“Bisnis lagi, bisnis lagi untuk nambah kocek?!.”
Hmm, saya jadi terhenyak saat membaca artikel sebuah majalah ulasan seorang pakar bisnis ternama yang mengatakan bahwa di Indonesia kemampuan dan semangat wirausahanya sangat kecil. Sangat kecil kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga . Benar nggak ya?
Woow, ada benarnya juga kalau dilihat secara global total dari prosentase penduduk NKRI.. , eitt s ,!tapi sebentar dulu. Mari kita sangkal ramai-ramai ya. Si pakar tadi melihat dari sisi lingkungan bisnis-bisnis yang legal atawa paling tidak memiliki perijinan resmi dari pemerintah, semisal punya badan usaha barang dan jasa yang terdaftar. Ya jelas benar! Kalau dia berkesimpulan seperti itu. Akan tetapi kalau mengkalkulasi keseluruhan jiwa enterpreneur orang Indonesia, maka kita harus survey dan riset ilmiah dulu om…!! Jangan main vonis aja yaa! Coba kita tengok bagaimana bisnis ilegal menjamur di indonesia, bukan artinya mereka menjual barang kandungan haram lhoo..lantas berurusan dengan bu polisi, bukan, bukaan itu!
Mari kita perhatikan berapa banyak pelaku usaha halal di lingkungan terdekat kita yang berjualan laris manis hingga menghasilkan omset yang menggiurkan? Pernahkah terpikir oleh anda? oleh kita? Apakah semua pelaku usaha itu memiliki perijinan dan kewajiban membayar pajak penghasilan? Katakanlah si Aminah berjualan kacang rebus di rumahnya yang dekat dengan lingkungan perumahan, perkantoran dan sekolah. Apakah mungkin ada petugas khusus pemerintah entah apa namanya yang rutin memungut pajak penghasilan usahanya? Bandingkan dengan pedagang kecil di kios pasar yang rajin membayar uang retribusi. Oke ini satu kasus.
Kasus kedua yang memang hendak saya bagi untuk pembaca adalah banyak pelaku usaha yang samar atau abu-abu. Ini permasalahannya, kalau seperti Aminah memang pekerjaan utamanya adalah pedagang. Sementara itu, dalam pada itu si Giyem dan si Badu memilki pekerjaan tetap sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu instansi pemerintah. Status sosial di masyarakat adalah seorang PNS yang terhormat tetapi ada status lain yaitu bisniswandan bisniswati. SI Giyem di kantornya tidak segan-segan untuk menawarkan sebungkus nasi untuk koleganya, sebaliknya si Badu juga berprofesi multi bisniswan mulai dari barang loak, makelar tanah dan apa saja selagi masih ada nilai jual. Ini adalah salah satu bagian terkecil potret PNS kita. Alasan klise mereka adalah untuk menambah dapur mengepul. Saya kira itu hanyalah pembenaran, karena upah yang telah diterima itu adalah sebanding lurus dengan pengeluaran dalam kebutuhan rumah tangga (mikro), kalau berdalih gaji tidak cukup! Itu karena keinginan telah mendominasi sehingga dapat menjadi kebutuhan. Kira-kira seperti ini; seorang PNS yang karena sebelumnya berasal dari keluarga mampu maka memiliki tingkat kebutuhan sehari-hari diatas rata-kebutuhan rekannya yang lain. Katakanlah dalam kebutuhan makan sehari-hari (disebabkan karena selera). Masih ditambah kebutuhan sandang yang lumayan tinggi. Saya yakin bahwa tiap instansi memiliki kebijakan tersendiri dalam mensejahterahkan anggotanya.
Tapi apapun itu, harus ada semacam peraturan tertulis yang mengikat agar para PNS yang berbisnis segera insyaf dan menyudahi perbuatan yang kurang terpuji tersebut. Disini peranan “menteri aparatur negara “sangat dibutuhkan. Sangat disayangkan, pengalaman penulis waktu mengurus KTP di salah satu kantor kelurahan, dengan enaknya sang petugas menyambi melihat Facebook karena ada penawaran barang.
Kelirukah si pakar tadi? Bisa jadi begitu, inilah tantangan indonesia ke depan terutama untuk pemerintahan yang baru nanti. Bahwa kami berharap, tolonglah aparatur-aparatur negara dikembalikan fungsinya seperti semula, kalau mau berbisnis! Apa tidak sebaiknya diberikan opsi mau ingin tetap menjadi pegawai atau segera menjadi pengusaha. Sungguh disesalkan ketika negara membutuhkan para PNS yang terampil dengan tingkat seleksi yang cukup ketat, ternyata hanya menjadikan pekerjaan PNS sebagai status sosial bahkan menjadi batu loncatan menjadi @pengusaha@.
Penulis sangat terharu ketika teman yang berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi negeri dan memiliki seorang isteri pengusaha resto yang sukses sama sekali tidak pernah mempromosikan usahanya di lingkungan kampus apalagi sampai kolusi untuk menambah omset resto istrinya.
Kasus seperti Aminah yang jarang sekali atau bahkan tidak pernah menyetor pajak penghasilan usaha ke pemerintah juga perlu dicermati, masih banyak usaha kecil dan menengah yang tidak berpartisipasi dalam pembangunan negara berupa pajak. Apalagi seperti si Giyem dan Badu yang jelas-jelas menelantarkan pekerjaan yang telah diamanatkan oleh negara. Menambah penghasilan ekonomi adalah hak setiap orang tetapi melalaikan kewajiban adalah kehinaan. Anda bisa bayangkan, kalau seandainya PNS yang berbisnis tidak ditindak tegas maka teman-teman yang lain akan segera tergoda berbisnis menumpang di kantor dan mekanisme kerja tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua dinilai dengan untung rugi yang mengakibatkan pelayanan public tidak maksimal.
Masih ada satu ganjalan lagi yaitu profesi seorang guru yang telah mendapatkan gaji dan tunjangan lebih baik dari rejim sebelumnya, masih juga berbisnis . Ini sangat fatal , lebih-lebih dilakukan oleh guru yang juga PNS. Bagaimana dapat mengajar dan mendidik murid jika mengajarnya bukan dengan hati lagi tapi karena rutinitas? Kalau sampai pailit apakah tidak berpengaruh secara sosio psikologis terhdap anak didik?
Tulisan saya ini karena kegundahan melihat banyaknya paham-paham neo kapitalisme semakin menancapkan kuku kepada siapa saja dengan kedok bisnis dan bisnis semata. Sehingga kita lupa dengan peranan kita masing-masing. Untuk para PNS yang sampai saat ini masih dapat mengabdikan diri kepada negara dengan baik tanpa terkontaminasi sesuatu dengan dalih apapun saya sangat menghargai. Mungkin bukan materi yang jadi ukuran tetapi penghargaan dari banyak orang adalah lebih mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H