Mohon tunggu...
Maritim Patigeni
Maritim Patigeni Mohon Tunggu... -

Sejak lahir merupakan warga negara Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berkaca dari Alasan Taufik Basari Masuk Partai

28 Maret 2014   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_301007" align="alignleft" width="300" caption="Taufik Basari"][/caption]

Dalam tulisan saya yang terdahulu, “Harapan di Balik Caleg Pilihan Tempo,” saya bicarakan laporan khusus majalah tersebut tentang caleg pilihan, “Bukan Caleg dalam Karung”. Intensi saya satu: mempromosikan sikap untuk memilih secara rasional dan berdasarkan akal sehat. Yang menjadi kepentingan saya bukan mengajak pembaca untuk memilih si Ini atau si Itu, tapi untuk menolak golput.

Kenapa menolak golput? Karena bagaimanapun, kita kasih suara atau tidak 9 April nanti, caleg-caleg yang tahun ini bertarung demi kursi Senayan akan menentukan kehidupan berbangsa kita ke depan. Dengan memilih partai atau caleg berdasarkan pertimbangan rasional, setidaknya kita lebih punya peluang untuk berkontribusi demi masa depan bangsa ketimbang acuh dan “memilih untuk tidak memilih” alias golput. Selain itu, memilih dengan cerdas juga lebih bertanggung jawab ketimbang “lepas tangan” via golput.

Nah, salah satu caleg pilihan Tempo itu adalah Taufik Basari, advokat yang juga dikenal sebagai aktivis antikorupsi dan pembela HAM. Dalam pemilu kali ini ia bergabung dengan Partai NasDem. Bukan hanya menjadi caleg, tetapi juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai NasDem bidang Hukum dan HAM. Banyak yang bertanya kepadanya, mengapa seorang aktivis seperti dia mau-maunya masuk parpol, padahal parpol sekarang cenderung dipersepsi korup dan “sarangnya uang siluman”?

Melalui akunnya di Twitter, Tobas—sapaan akrab Taufik Basari—memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada beberapa poin menarik dari jawabannya.

Pertama, terkait kecenderungan kebanyakan dari kita yang sinis dan apatis terhadap politik praktis, terutama terhadap parpol, Tobas pun pernah merasakan persepsi yang sama.

Awalnya dia “... juga tidak begitu suka sama partai dan punya pandangan negatif ke partai,” namun setelah mendiskusikan peran partai dalam sistem ketatanegaraan kita dengan kawan dekatnya, Tobas menyimpulkan bahwa “... konsep ketatanegaraan kita memang menempatkan partai sebagai faktor yang vital untuk menentukan arah bangsa ini. Kalau kita biarkan partai yang bernilai strategis ini diisi oleh orang-orang yang punya kepentingan sesaat, maka arah negara ini juga jadi begitu. Karena itu dia (kawan diskusi Tobas) mengajak saya untuk ‘menyelamatkan’ partai-partai yang ada. Daripada terus berteriak dari luar, kita coba buat perubahan dari dalam.”

Kedua, ketimbang memelihara persepsi negatif kita ke partai dengan acuh tak acuh dan tak mau tahu dengan kondisi politik negeri, Tobas lebih memilih untuk melakukan perubahan dari dalam sistem.

“NasDem partai baru, saya orang baru,” ujar Tobas, “Kalau saya masuk partai lama saya sulit bergerak. Di NasDem saya bisa bergerak [dan] beri warna ke partai, apalagi dengan posisi strategis seperti ini (Ketua DPP Bidang Hukum dan HAM). NasDem partai baru; ibarat bayi tidak ada dosanya. Tentu lebih mudah bagi kita menanamkan nilai-nilai baik ke dalam partai [baru]. Bayi menuju dewasa akan tergantung siapa yang merawatnya. Karena posisi saya strategis sebagai Ketua DPP, maka saya termasuk perawatnya.”

Tobas melanjutkan, “Dan benar, di dalam NasDem saya bisa masukkan nilai-nilai antikorupsi, HAM, keadilan gender, seperti yang selama ini saya perjuangkan di luar. Saya bisa bawa perjuangan advokasi bersama gerakan masyarakat sipil menjadi kebijakan-kebijakan partai.”

Ketiga, belajar dari Tobas, memilih partai politik dan wakil kita dalam pemilu seharusnya didasari pertimbangan yang matang dan rasional. Sebelum memutuskan untuk bergabung dengan partai, Tobas “... berdiskusi dengan kawan [yang adalah seorang] pengamat politik... juga dengan beberapa teman LSM. Kenapa ribet sekali mesti diskusi sana-sini? Karena bagi saya [masuk partai] ini [sama dengan] hijrah dari luar ke dalam [sistem, sehingga] banyak hal yang harus dipertimbangkan.”

Keempat, bahwa mempraktikkan demokrasi secara dewasa seharusnya dengan sikap yang ideologis. Minimal, kita tahu apa visi ke depan yang ingin kita capai, dan tidak berdistorsi oleh iming-iming kepentingan sesaat. Ambil contoh pernyataan Tobas, “Meskipun ada juga yang belum berhasil saya perjuangkan di dalam [partai], tapi mayoritas nilai-nilai HAM, antikorupsi, dan gender terakomodasi. Niat saya sejak awal memang ingin terus memperjuangkan nilai-nilai itu dalam kendaraan baru, kendaraan partai.”

Setidaknya dari penggalan-penggalan penjelasan Taufik Basari di atas kita dapat memetik empat hal: (1) bahwa sikap sinis dan apatis terhadap politik praktis tidaklah mengubah apa-apa; justru jika kita peduli pada perbaikan kondisi negeri, kita mesti berani untuk turut ambil bagian. Bukan hanya sebagai caleg, sebagai pemilih pun kita punya tanggung jawab terhadap masa depan negeri. Caranya? Dengan menunaikan hak pilih kita tanggal 9 April nanti. (2) Jika kita mengharapkan perubahan, maka kita harus turut mengupayakannya, meski dengan “sekadar” memberikan suara di TPS-TPS. (3) Apa pun pilihan kita, hendaknya didasari pertimbangan rasional. Bukan karena “termakan iklan” atau bahkan terlena “politik uang”. Dan (4) tak hanya wakil rakyat dan calon wakil rakyat, kita sebagai pemilih pun harus kritis dan ideologis.

Saya pribadi, meski dalam tulisan ini terinspirasi oleh Taufik Basari, namun tidak peduli apakah pembaca yang budiman akan memilih dia, atau partainya, atau yang lain. Apa pun pilihan Anda, yang penting pertimbangkan dengan akal sehat. Dan jangan buru-buru memutuskan golput hanya karena telah dikecewakan oleh sistem yang sudah-sudah. Terima kasih.

Pranala:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun