Dulu saya berharap dan mungkin jutaan nyawa dan jiwa orang Indonesia memiliki harapan yang sama tentang ini.
Pengertian Revolusi yang sederhana adalah perubahan secara mendadak dan cepat yang tidak sistematis dalam skala besar mengalahkan sistem yang telah ada. Revolusi dapat juga berakibat adanya perebutan kelas sosial dan status di masyarakat suatu negara. Kelas yang semula berada di bawah naik menggulingkan kelas atas yang memegang kekuasaan sehingga kemenangan ini digunakan untuk menindas kelas yang telah dikalahkan dan memaksakan sistem yang baru. Dalam hal ini ada hubungan teori perebutan kelas oleh Karl Marx dengan revolusi.
Revolusi dapat berlangsung secara damai tetapi ada juga yang brutal, yaitu dengan cara-cara penggulingan kekuasan oleh elite politik, kudeta militer atau perlawanan kaum proletar. Kemarin kita masih diingatkan oleh janji-janji elite politik pemenang pemilu bahwa kita akan menuju Revolusi Mental. Saya menilai gagasan revolusi damai ini adalah janji manis yang sangat bagus. Revolusi adalah perubahan secara cepat tapi sudah hampir satu tahun kok masih jalan di tempat.
Bukankah revolusi yang dinginkan berarti pula reformasi seluruh sistem yang ada? Bagus memang ide revolusi mental yaitu menata mental bangsa Indonesia yang telah mengakar ribuan tahun untuk diarahkan menuju mental tertentu yang diinginkan oleh penguasa. Tetapi dari awal ide kampanye ini diragukan berbagai kalangan elit. Akarnya adalah mau diarahkan mental yang mana bangsa ini, meniru mental bangsa yang mana yang seperti apa, bukankah dalam ilmu sosiologi telah dijelaskan bahwa setiap bangsa bahkan suku bangsa telah memiliki etos khas masing-masing dan juga telah dibakukan ke dalam sistem pranata masyarakat setempat. Setiap kelompok masyarakat telah memiliki nilai-nilai daan norma tersendiri yang berakibat memiliki pola yang khas. Apalagi bangsa ini terdiri dari berbagai suku dan imigran serta lintas agama yang beragam. Disini akhirnya ada keraguan akan revolusi mental yang dulu bergaung-gaung.
Mungkin ada kesimpang siuran antara revolusi mental dengan revolusi kebudayaan. Sesaat Mao tse Tung berkuasa dengan mesin politik dan militer. Dia melakukan perubahan besar-besaran bahkan brutal dengan membabat siapapun yang menghalangi termasuk kawan-kawan politiknya. Sehingga China merupakan negeri tertutup selama beberapa dekade walau ternyata sekarang China tetap memiliki budaya yang khas dalam bentuk pemerintahan dengan sistem demokrasi yang khas pula. Tindakan kejam Mao ini akhirnya dikenal sebagai revolusi kebudayaan.
Sedangkan mental, apa yang mau dirubah? Kalau mental yang universal itu menurut ukuran siapa? Saya setuju kalau prilaku kita yang sudah kebarat-baratan seperti para kapitalisme dikembalikan seperti jiwa bangsa Indonesia yang berjiwa kekeluargan dan kebersamaan.
Bukankah dulu janji-janji akan mau diadakan pelajaran budi pekerti masuk kurikulum pendidikan. Ide ini akan musnah kalaupun tetap dilaksanakan karena budi pekerti yang diajarkan adalah bentuk pemaksaan terhadap prilaku anak-anak kita untuk menjadi peniru bukan berasal dari dirinya yang sejati. Budi pekerti bermula dari lingkungan keluarga hingga masyarakat suatu daerah. Dapatkah menyamakan persepsi budi pekerti setiap individu yang berlainan kultur sedangkan dalam berkomunikasipun masih sering terdapat miss understanding.
Bapak-bapak yang sekarang berkuasa, ayo sekarang perbaiki mental kalian dulu seperti yang kalian maksudkan. Kami ingin menjadi bangsa Indonesia yang berkepribadian yang khas yang sejati tanpa meniru. Seperti nanti kita akan masuk Pilkada serentak, tolong perbaiki mental pendukung kalian yang kampanye masih sering ugal-ugalan bermotor ria dengan knalpot meraung-raung, ngebut di kampung kecil. Bagaimana kalian mau memimpin warga sedangkan kalian tidak becus menjinakkan pendukung kalian. Kalian boleh berjanji dengan berjuta-juta ludah membuncah tapi kami berharap satu tindakan kecil kalian akan memberikan kesejukan bagi kami dengan contoh kecil kampanye tadi.
Untukmu yang dulu mendengungkan Revolusi Mental, tak usah muluk-muluk lagi, berikan gagasan atau sosialisasi tentang mental yang dapat mengurangi dampak kerugian negara. Contoh paling kecil, sosialisasikan tentang ruginya jam karet yang kerap dilakukan oleh para pejabat yaitu datang dalam suatu acara selalu terlambat alias kleyah-kleyeh tanpa penyesalan padahal kelas bawah telah menunggu berjam-jam.
Kita ingin bangsa yang tangguh bukan bangsa yang cengar-cengir alias cengengesan yang kadang ditunjukkan oleh para elite politik dalam menyikapi permasalahan. Ingat juga cita-cita suci Reformasi yaitu hapus KKN=Kolusi, Kawanisme Korupsi dan Nepotisme.
Mengapa cari pekerjaan susah ya elah akhirnya KKN juga hampir di semua departemen bahkan sampai pekerjaan swasta hinga bukan swasta bonafide. Begitu bobroknya hingga melahirkan generasi spekulatif sebagai contoh si A menginginkan menjadi seorang pegawai dan dia lulus tapi dengan menyuap meskipun sebetulnya kelulusan itu adalah murni jerih payahnya. Adapula generasi fatal yaitu si B ingin menjadi seorang pegawai tapi tidak memiliki kemapuan yang memadai lantas menyuap sehingga berakibat hilangnya SDM yang qualified untuk menduduki job description dan job performance. Sampai hari ini tidak ada pembuktian ataupun tindakan terhadap pelaku-pelaku yang sistemik.
Saya ingin sebuah kejujuran, saya hanyalah komponen bangsa yang ingin mendukung terselenggaranya negara ini sebagai negara kesejahteraan. Demi bangsa dan negara serta pemerintahan yang berdaulat.
Maju terus Indonesiaku, selamat berjuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H