“Dampak merusak luar biasa dari miras itu, karena menjadi biang tindakan kriminal mulai dari pembunuhan, perkosaan, hingga pencurian. Banyak remaja kita yang menjadi korban tindakan kriminal pembunuhan di mana pelakunya dibawah pengaruh miras. Belum lagi yang meninggal karena ditabrak pemabuk,” ungkap perempuan yang juga Wakil Ketua Komite III DPD RI ini (baca: Ternyata 23 Persen Remaja Indonesia Pernah Konsumsi Miras)
Uni, ini bukan surat cinta untukmu. Aku tak mau juga mengirimkan surat cinta untukmu. Sebagai lawan jenis yang sudah menikah, bisa berabe urusannya. Alasan utama, aku memang tidak punya rasa itu terhadapmu. Tetapi aku mengasihimu sebagai anak bangsa yang ingin bertukar pikiran, sebagai bentuk pertanggungjawaban karena aku percaya manusia membutuhkan akal sehat serta ilmiah dalam berpendapat.
Pendapatku tentu saja berbeda dengan pendapatmu. Dirimu sangat membenci peredaran minuman keras (miras) berikut konsumsinya, sedang aku sama sekali tidak keberatan masyarakat untuk meminum bir dan miras selama itu legal, selama ia mengerti konsekuensi dan bertanggungjawab. Karena itu hak dasar.
Uni, ini yang ingin aku luruskan. Hanya satu hal. Untuk satu hal ini aku mengenyampingkan beberapa hal yang aku nilai dari dirimu itu tidak tepat. Meskipun begitu, aku senang ada anak bangsa seperti dirimu yang memberi perhatian baik waktu, tenaga, pikiran bahkan uang untuk berkampanye melarang miras di muka bumi Indonesia. Aku menghormati keyakinanmu, itu saja.
Uni, kau pernah katakan bahwa “Miras Menyebabkan Tindakan Kriminal”. Kira-kira itu inti pesanmu. Kau juga pernah menyinggung bahwa penelitian di Lapas Anak di beberapa kota memperlihatkan relasi miras dan kejahatan. Kau ingin memberi kesan bahwa kalau seseorang mengkonsumsi miras maka dia akan berbuat jahat. Kau juga mengatakan dalam suatu diskusi di kompleks parlemen Senayan yang terhormat bahwa bir itu sama dengan miras. For real ?? Dunia juga tahu, bir tidak sama dengan miras. Bahkan tidak mirip. Coba Uni periksa lewat pendekatan asal usul Bahasa (etimologi). Sekali lagi, bir tidak sama dengan miras.
Baik, mari kita ke persoalan utama. Pendapat Uni terkait miras menyebabkan kejahatan. Jujur saya capek mencari literatur yang dapat mendukung pendapat Uni. Akhirnya, saya menemukan dokumen penting di dalam suatu skripsi mahasiswa fakultas hukum yang mengulas tentang aspek pidana dalam kekerasan terhadap perempuan. Di sana terdapat referensi valid secara keilmuan dan di pakai oleh peneliti hukum pidana manapun sebagai basis teori untuk memahami kekerasan dan korban kekerasan. Artinya, ada tinjauan kriminologi dan viktimologi.
Apa penyebab kejahatan ?
Uni, ini yang aku ingin bagikan kepadamu, termasuk juga barisan peneliti di belakangmu yang mungkin lupa basis teorinya sendiri. faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan itu sendiri. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi adalah :
1. Faktor internal (dari dalam diri pelaku), yaitu psikologis, dan;
2. Faktor eksternal (dari luar diri pelaku), yaitu pengaruh lingkungan, keluarga, bacaan, tontonan (film) dan kondisi ekonomi.
Sedangkan secara teori, untuk catatan, teori ini belum ada sanggahan, bahwa ada 3 teori yang bisa menjelaskan mengapa prilaku kriminal ini ada, yaitu :
1. Teori Kepribadian (personality theory) yang digagas oleh Hans Eysenck. Inti dari teori ini adalah bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang sangat bergantung dari kemampuan dan stabilitas saraf manusia menerima tekanan (stimulan) dari luar dirinya. Miras tidak termasuk dalam stimulan yang dimaksud. Stimulan yang dimaksud adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
2. Teori Pengaruh Keluarga (family influence) yang digagas oleh Farrington . Farrington berpendapat bahwa anak-anak dari keluarga kelas menengah ke bawah (kelas pekerja) terlebih tidak harmonis (broken home) cenderung memiliki peluang dimasa dewasanya menjadi penjahat (criminal). Pendapatnya berdasarkan penelitian terhadap 411 anak-anak sekolah dasar di Inggris pada tahun 1953. Teori ini erat kaitannya juga dengan faktor ekonomi suatu keluarga dengan aumsi awal bahwa kejahatan cenderung dilakukan oleh kelas menengah ke bawah yang mendapat “tekanan” terhadap pemenuhan kebutuhan hidup.
3. Teori Pembelajaran Sosial (social learning theory) yang merupakan pengembangan dari teori “asosiasi (differential association) diperkenalkan oleh E.H. Sutherland . Peter B. Aisworth berpendapat mengenai teori Sutherland bahwa teori asosiasi menerangkan timbulnya prilaku kriminal (criminal behavior) atau berprilaku jahat (behave in criminal) karena adanya interaksi sosial yang intensif dan mendalam antara individu-individu di masyarakat, terlebih adanya individu yang menjadi anggota group /kelompok tertentu.
Intinya, miras tidak dapat dipandang atau disimpulkan secara sederhana menjadi penyebab tindakan kriminal. Dalam konteks tabrakan yang diakibatkan pengemudi mabuk, atau pembunuh yang di mulutnya beraroma alkohol, kesimpulan miras sebagai penyebab juga tidaklah tepat. Kita perlu menggali mengapa seseorang mengkonsumsi miras. Latar belakang ini penting untuk di gali karena kita mampu melihat persoalan sebenarnya.
Lagipula Uni, seseorang yang kehilangan kesadaran karena meminum alkohol tidak dapat berbuat tindakan kriminal. Mengapa ? Karena kehilangan kesadaran artinya pingsan. Tetapi saya sepakat Uni, seseorang yang setengah hilang kesadaran merupakan pihak yang paling berbahaya. Oleh sebab itu Uni, mari kita berfokus pada hal itu. Bagaimana mencegah orang minum dengan tidak bertanggung jawab. Kata kuncinya adalah tanggung jawab, Uni. Jika Uni berpikir dengan pelarangan maka masalah selesai, masalah tidak pernah selesai dengan larangan Uni.
Sekian kuliah singkat dari saya yang belajar mengasihi sesama anak bangsa dan mahluk Tuhan. Lain waktu, Uni boleh menguliahi saya juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H