Mulai tanggal 1 April 2022 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan menjadi 11%. Hal tersebut tertuang dalam UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan yang disahkan 29 Oktober 2021. secara bertahap akan meningkat lagi sebesar 12% di Januari 2025.
Dampak Positif
- meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi
- mereformasi administrasi, konsolidasi perpajakan, perluasan basis perpajakan
- meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak
- mengoptimalkan penerimaan negara
- mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum
Dampak Negatif
- Menurunnya minat beli masyarakat sehingga mempengaruhi perputaran ekonomi secara global
- Kenaikan Harga karena adanya pertambahan pada harga barang dalam bentuk pajak.Â
- Jika pelaku usaha tidak menghendaki harganya naik karena pertimbangan tertentu, berkurangnya margin keuntungan yang diperoleh pelaku usaha.
Narasi Naik 1%, Apakah Benar?
Jika ditelaah lebih dalam lagi, ternyata kenaikan bukan 1%. Simulasinya begini :
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu Rp. 10.000.000
PPN 10% = 10% x Rp. 10.000.000 = Rp.1.000.000
PPN 11% = 11% x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.100.000
Kenaikan = 100.000 : 1.000.000 x 100 = 10% dari tarif PPN 10%
Dalam simulasi tersebut jelas tergambar bahwa kenaikan secara transaksional adalah bukan 1% tetapi 10% dari tarif awal sebelumnya. Jadi, jangan terkecoh dengan narasi 1% yang terkesan kecil. Bayangkan saja jika transaksi nilai DPP 10 juta yang seharusnya 1 juta saja membayar PPN, ternyata naik 100ribu. Tentunya 10% dari nilai PPN 10% bukanlah hal yang sederhana dan murah bagi masyarakat. Inilah hal yang patut dipahami dalam system PPN yang nantinya akan dijalankan tanggal 1 April 2022.
Kenaikan Apakah Wajar?
Menurut Purwo Adi Nugroho, Founder of ATTAX Acoounting and Tax Consultant, kenaikan ini terbilang wajar dan cukup kompetitif jika dibandingkan negara lain. Tarif PPN global yaitu 15,4%, negara OECD sebesar 19% dan negara BRICS yaitu Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan sebesar 17%. Dari aspek daya beli masyarakat meningkat pada dua momentum yaitu lebaran dan natal. Perilaku konsumtif masyarakat menjelang Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru didukung karena kemampuan daya beli masyarakat yang meningkat dengan adanya pendapatan tambahan yaitu Tunjangan Hari Raya (THR) yang didapatkan setiap pegawai. THR biasanya dihabiskan dalam satu waktu, jarang sekali THR disimpan untuk kebutuhan jangka panjang. Hal ini menyebabkan jumlah uang beredar di masyarakat bertambah sehingga permintaan meningkat. Jika pemerintah ingin mendapatkan PPN masukan lebih besar dari momentum lebaran, hal ini kurang tepat apalagi saat ini kondisi ekonomi sedang dalam pemulihan dan bergeliat naik.
Ketimpangan Barang Kena Pajak Online dan Offline
Dengan berbagai kenaikan dan besaran PPN 11% maka akan muncul alternatif lain seperti beli barang secara online. Sejauh ini, PPN online tidak ditagihkan kepada konsumen. Benarkah demikian? PPN online sebenarnya dibayarkan oleh pihak pelaku usaha badan dalam bentuk Pajak yang digunggung. Sedangkan pelaku usaha non badan tidak membayarkan PPN. Inilah yang menjadi kesenjangan pelaku usaha badan dan para penjual online. Tentunya harga Offline dan Online akan berbeda, karena Offline masih dikenakan pajak sementara online tidak dikenakan PPN.
Barang dan Jasa Tidak Kena Pajak
barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya. Masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.
Namun, ada pengecualian terhadap barang kebutuhan pokok level menengah keatas seperti beras sirataki, beras basmati, daging wagyu A5 akan terkena PPN 11%. Artinya PPN 11% hanya pada item produk level menengah keatas. Bagi level menengah kebawah masih aman dan tidak terdampak secara siginikan utamanya untuk aspek pemenuhan kebutuhan barang pokok.Â
Mengapa PPN Naik?
Prinsipnya adalah PPN ini sama rasa dan sama rata. Adanya HPP dimaksudkan berorientasi untuk memutus persoalan fundamental sektoral pajak, selaras dengan agenda reformasi pajak, konsep dasar, dan politik ekonomi.
Tantangan yang dihadapi
1. Pemahaman Wajib Pajak
Penguasaan dan pemahaman wajib pajak akan berpengaruh terhadap kepatuhan WP agar terhindar dari sanksi-sanksi pajak.
Sebagaimana yang diketahui, pajak di Indonesia diajarkan hanya pada level tertentu yaitu SMK Akuntansi, dan jurusan ekonomi dalam bangku perkuliahan. Padahal idealnya sedari dini kurikulum perpajakan dapat menjadi pertimbangan dunia Pendidikan.
Meski menganut self assessment, akhirnya pemerintah harus mengalah dengan menjemput bola dan memungut pajak UMKM maupun secara personal. Inilah pentingnya sosialisasi dan edukasi pajak. Jangan sampai masyarakat cenderung menjadi apatis terhadap pajak karena stigmatisasi pejabat pajak yang melakukan fraud.
2. Proses Pemulihan Ekonomi Nasional
Dampak COVID-19 terhadap ekonomi nasional dirasakan pada kuartal 2 tahun 2020 dimana pertumbuhan yoy 2,97% turun 2% dari kuartal 1 tahun 2019. Terlebih dengan adanya aturan PSBB dan PPKM menyebabkan kontraksi pertumbuhan negative.
Beberapa negara yang mengalami aktivitas ekonomi dan dampak yang parah adalah Singapura 41,2%, AS 10%, Inggris 15%.
Sedangkan Bank Dunia memberikan prediksi secara global ekonomi terdampak 5,2%. Indonesia masih dalam angka 0,3% dan menjadi negara terbaik kedua setelah Vietnam dalam pertumbuhan ekonomi selama pandemi.
Meski nominalnya terbilang kecil dibanding negara lain, tantangan pemulihan ekonomi nasional ini membutuhkan kesiapan khusus. Â
3. Administrative Feasibility.
Sampai dengan saat ini, system kelayakan administrasi perpajakan masih belum  dipahami secara global. Administrasi pajak mulai dari tata cara, mekanisme pemungutan dan pelaporan, kelembagaan, biaya kepatuhan, hingga kerja sama antarpemangku kepentingan. KUP memang membingungkan Sebagian orang, utamanya ketika terjadi restitusi terhadap lebih bayar.
Meski berdampak baik, tetapi UU HPP harus mempertimbangkan kondisi ekonomi yang baru bangkit yang menimbulkan daya beli masyarakat bersifat fluktiuatif. Selain itu, dampak konflik Rusia -- Ukraina berpengaruh terhadap kenaikan harga minyak sebesar US$ 130,5 per barel efek dominonya adalah kenaikan komoditas seperti gandum dan harga BBM. Ditengah gejolak kenaikan harga minyak, kedelai, daging memungkinkan terjadinya supply and demand yang kurang seimbang apalagi menjelang idul fitri. Â
Bogor Barat, 20 Maret 2022
Salam,
Sri Patmi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI