Tepat di hari pahlawan, 10 November 2021, saya sempatkan diri untuk berkontemplasi dan ziarah ke Makam Bung Hatta di Tanah Kusir, tepatnya Jalan Bintaro Raya No.1 RT 002/RW 010, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.Â
Di sana, sudah ramai dengan peziarah lainnya dan beberapa pejabat negara yang sudah mulai bersiap untuk pulang karena cuaca sudah mulai mendung.Â
Karangan bunga bertuliskan tanda terima kasih atas jasa Bung Hatta masih menghiasi TPU Tanah Kusir sore itu. Didepan makam ada batu bertuliskan:
"Meskipun Bung Hatta Telah Tiada. Bung Hatta akan tetap hidup dalam hati kami. Cita-cita Bung Hatta akan senantiasa menyinari perjuangan kami"
Makam Bung Hatta berada didalam Rumah Joglo, dengan balutan hiasan Rumah Gadang. Sebelum masuk kedalam area pemakaman, saya mengucapkan salam. Menghargai, mengenang dan mensyukuri tanah yang saat ini kita pijak telah damai dan terasa ramai.Â
Sama seperti Makam Bung Hatta ditengah keramaian ibukota. Sejak 1980, beliau bersemayam damai ditengah hiruk pikuk ibukota. Setiap sore, kawasan ini selalu ramai dan tak lepas dari kemacetan.Â
Tak jarang, TPU riuh dengan suara kereta listrik (KRL) yang tak henti menyapa udara segar di kawasan ini. Momen ziarah menjadi seru jika suara KRL seliweran bersahut-sahutan dengan suara klakson kendaraan.
Bung Hatta ingin dimakamkan di kawasan ibukota karena ingin selalu dekat dengan hati rakyatnya dan agar terus dikenang.Â
Apalagi jasa-jasa sang proklamator sangat berharga dihati rakyat. Selain itu, alasan Bung Hatta dimakamkan di Jakarta karena perjuangannya berpusat di Tanah Jawa dan ibukota.
Damai di area kompleks makam seluas 300 meter ini diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1982. Tepat pada hari kelahiran Bung Hatta, area kompleks ini diresmikan oleh Presiden Soeharto kala itu.
Setelah masuk kedalam hiasan Rumah Gadang, ada halaman luas dan Rumah Joglo. Disitulah Bung Hatta dan istrinya Hj. Siti Rahmiati Hatta tidur dalam damai. Bung Hatta mengajarkan pada Rakyat Indonesia tentang makna kehidupan yang mendalam.
Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri.Â
Memasuki era perkembangan zaman ini, meski terlihat damai justru ancaman datang dari manapun. Orang tua mawas mendidik anak zaman sekarang, globalisasi, akulturasi budaya dan perkembangan teknologi yang tidak berlandaskan pemahaman utuh.
Pemimpin sejati adalah pemimpin yang sanggup menyediakan penggantinya. Sosok pemimpin harus mampu melahirkan pemimpin lagi. Jangan sampai pemimpin tidak dapat beregenerasi dalam kehidupan sehari-hari.Â
Misalnya, seorang ayah harus mampu menumbuhkan dan mengajarkan kepemimpinan terhadap generasi penerus. Seorang atasan mampu melahirkan sosok pemimpin yang terus beregenerasi untuk melanjutkan perjuangan dan menciptakan serta memelihara tatanan yang ada.
Memang benar pepatah Jerman: 'Der Mensch ist, war es iszt', artinya: 'sikap manusia sepadan dengan caranya ia mendapat makan'. Inilah pembelajaran dari Bung Hatta yang berkesan.Â
Cara manusia mendapat makan akan mempengaruhi pembentukan sikap. Jika caranya baik, maka sikapnya akan tumbuh menjadi positif begitupun sebaliknya.
Untuk mencapai cita-cita yang tinggi, manusia (pahlawan) melepaskan nyawanya pada tiang gantungan, mati dalam pembuangan, tetapi senantiasa menyimpan dalam hatinya luka wajah tanah air yang duka.
Fakta lain bahwa sosok Bung Hatta bukan hanya sekedar Sang Proklamator tetapi ia juga menjadi sisi kehidupan yang terus berjalan. Dalam damainya, pesan dan pembelajaran darinya terus memperhatikan dinamika pergerakan zaman.Â
Proyeksi setiap pesan menjelma dalam pemaknaan yang tersirat, harus dibuka satu per satu kata kuncinya dan dimengerti apa maksud dari setiap tutur. Bung Hatta telah damai, tapi pembelajarannya masih terus tersemai.
Bogor, 20 Januari 2022
Salam,
Sri Patmi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H