PENGANTAR
Kendati Manusia, melalui inspirasi ilmiah atau insting alami, dapat menemukan akar kebaikan dan keburukan, dan melalui petunjuk alam dapat membedakan antara hal yang disukai dan dibenci, itu tidak berarti bahwa manusia dapat memahami sendiri semua problem yang menimpa mereka di bidang akhlak tanpa seorang guru, sehingga mereka dapat dengan mudah membedakan segala kkebajikan dari segala kejahatan dan menjawab semua persoalan dalam masalah ini.Â
Hal ini dikarenakan pengetahuan akhlak sedemikian sulit dan rumit sehingga walau adda kajian-kajian yang mendalam oleh para filsuf besar sepanjang zaman, beberapa bagian problem tersebut tetap tidak terpecahkan hingga dewasa ini dan belum menjadi jelas benar sebagai mana mestinya, dan para ulama tidak dapat memberikan jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan akhlak. Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk memahami realitas-realitas dan kerumitan-kerumitannya dari Al-Qur'an dan sabda-sabda Ahlulbait.[1]
Kita harus memahami bahwa menurut aliran pemikiran Nabi Muhammad saw., manusia adalah makhluk yang mempunyai dua dimensi, artinya, fitrah manusia mempunyai baik dimensi positif maupun negative. Manusia dapat melintas ke atas maupun menurun. Menurut tabiatnya, dia mempunyai kecenderungan pada yang baik maupun yang uruk. Manusia mempunyai baik kecerdasan maupun jiwa (nafs), kecerdasan membimbingnya pada kebaikan dan keagungan dan dia pun mempunyai jiwa yang penuh nafsu, yang mendorongnya menuju keburukan dan kerendahan.Â
Hati manusia mempunyai baikkekuatan yang konstruktif maupun kekuatan yang destruktif. Al-Qur'an menunjukkan keduanya pada beragam ayat dan menyatakan : "Aku bersumpah dengan hari kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS. Al-Qiyamah 75 : 1-2). Mengenai yang kedua ia menyatakan : "Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku." (QS. Yusuf 12 : 53)
Manusia mempunyai kecenderungan kepada Tuhan lantaran dimensi positifnya, al-Qur'an menyatakan dengan latar belakang yang sama : "...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia manurut fitrah itu." (QS. 30 : 30).
Manusia memupunyai kekuatan untuk berjalan menuju kebaikan dan menjadi makkhlkuk yang mulia. Dia mempunyai kepasitas untuk mengangkat dirinya pada keadaan al nafs al muthma'innah (jiwa yang tenang). Betapa indahnya firman Allah : "Hai jiwwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puaas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke surga-Ku." (QS. Al-Fajr 89 : 27-30).
Dalam dimensi negative, fitrah manusia telah dikenal bersifat kikir, rakus, suka bertengkar, tergesa-gesa, dan kufur. Oleh karena itu, kita menemukan subjek-subjek berikut ini dalam Al-Qur'an:
"dan adalah manusia itu sangat kikir."[2]
Â
"manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa."[3]
Â
"dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah,"[4]
Â
"Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."[5]
Â
"Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya."[6]
Dimensi negative jiwa manusia sedemikian rupa sampai-dsampai dia dapat menyeret manusia ke tempat yang serendah-rendahnya. Al-Qur'an menyatakan : "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh." (QS. At-Tin 95 : 5-6).
Ayat-ayat ini menceritakan kepada kita dengan jelas bahwa manusia dapat menjadi lebih rendah daripada semua makhluk yang rendah. Karenanya, dari sudut pandang Al-Qur'an dan aliran pemikiran ilahiah, pada fitrah manusia, ada bidang perbedaan yang luasnya mencapai tidak terhingga. Pada satu sisi, ia berkembang sedemikian besar hingga mencapai 'ala illiyin, tempat-tempat tertinggi di akhirat seperti yang digambarkan oleh Al-Qur'an tentang Nabi Muhammad saw. : "Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat, maka jadilah dia dekat (lagi)." (QS. An Najm 53 : 8-9). Pada sisi lain, manusia bisa saja jatuh tersungkur hingga mancapai asfala safilin (tempat yang serendah-rendahnya).
Setelah kita membaca sebagian ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambarkan akhlak yang agung dan nilai pentingnya maupun ayat-ayat yang menyebutkan betapa manusia dapat menjadi sangat rendah tanpa guru, kita harus mengetahui bahwa untuk mendidik dan memandu manusia, kita harus mengambil manfaat sebanyak mungkin dari guru-guru akhlak yang mereka sendiri telah menjadi teladan kebaikan akhlak dan telah menjauhkan diri dari segala keburukan, sehingga kita pun, secara bertahap, menjadi mulia. Bila kita tidak bertindak demikian, dan bila kita membebaskan diri kita, maka kita pastii dapat mencapai kedudukan orang-orang yang tidak berakhlak : "Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi." (QS. Al-A'raf 7:179).
Jadi, dari asfek ini, kita harus tahu bahwa nilai penting aklak sedemikian besar, sehingga kesempurnaan naasib manusia terdapat pada keagungan akhlaknya.
Â
Batang Gansal, 16 Februari  2020
Patimawati
PENDAHULUAN
Sebelum kita membahas akhlak, kita harus memahami bahwa dari sudut pandang Islam, manusia memiliki status yang sangat tinggi. Tuhan Yang Maha besar menceritakan tentang ciptaan-Nya, "Maka Mahasucilah Allah, sebaik-baik Pencipta."[7]
Â
Dan tentang penciptaan Adam, Dia berfirman kepada para malaikat "sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah 2 : 30). Dia juga berfirman : "Dan sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan (QS. Al Isra' 17 : 70).
Â
Jelaslah bahwa manusia dengan upayanya yang sungguh-sungguh mencapai status semacam itu, sehingga mata, telinga, dan hatinya menjadi bersifat ilahiah; maka apa pun yang dia inginkan, terjadilah.
Â
Pada sebagian hadis, kita membaca: "Barang siapa mengikhlaskan amalnya selama empat puluh hari, Allah akan memenuhi hatinya dengan kebijaksanaan." Demikian juga, "Ilmu adalah cahaya yang diisikan ke dalam hati oleh Allah kepada orang yang dekehendakinya-Nya."
Â
Nah, untuk dapat mencapai status kemanusiaan dan untuk mancari maqam (kedudukan) yang tinggi ini, kita harus, pertama-tama, memahami diri kita sendiri, baru kemudian kita akan mengenal Tuhan kita, sebab orang yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.
Â
Kita mesti tahu bahwa mencapai tingkat ini tidaklah mungkin selain dalam naungan kepatuhan kepada hokum-hukum Tuahan dan dengan menyingkirkan segala keburukan yang tercela dari diri kita, lalu menghiasi diri kita dengan kebajikan-kebajikan yang berharga seperti ilmu pengetahuan, kejujuran, kesehatan, heroism akhlak, kerendahan hati, ketulusan, dan takhliyah serta tahliyah (mengisi kebaikan dan membuang keburukan).
Â
Dalam buku ini, digambarkan sifat-sifat tertentu yang mengangkat manusia paeda kesempurnaan atau menyungkurkannya ke jurang ke hinaan, menurut pandangan Al-Qur'an maupun hais agar, dengan berkah Al-Qur'an serta sabda Anbi saw, dankeluarganya yang suci, penulis dan pembacanya dapat dianugerahi cahaya pencerahan. Lalu, setelah kontemplasi, penyelidikan, dan analisis, kitaakan sampai pada kesimpulan bahwa manusia mampu mencapai kesempurnaan hanya dalam naungan akhlak dan etika serta setelah memahami tujuan dari penciptaan.
Â
Saya berharap semoga buku ini akan terbukti efektif dalam membersihkan dan menyucikan jiwa serta membantu kita dalam perjalanan kita menuju Tuhan dan kesempurnaan manusia.
Â
Ilmu dan hikmah: Pandangan Islam
Â
Â
Kita mulai pelajaran pertama kita dengan ilmu dan hikmah, yang merupakan pilar asli pertama yang membedakan dan memuliakan manusia.
Â
Dalam waahyu pertama kepada Nabi saw., kita membaca: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah, dan Tuhanmu yang Maha Pemurah, Yang Mengajar manusia (dengan) perantaraa kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al'Alaq 96 : 1-5).
Â
Selain itu, kita bava di awal surah ar Rahman : "(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajaarkan Al-Qur'an. Dia menciptakan manusia. Mengajarkannya pandai berbicara." (QS. Ar Rahman 55: 1-4).
Â
Pada kedua ayat itu, perhatian pertama ditarik pada pemberian ilmu, lalu pada khilqat (penciptaan) manusia.
Â
Banyak ayat yang sejenis, orang-orang yang arif telah diajak bicara melalui inspirasi, seperti: "Dan Dialah yang menjadikan binatang-binatang bagimu, agar kamu menjaadikannya penunjuk dalam kegelapan malam di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui." (QS. Al An'am 6: 97).
Â
Ayat yang lain, Dia berfirman : "Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepaea orang-orang yang mengetahui." (QS. Al An'am 6: 98).
Â
Allah juga berfirman tentang Adam, moyang manusia : "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, "sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!'" (QS. Al-Baqarah 2: 31)
Â
Â
Dorongan bagi Ulama
Â
Islam telah mendorong belajar. Para pemimpin besar agama senantiasa secara aktfi memberi semangat kepada para ulama dengan lebih mengutamakan mereka daripada yang lain. Karena itu Nabi saw., dalam perang antara kaum Muslimin melawan pasukan Romawi, memberikan panji kepada seorang pemuda yang bernama Usama bin Zaid, dan memerintahkan agar seluruh pasukan mematuhinya.
Â
Juga, ketika sekelompok orang dari bani Hasyim tengah duduk di dekat Imam Shadiq dalam satu pertemuan besar, Hasyim bin Hakam, yang pada itu masih muda, dating. Imam bangun dan menyalaminya, menariknya ke dekat beliau, menciu bibirnya, dan mendudukkan dia di sebelah beliau. Kejadian ini tidak menyenangkan semua orang tua yang duduk di sana. Imam berkata, "Tidaklah kalian tahu bahwa pemuda ini, dalam suatu diskusi, telah sangat mempermalukan Amr bin Ubaid (dengan mengungkapkan kesalahan-kesalahan pikirannya) sampai-sampai Amr mengatakan, 'selama pemuda ini hadir di kelas aku tidak akan berbicara.'"
Celaan bagi Orang Berilmu yang tidak Mengamalkan Ilmunya
Â
"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau KAmi menghendaki. Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengeluarkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (QS. Al A'Raf 7 : 175-176).
Â
Ayat ini pertama ditujukan kepada Nabi saw., dengan mengatakan, "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat." Ayat yang pertama telah memberi isyarat secara jelas tentang kisah orang-orang yang sebelumnya telah berada dalam barisan orang-orang yang beriman dan yang dianggap sebagai pembawa ayat-ayat dan ilmu Tuhan, tetapi mereka, pada akhirnya, melenceng dari jalur kebenaran dan setan pun mendorong mereka kea rah yang salah dengan keragu-raguannya, maka sebagai akibatnya mereka kehilangan jalan yang benar.
Â
Ulama yang tidak beramal menurut Ilmunya : pandangan Hadis
Â
1). Nabi saw. diriwayatkan bersabda, "Orang yang memperoleh banyak ilmu dengan tujuan untuk menghadapi orang yang bodoh, atau berlagak dengan para ulama, atau meminta orang-orang mendatangi dirinya dan membayangkan dirinya sebagai seorang pemimpin sampai akhirnya menjatuhkan dirinya dalam neraka, tidak cocok untuk kepemimpinan apa pun, selain bagi keluarganya saja. Bila seorang manusia menarik orang-orang kepada dirinya meskipun di antara mereka ada orang yang lebih arif daripada dirinya, Tuhan tidak akan mencurahkan rahmat-Nya atas orang seperti itu."
Â
2). Diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib, "Barang siapa yang menjadikan dirinya seorang pemimpin manusia, harus mengajar dirinya sebelum mengajar orang lain. Setelah itu, dia harus mendisiplinkan masyarakat mlalui perilakunya sendiri. Baru setelah itu, dia harus mengajar orang lain melalui lidahnya. Orang yang mengajar dan mendisiplinkan dirinya lebih bermartabat dan lebih terhormat daripada orang yang mengajar dan mendisiplinkan orang lain tapi melupakan dirinya."
Â
3). Dalam salah satu Khotbah yang disampaikan dari mimbar, Imam Ali mengatakan, "Wahai manusia! Manakala kalian mengetahui sesuatu, berbuatlah sesuai dengannya agar kalian mendapat petunjuk. Seorang yang berilmu dan bertindak berlawanan dengan ilmunya adalah seperti orang bodoh yang sesat yang belum menyadari kebodohannya, sungguh telah terbukti bahwa dia itu lebih buruk daripada seorang bodoh sesat yang tanpa tujuan, dan keduanya pecundang yang tiada berguna."
Â
Niat yang Ikhlas dalam Mengajar dan Belajar
Â
Imam Shadiq mengatakan, "Barang siapa yang bermaksud mendapatkan keuntungan dunia dari ilmu pengetahuan, tidak akan mendapatkan bagian di akhirat; dan orang yang berniat mendapatkan keuntungan di akhirat, akan mendapatkan keduanya: keuntungan duniawi dan ukhrawi dari Allah."
Â
Imam Ali mengatakan, "sesungguhnya dunia ini adalah bebodohan dan kesia-siaan mutlak, kecuali tempat-tempat belajar; dan semua ilmu adalah fakta yang memberatkan manusia, kecuali ilmu yang diamalkan; dan semua amalan adalah kemunafikan, kecuali yang dilakukan dengan niat yang ikhlas; dan keikhlasan ini pun berbahaya, kecuali manusia memahami di jalan apa hidupnya bakal berakhir."
Â
Nabi saw. bersabda, "Amal perbuatan manusia digadaikan oleh niatnya, dan setiap orang mendapatkan menurut apa yang diniatkannya. Bila seseorang berperang di jalan Allah, pahalanya ada pada Allah; dan bila seorang berperang demi peruntungan dunia, pahalanya hanya terbatas di dunia ini."
Â
Ihklas dan Bijaksana
Â
Dalam setiap keadaaan, melaksanakan kewajiban di jalan Allah dengan niat yang ikhlas menaikkan seseorang pada suatu maqam yang mulia. Tidak seorang pun dapat mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin baginya. Justru ketika sesseorang mulai berjalan di jalan Allah, kekuatannya bertambah dan kesulitannya terpecahkan. Seperti yang dikatakan Al-Qur'an suci: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Ankabut 29 : 69).
Riya
Maksud manusia di balik perbuatan riya ini adalah untuk menarik orang kepdanya. Dia melakukannya dengan  berbagai cara :
Â
- Dengan perbuatan atau tindakannya. Misalnya, dia memperlama shalatnya atau menampakkan kekhusyukan.
- Dengan perkataannya. Misalnya, dalam nasihat dan khotbahnya, dia terjaga sepanjang malam untuk beribadah.
- Ada kalanya, dia menampakkan wajah seperti wajah seperti wajah orang yang terus terjaga sepamjang malam untuk beribadah.
- Ada kalanya, dia memperagakan dirinya sedemikian rupa sehingga tampak penuh perhatian kepda Islam dan kaum Muslimin.
Tidak ada keraguan bahwa semua ini memang mempunyai asfek ibadah, karena ada beberapa hadis dan ayat yang berkenaan dengannya. Dalam kitab Urwatul Wutsqa, pada bab tentang wudu, Almarhum Sayyid Muhammad Kazham Thabathaba'i mengutip hamper sepuluh macam riya. Berikut ini beberapa di antaranya :
Â
- Maksud dari berbuat baik hanyalah untuk memamerkan diri kepada orang.
- Perbuatan itu dimaksudkan untuk mendapat baik pahala Tuhan maupun pamer, akan tetapi yang kedua besar daripada yang pertama.
- Kedua niat tersebut (untuk mendapat pahala Tuhan dan pamer) setara, dan masing-masing niat itu dapat mendorongnya berbuat baik.
- Dia mempunyai niat baik pamer maupun mendapat ridha Tuhan, namun harapan untuk mendapatkan ridha Tuhan lebih besar.
Â
Larangan Riya dalam Al-Qur'an
Â
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedangkan dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang seperti itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguaaii sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Alklah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. al-Baqarah 2: 264)
Penipuan diri dan Ujub
Â
Salah satu sifat berbahaya yang paling kerap terlihat di kalangan ulama dan orang-orang saleh adalah ujub. Ujub atau egotism di sini adalah seperti yang dimaksud dalam banyak tulisan para guru besar etika dan akhlak, yakni menganggap diri hebat lantaran pencapaian materi, baik itu berupa kebaikan-kebaikan yang nyata maupun sekedar dalam imajinasi.
Tanda UjubÂ
Â
Ujub adalah etika seseorang menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain, dan Al-Qur'an suci menggambarkan : "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mngemukakan alasan-alasannya." (QS. Al-Qiyamah 75 : 14-15).
Â
Imam Shadiq pun mengatakan. "Orang yang tidak mengakui kepribadian orang-orang lain adalah orang yang ujub."
Â
Bahaya Ujub di Akhirat
Â
Ujub membuat amal perbuatan sia-sia. Al-Qur'an Suci menyatakan : "Katakanlah, 'Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan, sedangkan mereka menyangka bahwa merreka berbuat sebaik-baiknya."(QS. Al-kahfi 18 : 103).
Â
Dan dinyatakan pula : "Maka apakah orang-orang  yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orsang yang tidak ditipu oleh setan)?" (QS. Fathie 35 : 8).
Â
Orang-orang yang berpikir dengan cara demikian, menghancurkan perbuatan baik mereka dengan membuang kebaikan. Karenanya, Al-Qur'an Suci menyatakan: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti menafkahkan hartanya karenanya karena riya kepada manusia." (QS. Al-Baqarah 2 : 264).
Â
Dari Imam Shadiq Ujub adalah tanaman yang benihnya adalah kufur dan tanahnya ada nifaq (kemunafikan), airnya adalah penindasan, dahan-dahannya adalah kebodohan, daunnya adalah kedurhakaan, dan buahnya adalah kutukan, tempat pembuangan dalam neraka.
Penawar Ujub
Â
Manusia harus merenungkan kebesaran Pencipta alam semesta. Dia harus memahami bahwa hanya  Dia Pemilik kebesaran. Dia harus percaya bahwa Allah bersifat wajabul wujud (keberadaan-Nya mutlak), hanya Dia Pemilik kekuasaan serta keabadian. Sebaliknya, kekerdilan dan kefanaan merupakan bagian dari manusia. Manusia harus memikirkan tahapan-tahapanawalnya dalam kehidupan, yakni bagaimana dia sampai bisa dilahirkan, berapa kali dan berapa banyak saluran kotoran yang telah dilaluinya, dan sekarang pun dia membawa kotoran dalam dirinya, dan akhirnya dia juga akan berubah menjadi bangkai.
Â
Karenanya, Al-Qur'an Suci meggambarkan: "Binasalah manusia alangkah sangat kekafirannya? Dari apakah Allah menciptakannya? Dia memudahkan jalannya, kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke kubru, kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali." (QS. 'Abasa 80 : 17-22).
Â
Manusia pun harus berpikir tentang asalnya, bahwa dia adalah tanah pada awalnya, lalu dia diubah menjadi sperma sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an: "Yang Membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang Memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dian menjadikan keturunannya dari sari pati yang hina." (QS. As-Sajadah 32: 7-8).
Obat yang Terperinci
Â
Terkadang manusia menjadi Ujub karena keelokannya. Obatnya adalah bahwa dia harus tahu bahwa keelokan ini tidak berada dalam kekuasaannya, dan ia kerap menghilang sebagai akibat dari suatu penyakit. Dia harus pula berpikir bahwa setelah beberapa saat, keelokan ini dikebumikan di dalam tanah, ia berubah menjadi suatu bangkai yang sangat tidak disukai oleh setiap orang., karenanya, Al-Qur'an memperingatkan : "Dan apakah ia tidak mengetahui, bahawasannya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat dari padanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditannya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka." (QS. Al-Qashash 28: 78).
Â
Sombong
Â
salah satu tanda kesombongan adalah bahwa seseorang membayangkan dirinya itu lebih baik daripada orang lain, dan tidak siap untuk menerima kebenaran. Karena itu, Imam Shadiq diriwayatkan menyatakan, "Takabur" (sombong) adalah mengganggap orang lain rendah dan menganggap ringan kebenaran.".
Penawar Kesombongan
Â
Dalam menghadapi penyakit jiwa atau rohani ini, apa yang harus seseorang lakukan, bagaimana cara menghilangkannya? Untuk menghilangkan penyakit ini, beberapa resep ini harus diikuti:
Â
Pertama, seseorang harus berpikir siapakah dia dulu, siapakah dia sekarang, dann siapakah dia kelak. Keadaan yang pertama dan yang terakhir sudah jelas. Dia, pada kenyataanya, bukan pemilik dirinya. Apakah patutu dia menjadi sombong? Dia harus merenungkan lebih dalam tentang ini.
Â
Kedua, dia harus mengkaji lebih teliti ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengutuk sifat buruk ini dan senantiasa mengingat hal itu.
Â
Ketiga, dia harus terus mengingat bahaya, agar penyakit itu hilang sepenuhnya.
Â
Keempat, dia harrus benar-benar memeranginya dengan bersemangat dan berusaha mengahncurkannya. Dan untuk itu, dia harus melakukan hal yang  tidak menyenangkan hatinya.
Cinta kedudukan dan Kemasyhuran
Â
Cinta kedudukan dan kemasyhuran, sudah barang tentu, merupakan salah satu sifat yang kerap menghancurkan negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan. Ia pun merenggut agama dan dunia dari manusia. Jika seseorang tidak memperbaiki dirinya dari sejak semula, pada saat dia mencapai puncak pemerntahan atau kekuasaan, niscaya seluruh tujuannya adalah untuk menguasai manusia, bukan untuk memperbaiki dan mengembangkan komuitasnya. Karenanya, ketika Muawiyah tiba di Kufah dan naik mimbar, dia berkata, "Aku tidak ikut campur dalam salat dan puasa kalian! Keinginanku adalah menguasai kalian dan aku telah mencapainya."
Â
Al-Qur'an mengutuk ambisi yang berlebihan :
Â
- "negeri akhirat itu, Kami jaadikan untuk orang-oorang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (buka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalahbagi orang-orang yang bertaqwa." (QS. Al-Qashash 28 : 83).
- "Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Hud 11 : 15-16).
- "Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambahi keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya dari keuntungan dunia dan tidak ada  baginya suatu bagian pun di akhirat." (QS. As-Syura 42: 20).
Cinta Dunia
Â
Apa yang kita temukan dalam ayat-ayat Ak-Qur'an dan dari hadis-hadis tentang ambisi duniawi atau benda-benda meteri, dapat dijelaskan dalam tiga dimensi:
Â
- Ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengutuk nafsu-nafsu duniawi.
- Pujian karena menginginkan benda-benda duniawi yang dibolehkan, dan ayat-ayat serta hadis-hadis yang membolehkannya.
- Perbuatan dua poin di atas.
Â
Ayat-ayat yang mengutuk meterialisme:[8]
Â
- "Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampong akhirat itu baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya?" (QS. Al-An'am 6 : 32).
- "Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka kami segerakan baginya itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahanam; ia akan memasukinya kehidupan akhirat dan berusaha kea rah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah orang Mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik." (QS. Al isra' 17 : 18-19).
- "Ddan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sessungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut 29 : 64).
Nabi saw. bersabda, "Ibadah ada tujuh puluh macam. Yang paling baik adalah mencari nafkah yang halal."
Nabi saw. bersabda, "Orang berusaha mencari uang untuk membiayai keluarganya adalah seperti orang yang berperang di jalan Allah."
Maka dapat disimpulkan bahwa apa yang telah dikutuuk ialah:
Â
- Cinta Dunia. Karena itu kit abaca dalam hadis: "sumber setiap kesusahan adalah cinta dunia."
- Senang dengan kekayaan dunia. "Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)." (QS. Ar Ra'd 13 : 26).
- Terlena dalam kesenangan dunia. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. Al-Munafikun 63: 9).
 Dengki
Â
Dengki adalah ketika seseorang menginginkan agar suatu karunia hilang dari orang lain kendati dia mengetahui bahwa karunia tersebut tepat untuk orang itu. Iri hati bermakna menginginkan karunia yang dimiliki oleh orang lain tanpa harapan agar karunia itu hilang dari orang itu. Dengan kata lain, orang yang iri hati tidak ingin kemajuan orang lain terhenti, melainkan sekedar berupaya menyamai orang lain.
 Tanda-tanda Dengki
Â
Menurut riwayat dari Imam Shadiq, dinyatakan bahwa Luqman berkata kepada putranya, "Manusia yang dengki mempunyai tiga tanda.
Â
- Memfitnah seseorang di belakangnya.
- Bila di depannya memujinya, dan
- Merasa puas sendiri.
Â
Kutukan dan Larangan terhadap Dengki
Â
Ayat-ayat yang mengutuk dan melarang Dengki banyak jumlahnya, misalnya:
Â
- "Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendir." (QS. Al-Baqarah 2: 109).
- "Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantar4an karunia yang Allah telah berikan kepadannya? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar." (QS. An Nisa 4: 54).
- "jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya, mereka bersedihhati, tetapijika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan mudarat kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." (QS. Ali Imran 3: 120).
- "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kammu lebih banyak daripada sebagian yang lain." (QS. An Nisa' 4 : 32).
 Penawar Penyakit Dengki
Â
- Camkan bahwa individu, masyarakat, dam masa depan kita di akhirat terancam olehnya.
- Carilah penawar praktisnya, dan hilangkan dari hati dengan kedisiplinan.
- Kita harus berpikir sejenak, apakah dengan dengki kita dapat memperoleh karunia orang lain yang kita dengki? Padahal faktanya adalah bahwa karunia apa saja yang telah Allah putuskan, tidak akan salah kirim. Karena itu, Dia berfirman, "Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya." (QS. Ar Ra'd 13 : 8). "Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu." (QS. Al a'raf 7 : 34).
Wara' dan Taqwa
Wara' dan taqwa adalah dua sifat baik yang utama yang  kita lihat pada banyak ayat dan hadis.
Taqwa adalah keadaan hati manusia yasng suci yang mengendalikan perbuatan manusia dan menciptakan harmoni antara kekuatan-kekuatan internal dan perbuatan eksternal manusia. Ia menghubungkan manusia dengan Allah dan mengangkat tirai-tirai antara dunia materi dan dunia spiritual.
Â
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah kamu sekali-kali mati melainkan dalam keadaan beragaman Islam." (QS. Ali Imran 3 : 102).
Â
 Perbedaan antara Taqwa dan Wara'
Â
Almarhum Allamah Majlisi berkata, "Yang dimaksud taqwa adalah menahan diri dari berbuat dosa, sedangkan makna Wara' adalah meninggalkan, bahkan, hal yang meragukan." Dilihat dari definisi ini, kedudukan wara' lebih tinggi daripada kedudukan taqwa. Dan boleh dibilang bahwa taqwa mempunyai beberapa derajat.
Â
Zuhud dan Zahid
Â
Zuhud (zuhd), pada dasarnya, bermakna keseganan atau keengganan, lawan dari kecenderungan. Untuk memahami makna sebenarnya dari zuhd, ada baiknya kita merujuk ke sumber-sumber Islam.
Â
Amirul Mukminin berkata, "Seluruh zuhud telah tercakup dalam dua ketentuan dalam Al-Qur'an. Allah Yang Mahakuasa berfirman, '(Kami jelaskan yang demikian itu) Supaya kamu jangan berduka cita terhadap  apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.[9]
Â
Amirul Mukminin Ali berkata, "Mereka (para zahid; orang-orang yang zuhud) adalah sekelompok orang dari dunia ini tapi mereka tidak hidup untuknya, sehingga mereka hidup di dunia menyerupai orang-orang yang bukan bagian darinya. Mereka bertindak menurut apa yang mereka pahami dan senantiasa berhati-hati. Mereka tidak duduk melainkan dengan orang-orang yang mencintai akhirat, kehidupan setelah mati. Mereka tahu bahwa orang-orang duniawi lebih mengkhawatirkan kematian raga, namun mereka mengerti bahwa kematian jiwa orang hidup lebih patutu dikhawatiri."
Derajat-derajat Zuhud
Â
Imam Ali bin Husain ditanya, "Apakah zuhud itu? Imam menjawab, "Zuhud ada sepuluh macam. Derajatnya yang paling rendah adalah ridha kepada Allah. Ingatlah, sesungguhnya zuhud telah didefinisikan dalam sebuah ayat Al-Qur'an : "Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu."
Kategori Zuhud :
Â
- Zahud yang wajib: meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.
- Zuhud yang aman: menjauhkan diri dari segala hal yang meragukan.
- Zuhud yang sangat baik, yang dibagi menjadi 2 macam:
- Menahan diri dari menghasratkan lebih dari yang dibutuhkan meskipun dibolehkan, hanya mengambil sesuai dengan kebutuhan.
- Meninggalkan segala hal yang disukai oleh hati manusia kendati itu penting sekali, yakni dia membatasi kebutuhan-kebutuhan duniawinya dengan ukuran minimal.
- Zuhde marefat (zuhud disertai ilmu yang dalam): meninggalkan segala sesuatu kecuali Allah dan memutuskan dirinya bahkan dari kehidupannya.
- Zuhde khaiifin ((zuhud disertai rasa takut): ini zuhuud yang di dalamnya orang tidak menginginkan apa pun selain kedekatan dengan Allah dan keridhaan-Nya, tidak menghasratkan apa pun selain kedekatan kepada Allah, tidak pula berpikir tentang azab di neraka dan mencari perlindungan darinya. Dia juga tidak menginginkan surga sehingga berdoa untuk memperolehnya. Akan tetapi, dirinnya sepenuhnya bersiap untuk bertemu Allah Yang Mahakuasa.
Â
Nabi saw. bersabda, "Mengenakan pakaian kasar dan makan-makanan kering bukanlah zuhud. Zuhud ialah membatasi ambisi-ambisi.
Filosofi Zuhud
Â
Zuhud adalah kebebasan dari cengkeraman harta benda, kedudukan, dan segala sesuatu yang bersifat materi. Kebebasan ini sedemikian pentingnya, hingga tidak seorang pun, teutama para pemimpin, yang dapat mencapai tujuannya tanpanya.
Â
Siapakah Zahid
Â
Zahid atau orang yang zuhud adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk hidup mewah tetapi tidak berlaku demikian. Orang yang tidak mempunayi kemampuan semacam itu dan tidak hidup secara mewah tidak dapat dikategorikan sebagai zahid.
Â
Zahid juga adalah seseorang yang, ketika mendapatkan kekayaan semcam itu, membelanjakan semuanya di jalan Allah demi keridhaan-Nya, dan sama sekali tidak mencintai kekuasaan serta kedudukan.
Â
Beberapa pribadi agung yang menyebutkan tiga tanda yang berbeda pada seorang zahid:
Â
- Tidak terlampau bergembira atas apa saja yang dia peroleh dari hal-hal duniawi dan tidak dalam duka ketika hal-hal duniawi itu lepas dari tangannya. Sebgaimana yang dikatakan oleh Allah Yang Mahakuasa dalam Al-Qur'an: "Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu."
- Pujian dan kecaman adalah sama baginya.
- Hatinya senantiasa penuh dengan cinta kepada Allah, bukan sesuatu yang lain, sebab dua cinta tidak dapat menyatu dalam satu hati.
- Cinta kepada benda-benda duniawi tidak boleh merasuk dalam jiwa manusia. Manusia harus menapaki dunia bagai sebuah kapal mengarungi lautan. Selama kapal itu berada di atas air, maka ia kan berlabuh dengan selamat. Namun ia akan tenggelam bila air memasukinya. Demikian halnya, bila cinta dunia merasuk dalam jiwa ia menenggelamkan manusia dalam kebodohan dan pembangkangan dan menjauhkannya dari Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H