5 Oktober adalah hari yang bersejarah bukan hanya untuk TNI tetapi juga adalah hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, sejarah mencatat kelahiran BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Sejak BKR berdiri pada 5 Oktober 1945, maka sejak itulah perjuangan bangsa Indonesia mulai eksis di dunia internasional. Dukungan dan simpati dari negara-negara senasib dan seperjuangan atas penjajahan bangsa Eropa (Amerika termasuk ras Eropa) mengalirderas. Dan puncaknya kedaulatan republik Indonesia diakui oleh internasional secara dejure dan defacto pada tahun 1949 setelah melalui perundingan yang alot dengan pihak Belanda beserta sekutunya. Para Diplomat dan para cendekia yang berjiwa nasionalis berjuang keras mempertahankan kemerdekaan republik dan para tentara berjuang dengan cara mereka sendiri. Perang dengan mengangkat senjata meskipun pada saat itu banyak laskar yang bergabung dengan BKR menggunakan senjata unconvensional, salah satunya adalah bambu runcing. Tanpa mengecilkan perjuangan politikus masa itu, adalah sangat tidak berlebihan jika kita juga salut dan respek terhadap perjuangan tentara masa itu.
5 Oktober adalah hari yang semestinya merupakan hari peringatan seluruh rakyat indonesia akan sejarah perjuangannya. Saat itulah kemanunggalan TNI dengan rakyat melalui perjuangan semesta benar-benar terwujud. Tanpa digaji, nyawapun dipertaruhkan. Banyak sudah prajurit yang gugur, beberapa menjadi terkenal dan banyak yang hanya dikenal melalui cerita yang lebih mirip legenda semacam kopral Semi yang sedikit dikenal oleh prajurit Angkatan Udara yang berdinas di Surakarta. Dan masih banyak lagi yang tidak pernah dikenal apalagi ditulis dalam tinta emas sejarah perjuangan bangsa. Perjuangan demi perjuangan dilalui oleh BKR yang terdiri dari laskar-laskar yang akhirnya di reorganisasi menjadi Tentara Indonesia atas tekanan Belanda yang hanya mengakui tentara profesional Indonesia sebagai persyaratan penyerahan kedaulatan. Padahal ini juga siasat Belanda dan sekutunya untuk memecah belah kekuatan unsur-unsur pertahanan negara. Di tengah-tengah desakan negara-negara pemenang perang Dunia II kecuali China dan Uni Sovyet serta ketakutan pemerintah Indonesia akan ketidakmampuannya menanggung biaya operasional tentara yang terlalu mahal, maka keputusan diambil yaitu memangkas jumlah personel BKR, ironisnya yang banyak dirumahkan adalah para pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar pejuang yang heroik. Sementara bekas-bekas KNIL yang nyata-nyata adalah antek pemerintah kolonial malah dijadikan tentara dengan pangkat-pangkat yang cukup untuk decicion maker. Penentangan tak dapat dihindari, secara psikologis bagaimana mungkin seandainya seorang bekas KNIL yang telah membantai anggota keluarga salah satu pejuang BKR kemudian diangkat menjadi komandan pleton atau atasan bagi yang bersangkutan. Dampaknya adalah banyak anggota BKR yang memilih untuk keluar, sebagian bergabung dengan laskar yang tidak puas dan melakukan pemberontakan dengan dalih bermacam-macam. Akhirnya stigma pemberontakpun melekat pada   mereka yang telah mewarnai pejuangan bangsa.
Tentara, banyak mewarnai liku-liku dan dinamika bangsa ini dalam menapaki kelangsungan hidupnya. Mengapa? Sejarah membuktikan bahwa dalam perjalanan bangsa ini, kekuatan tentara selalu diperebutkan oleh kepentingan-kepentingan pihak luar dan berusaha menyeret tentara ke dalam politik praktis. Sepanjang berdirinya NKRI keterlibatan tentara dalam politik nyaris tidak dapat dihindari apalagi semasa demokrasi parlementer. Penulis sendiri mengasumsikan bahwa semua itu adalah ekses dari dinamika politik saat itu. Seperti pengeboman wilayah sekitar istana presiden oleh pesawat yang dikemudikan Letnan Udara Maukar,  peristiwa Letkol Kemal Idris dan kolonel Nasution mengarahkan meriam ke Istana Presiden dan masih banyak yang lain. Menjawab semua itu karena kegaulauan tentara dalam menentukan eksistensinya. Idealisme seorang tentara mungkin berbeda dengan idealisme seorang warga sipil dalam membangun negara. Bagaimanapun juga mereka adalah anak bangsa yang juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Peristiwa-peristiwa tersebut ternyata hanyalah tuntutan atau sebentuk ungkapan untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Sebagai warga negara, kita patut bangga pada tentara. Masih ingat dalam ingatan kita dengan dijiwai semangat reformasi. Mereka legowo meninggalkan dwi fungsinya, mengembalikan polisi ke dalam ranah sipil, bahkan yang mengejutkan adalah meninggalkan fraksi TNI dalam parlemen yang kala itu menurut undang-undang masih beberapa tahun lagi di parlemen. Kami bangga padamu TNI, Jayalah di darat, Laut dan di Udara. Dirgahayu TNI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H