Saya tergelitik dengan pernyataan salah satu kawan terkait jatuhnya Lion Air JT 610. " Murah kok njaluk slamet, " Cibirnya. Murah kok minta selamat.
Saya yakin ucapannya dipenuhi rasa sinisme terhadap maskapai bersangkutan tanpa pengetahuan yang cukup memadai tentang Low Cost Carrier, dalam hal ini pihak Lion Air, sehingga berucap seenaknya. Maklum, kawan ini pekerjaannya Cuma asisten rumah tangga di negeri orang.
Setahun sekali dia menggunakan jasa penerbangan asing macam Cathay Pacific. Kelas ekonomi tentunya. Mungkin juga beberapa kali menggunakan Maskapai nasional macam Garuda.Â
Ketika saya jelaskan tentang Low Cost Carrier, dengan enteng dia berkilah, " Maklum, saya kan belum pernah naik Lion Air. "Â
Nah, hanya sebatas itu pembelaannya.Â
Pengalaman saya sendiri pertama kali menggunakan jasa Low Cost Carrier dengan Maskapai Awair. Salah satu Maskapai nasional yang selanjutnya diakuisisi Air Asia Indonesia.Â
Pertama kali saya merasa aneh dengan model penerbangan kayak gini.
Pertama-tama soal sistem pemesanan tiket. Waktu itu saya pesan lewat website, lalu dikirim Travel itinirary lewat email. Selanjutnya e-mail tersebut saya print, lalu dipakai untuk menukar boarding pass.
Untuk nomor bangku, tidak pula ditentukan pada waktu pemesanan. Posisi duduk kita ya tergantung kedatangan kita di bandara.Â
Kalau kita datang pada rombongan awal, maka kartu boarding ada lingkaran hijau kecil disudut boarding pass. Selanjutnya serombongan penumpang kelompok terbang pertama masuk duluan.Â
Urutan kelompok terbang kedua, dapat kode lingkaran kuning di pojok boarding pass. Demikian untuk kelompok ketiga, dapat tanda merah. Yang terakhir inilah yang harus terima nasib dapat seat seadanya.Â
Dari sini maskapai dapat menghemat ongkos cetak tiket. Tahu sendiri kan, waktu itu tiket pesawat dicetak setebal buku notes.
Efisiensi lainnya adalah soal ground time. Kalau Maskapai reguler biasanya membutuhkan Ground time satu jam untuk membersihkan pesawat dan lain-lain, maka Low Cost Carrier cukup tiga puluh menit, untuk selanjutnya terbang lagi. Bagi Low Cost Carrier, terbang sesering mungkin adalah cara mendulang uang.Â
Begitu juga soal Snack atau makanan kecil, pada Low Costs Carrier ditiadakan.
Cara menghemat selanjutnya adalah, bahwa awak kabin bertanggung jawab pada kebersihan kabin pesawat. Sehingga Maskapai terbebas dari biaya cleaning service.
Dahulu, Air Asia (Pelopor Low Cost Carrier di Asia), bahkan hanya menggunakan satu jenis pesawat, yaitu Boeing 737-300.Â
Kenapa?
Untuk menghemat upah teknisi. Karena teknisi pesawat biasanya hanya ahli pada satu jenis pesawat. Dengan begitu pengeluaran untuk membayar teknisi bisa ditekan seminim mungkin.
Cara yang nggak kalah cerdik adalah menyewa landasan pacu yang lebih pendek, sehingga biaya sewa landasan pacu juga tidak sebesar penerbangan reguler.Â
Bagaimana soal keamanan?
Pemerintah tetap menetapkan aturan keselamatan yang berlaku sesuai dengan standart keamanan penerbangan dunia. Untuk masalah satu ini tanpa kompromi. Safety comes first.Â
Itulah penjelasan kenapa Low Cost Carrier bisa murah.
Sekali lagi, soal keamanan, tiap pesawat yang terbang, tentu sudah melewati segala standart yang sudah ditetapkan oleh para stake holder. Sesuai SOP yang ditetapkan pemerintah dan badan keselamatan terkait. Tidak ada hubungannya dengan murah atau mahalnya harga tiket.
Apalagi menyangkut Lion Air Flight 610. Itu pesawat yang serba canggih, dan mudah untuk diterbangkan. Dengan menggunakan teknologi Flight By wire, segalanya serba otomatis. Serba digital.Â
Lantas kenapa bisa jatuh?
Sementara kita hanya bisa menunggu hasil penyelidikan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Tak bagus asal menghakimi tanpa tahu fakta yang sebenarnya terjadi.Â
Tak lupa, saya haturkan rasa duka yang sedalam-dalamnya pada keluarga korban kecelakaan Lion Air JT 610.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H