Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membedakan Victim Blaming dan Playing Victim dalam Layangan Putus

16 Januari 2022   06:54 Diperbarui: 16 Januari 2022   08:17 1919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar : WeTV via Kompas.com

Ada beberapa stigma masyarakat yang berkembang, "karena perempuannya saja yang memakai baju terlalu seksi", "salah perempuannya saja yang keluar malam-malam", "salah perempuannya saja yang suka menggoda". Victim blaming sejatinya telah tertanam didalam diri manusia, tetapi bukan sesuatu yang harus dibanggakan dan dijadikan bekal untuk kehidupan. 

Saya mengatakan victim blaming tertanam didalam diri manusia karena untuk hal sepele saja, manusia akan melakukan victim blaming. Seperti melihat orang yang tersandung batu, pikiran kita akan mengatakan orang itu jalan kurang berhati-hati.

Jadi, playing victim adalah si pelaku memposisikan sebagai korban, sedangkan victim blaming si korban dijadikan sebagai pelaku berdasarkan stigma dan hukum sosial tanpa dasar yang jelas. Keduanya sama-sama negatif dan dapat meracuni mental diri sendiri maupun orang lain.

Dampak Victim Blaming? 

Stigma yang dilontarkan oleh seorang victim blaming biasanya tidak berlandaskan alasan yang kuat. Victim blaming digunakan untuk menghindari tanggung jawab sosial. Pembenaran terhadap sikap si pelaku kepada korban menyebabkan kondisi korban semakin terpuruk. 

Dampak negatif yang ditumbulkan diantaranya adalah tidak bisa memandang secara objektif, memarginalisasi korban, menyepelekan kejadian dan menjadikan korban semakin bungkam seakan dunia ini tidak adil memperlakukan dirinya.  

Meski Victim Blaming Melekat Didalam Diri Manusia, Hal Itu Tak Perlu Dibanggakan. 

Secara psikologis, victim blaming bisa terjadi karena ada rasa abai terhadap kondisi orang lain. Ditambah lagi dengan perasaan superior yang membuat seseorang cenderung merasa kurang empati dengan apa yang dialami orang lain.

Secara mendetail, psikolog dari University of Massachusetts menyebutkan bahwa cara pandang "positive assumptive worldview". Pada level tertentu, sebagian besar manusia percaya bahwa bumi adalah tempat yang baik. Muncul berbagai asumsi jika kemalangan tidak akan menimpa karena bumi ini adalah tempat yang baik dan dirinya tidak akan menjadi korban. 

Beberapa sumber mengatakan jika victim blaming tendensi terhadap bentuk perlindungan terhadap diri sendiri. Perisai bahwa hal buruk tidak akan terjadi pada diri sendiri dalam jangka waktu dekat atau di masa mendatang.

Mengatasi Victim Blaming : 

  • Berempatilah Terhadap Orang Lain
  • Buang pikiran negatif yang cenderung memandang rendah orang lain
  • Realistis memandang kehidupan, jika suatu saat nanti ada kalanya kita di posisi korban atau sebagai pelaku.
  • Jangan ada bias gender dan bersikap objektif.

Meski terdapat perbedaan antara playing victim dan victim blaming, secara umum playing victim dan victim blaming akan bersinggungan. Karena keduanya sama-sama memainkan peran pelaku dan korban didalam kehidupan.

Bogor, 15 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun