingkai kebijakan yang dibangun oleh pemerintah dengan prinsip humanis. Landasannya adalah Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan bahwa "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya." Didukung dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Budaya menjadi katalisator perwujudan geliat ekonomi dan daya Tarik dari mancanegara. Dengan menjunjung tinggi budaya dan sikap saling menghargai perbedaan, konflik SARA dapat diminimalisir. 

Masalahnya, tidak semudah membalikkan telapak tangan ketika berbicara tentang hakikat saling menghargai perbedaan. Selain bingkai kebudayaan dalam kebijakan, masalah konflik ini perlu diselesaikan dialog untuk menjembatani berbagai kepentingan. Sebelum dampak dari konflik meluas menjadi perang masa depan yang digodok oleh oknum tidak bertanggung jawab sedemikian rupa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun