Mohon tunggu...
SRI PATMI
SRI PATMI Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Program Studi Strategi Pertahanan - Dari Bumi ke Langit

Membumikan Aksara Dari Bahasa Jiwa. Takkan disebut hidup, jika tak pernah menghidupi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Waspadai Playing Victim Merusak Mental dan Menambah Masalah!

24 November 2021   23:56 Diperbarui: 25 November 2021   00:07 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Playing Victim merupakan gambaran orang yang suka merubah jalan cerita seakan-akan ia adalah korban. Orang-orang ini handal sekali memanipulasi situasi, kondisi dan keadaan. Playing victim dilakukan untuk menghindari tanggung jawab. Lebih parah lagi, si pelaku akan memposisikan diri sebagai korban ketidakadilan. 

Playing victim mentallity ini membutuhkan waktu yang intensif dalam penanganannya. Tipe orang yang memiliki playing victim mentallity akan berupaya jika pandangan mereka yang paling benar. Sudut pandang paling berbeda dibandingkan orang lain, bukan pula tipe out of the box. Tipe seperti ini cenderung memiliki kontrol terhadap orang lain, tetapi kurang kontrol untuk diri sendiri. Ibarat peribahasa "semut diujung lautan akan terlihat, sementara gajah didepan mata tidak terlihat"

Hati-hati jika tanda-tanda ini muncul didalam diri Anda :

1. Suka Melempar Kesalahan Kepada Orang Lain

Cerminan kepribadian playing victim mentallity ini adalah kurangnya rasa tanggung jawab. Entah bagaimana caranya, ia akan berusaha agar namanya tetap suci dihadapan publik. Terkadang memanipulasi keadaan agar orang lain yang bersalah. Memposisikan diri sebagai korban yang paling sengsara kehidupannya didunia ini. 

Tak heran jika berbagai alasan akan dibuat agar posisinya aman. Jika ditempat kerja, atasan yang mengorbankan bawahannya agar tidak disalahkan oleh bos besar. Kerap kali keadaan playing victim mentallity ini mencari-cari alasan dan pembenaran diri, bahkan selalu mengatakan "ini bukan salah saya, saya sudah ajukan kepada dia". 

Padahal peran dan tanggung jawabnya tidak secara penuh dijalankan. Hanya sebatas melempar bola panas ke tangan orang lain, sementara ia hanya tertawa melihat orang lain disalahkan. Terus menyalahkan orang lain, justru mengkaburkan keadaan yang sesungguhnya dan masalah inti tidak akan pernah mendapat solusi. Seperti mengurai benang kusut dengan cara melilitkan lagi dan lagi. hasilnya pun nihil... 

Dampak terhadap diri sendiri adalah tidak ada pembelajaran bermakna untuk menjalani kehidupan kelak karena hikmah pembelajaran sudah dipindahalihkan ke orang lain. Tetapi tidak untuk beban  mental yang dirasakan, ia akan terus dihantui rasa bersalah terhadap diri sendiri dan orang lain yang menjadi sasaran. Kecenderungan ini mengakibatkan pembentukan diri dan pendewasaan sikap akan terhambat. 

Jangankan untuk menentukan cara yang baik, untuk sekedar evaluasi dan introspeksi diri saja tidak sempat. Ia hanya sibuk menunjuk orang lain harus bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak pernah diperbuat. Keadaan yang lebih parah lagi, sudah dibantu oleh orang lain tetapi orang yang membantu malah disalahkan atas kegagalan tersebut. 

Dampak lainnya adalah keadaan ini akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Orang yang menjadi sasarannya akan merasa dunia ini tidak adil bagi dirinya. Hanya terus disalahkan, sementara orang yang melempar kesalahan masih lenggang kangkung menikmati kehidupan. Terhadap diri sendiri dan orang lain akan menimbulkan masalah yang berkepanjangan.

2. Berusaha Memperoleh Belas Kasihan Orang Lain 

Playing victim adalah perilaku toxic yang menyimpang. Penderita victim mentallity bukan berarti tidak menyadari penyimpangan perilaku tersebut, hanya saja ia berusaha meraih simpati banyak orang. Kesan yang dimunculkan adalah ia korban dari setiap kesalahan dan permasalahan yang terjadi.

Cara-cara untuk meminta belas kasihan dari orang lain dengan cara membangkitkan perasaan emosi dalam bentuk simpati dan empati dengan fakta yang dimanipulatif. Dampaknya akan menciptakan kebohongan demi kebohongan lainnya untuk mendapatkan keberpihakan dari orang lain agar membela kepentingannya. 

Dampak terhadap diri sendiri adalah kurang bisa menemukan solusi karena selalu dimanja oleh keadaan sekitar yang mendukungnya. Ketika berada dalam keadaan yang sulit dan lingkungan lupa untuk memanjakan dirinya, masalah kecil pun akan terasa berat. Dampak lebih parah ketika semua kebohongannya terungkap, tersudutkan dan tidak mendapatkan pembelaan dari siapapun, ia merasa sendiri dan berakibat fatal pada depresi. 

Dampak lainnya adalah orang lain akan merasa jengah karena hilangnya kepercayaan terhadap ucapan si victim mentallity. Kebohongan yang terus ditumpuk terus menerus akan membludak dan terbuka. Selalu membawa-bawa nama orang lain agar ucapannya makin meyakinkan publik, akhirnya orang lain tidak menghargai dan menghormatinya. 

Bukan kasihan, malah orang lain merasa tidak memiliki kebesaran, kemandirian dan kemampuan untuk berdiri diatas kaki sendiri. Karena sudah terbiasa dimanja oleh lingkungan, jadi apa-apa selalu mengatasnamakan kebesaran orang lain. Misalnya di lingkungan kerja : "Kata bos besar begini lho", "kata si anu begini", "Kata istrinya bos, saya ini asistennya". 

Karena kontrol terhadap diri sendiri diabaikan dan cenderung berfokus pada kontrol orang lain, maka pijakannya berada pada kaki orang lain. Publik akan melihat betapa rapuhnya victim mentallity tanpa adanya dukungan lingkungan yang memanjakannya. 

3. Kurang Bertanggung Jawab 

Victim mentallity akan melibatkan perasaan untuk diakui sebagai pusat perhatian, ia mengambil banyak peluang untuk menjadi the number one and just only one, tapi lupa menakar kapasitas diri. Pada akhirnya boomerang untuk diri sendiri. Setelah beban tanggung jawab dipikul semua, responsibility terbentur dengan kapasitas dan kemampuan diri.

Agar beban yang dipikul seimbang, ia meminjam bahu orang lain untuk membantu memikul beban tanggung jawab itu. Mencari-cari peluang agar selamat, tapi masih punya nama dihadapan publik. Pandai sekali melihat peluang orang yang akan dijadikan sasaran. Biasanya, sasaran utamanya adalah orang-orang yang masih lugu, suka membantu, suka menolong, naif, dan lain-lain. Ia akan berusaha memanfaatkan kebaikan orang lain sebagai tunggangan kepentingan. 

Dampak terhadap diri sendiri menyebabkan kemalasan untuk berkembang dan bertumbuh lebih baik lagi. Tanggung jawab hanya menjadi simbol tanpa makna. Pertanggungjawaban yang diharapkan justru nihil makna karena hasil kerja orang lain meski pekerjaan tersebut tuntas karena hasil kerja orang lain. Secara psikologis, hal ini akan merusak mental diri untuk berkembang karena terbiasa segala sesuatu dilempar ke orang lain. Bukan dihadapi, dimana akar permasalahan dan bagaimana mengurainya. 

Dampak terhadap orang lain yaitu merusak hubungan, karena keberhasilan yang diperoleh tidak akan menyertakan nama orang yang telah membantunya. Secara total, mengklaim semua berkat usahanya. Lebih buruk lagi, ketika dites secara langsung, ternyata kapasitas diri nol besar. Lagi-lagi perilaku toxic ini akan menjadi boomerang dan bom waktu penghancur. 

4. Fokus Pada Masalah Kecil Orang Lain, Lupa Masalah Besar Diri Sendiri 

Akibat lemahnya kontrol terhadap diri sendiri, victim mentallity ini hanya sibuk melihat bagian terluar dari diri.  Padahal jika ditinjau lebih dalam lagi, beban hidup diri sendiri jauh lebih penting untuk diselesaikan dibandingkan masalah orang lain. Tetapi, masalah orang lain lebih menyita perhatiannya dibandingkan beban hidup sendiri. Kecenderungannya keberhargaan diri dari kesan orang lain terhadap dirinya. Karena keberhargaan dirinya bersifat semu dan cerminan orang lain terhadap diri sendiri, bukan dibentuk dari dalam memancar keluar dan menunjukkan kemilaunya hingga semua orang memandang. 

Dampak terhadap diri sendiri adalah lupa menggali potensi diri, melihat sisi baik buruk diri sendiri, kelemahan dan kekuatannya, bagaimana cara mengembangkan diri sendiri. Jika digali lebih dalam, ada kecenderungan tidak mengenal siapa diri sendiri, bagaimana harus bersikap terhadap diri sendiri, bagaimana jika kecewa dan pencapaian tidak tercapai, hanya terus mengandalkan kekuatan orang lain. Bukan membentuk jalannya sendiri, tetapi mengikuti jalan orang lain. 

Dampak terhadap orang lain atas sikap tersebut tentunya menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Bahkan dapat memicu konflik yang berkepanjangan karena victim mentallity ini jika dibiarkan menjadi koloni/kelompok, antar satu kelompok saling menyerang dan memunculkan perpecahan. Pihak pro dan kontra akan saling menunjukkan keberpihakannya. 

5. Manipulatif dan Menciptakan Drama-Drama Kehidupan 

Alih-alih bersikap mawas justru victim mentallity ini menyajikan tipuan bagi pikiran. Belum terjadi sudah takut dan panik duluan. Ketakutan ini yang mendorong victim mentallity untuk berbuat apapun dan menghalalkan segala cara yang penting ia terbebas dari tuntutan kesalahan. Ia akan membalikkan fakta yang terjadi seakan-akan ia adalah korban dari segala permasalahan, padahal dalang utama dan biang kerok terjadinya masalah. Mencari keberpihakan, ia akan merangkai ribuan drama agar orang lain percaya dan mengikuti alur-alur yang disajikan meskipun fiktif. 

Dampak terhadap diri sendiri, kelelahan dan kehabisan waktu untuk mencari-cari cara menutupi kesalahan. Lelah mental dan fisik akan terakumulasi semakin tidak produktif. Lama kelamaan, bukan hanya beban hidup tetapi drama kehidupan yang diciptakan menguras tenaga dan waktu hingga lupa bagaimana cara bahagia bukan terus pura-pura bahagia. 

Dampak terhadap orang lain, sikap manipulatif ini adalah sikap toxic yang harus dihindari. Sekalinya masuk kedalam diri akan meracuni lini kehidupan. Dampaknya bervariasi tergantung respons orang yang menjadi sasaran penderita victim mentallity, jika sasarannya berlaku bijak tidak menjadikannya masalah besar dan membantu proses penyembuhan. Tetapi victim mentallity ini juga berdampak pada pertentangan dan konflik terhadap orang lain. 

Penyebab Playing Victim

1. Pengalaman Masa Kecil yang Menyakitkan/Trauma Psikis Yang Mendalam 

Saat masih kecil, si penderita memiliki trauma berupa penindasan fisik, seks, emosi baik dari lingkungan keluarga dan sekitarnya. Sehingga untuk sekedar membahagiakan diri sendiri, ia tetap membutuhkan bantuan orang lain. 

2. Memiliki Gangguan Kepribadian Narsistik dan Manipulatif 

Gangguan narsistik ini menunjukkan sifat keakuan yang sangat tinggi, dimana penderita akan selalu menjadikan dirinya sebagai porosnya dari segala poros yang ada. Jika dilingkungan kerja, ia akan berusaha menjadikan dirinya sebagai pusat dari segala-galanya. Sehingga cara-cara apapun akan dilakukan untuk menjadi pusat perhatian. 

3. Tipe Orang Destroyer/Penghancur Diri Sendiri dan Orang Lain 

Karakter ini terbentuk sejak bawaan lahir. Ia akan memposisikan segala sesuatu sebagai objek yang dengan mudah disingkirkan dengan berbagai cara tak peduli seberapa baik orang tersebut kepadanya. Hingga dapat dikatakan ia ini robot yang terjebak di badan manusia. 

Cara Mengatasi :

Manusia diciptakan dengan bekal yang sempurna, memiliki bentuk fisik yang mampu menerima rangsangan dan kondisi jiwa yang menggerakkan. Sudah selayaknya, diri ini juga berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dengan cara-cara yang positif tanpa merusak mental diri sendiri. Jangan selalu berpura-pura menjadi korban malah nanti jadi korban betulan lho? 

Dan disaat sudah menjadi korban betulan, sayangnya sudah tidak ada lagi lingkungan atau orang yang memanjakan lagi. Jika ingin dihargai, jangan injak kepala orang lain. Jika ingin dipandang, jadilah warna yang berbeda dan menghidupkan orang lain bukan menghancurkan.  Mulailah untuk bermeditasi dan menyadarkan diri serta penguatan mental. 

Apa yang terjadi dimasa lalu, kehidupan yang telah berlalu memang diluar dari kendalimu. Tapi saat ini kamu berhak untuk bertanggung jawab atas kebahagiaanmu sendiri. Tidak harus selalu menuntut untuk dibahagiakan orang lain, karena bahagia itu kita sendiri yang ciptakan. Bahagia itu bukan apa kata orang. 

Jangan selalu keras memperlakukan diri, memaksakan kehendak diri terhadap orang lain dengan menyalahkan orang lain terus menerus. Tidak akan rendah derajatnya, orang yang bersalah meminta maaf, karena kita sebagai manusia berbekal sifat manusiawi dan besar harapan permohonan maaf akan menemukan solusi untuk kehidupan kelak. 

Mulailah untuk bermeditasi sebagai penenang diri. Mulailah berbicara dengan diri sendiri, pahami diri sendiri, bagaimana diri ini bahagia tanpa mengorbankan kepentingan dan masalah pribadi orang lain. Disinilah kebahagiaan akan tercapai untuk diri sendri dan orang lain. Sosok diri yang menginspirasi terhadap banyak orang, merasakan dan memberikan solusi untuk perubahan. 

Bogor, 24 November 2021

Salam, 

Sri Patmi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun