Untuk unduh dokumennya silahkan lihat di sini http://www.dpr.go.id/doksileg/proses1/RJ1-20150626-022127-5317.pdf
Geram, marah mungkin lebih tepat menggambarkan bagaimana kedua pembicara mengkritisi NA RUU Larangan Minol. Logika NA jika dibaca dengan serius memang banyak menjadi pertanyaan banyak kalangan akademisi. Bukan soal pengertian, tetapi lebih kepada substansi, analisa dan relasi atas kesimpulan. Ambil contoh soal analisa beban negara. Tidak digambarkan secara gamblang apa akibat jika produksi, distribusi dan konsumsi dikenakan pidana. Bisa saja penjara penuh. Atau analisa terkait empiris yang menyatakan bahwa persatuan hotel tidak terpengaruh dalam konteks bisnis apabila penjualan dilarang. Pertanyaannya ? Seberapa besar dari anda yang menikmati minuman beralkohol di hotel ?? Jika ya, berarti anda berpenghasilan lebih dari Rp 15 juta/bulan.
Logika perlindungan terhadap warga negara dengan cara melarang produksi, distribusi, dan peredaran minol seolah-olah menjadi solusi atas kematian akibat oplosan. Di sisi lain, mengapa orang melakukan oplosan dan meminumnya tidak pernah di bahas di dalam NA. Tiba-tiba dalam kesimpulan NA, perlu adanya larangan minol.
Belum menangkap maksudnya ? Sederhananya begini, misalkan ada seks bebas di kalangan remaja dan itu tidak sehat bagi kesehatan reproduksi, lalu disarankan untuk mengeluarkan RUU Larangan seks bebas.
“Ini soal mindset yang salah. RUU ini merugikan tidak hanya kepada konsumen tetapi juga kelompok-kelompok minoritas lainnya. Toleransi kini tidak ada lagi,” ungkap Gadis.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Raymond, bahwa kita perlu merevolusi mental secara benar, salah satunya dengan tidak menjadi bangsa yang munafik. Kedewasaan berpikir dan menentukan pilihan merupakan kunci atas kendali diri.
“Lihat orang Jepang dan Korea. Budaya minum begitu kuat, namun produktivitas mereka juga tinggi. logika pelarangan tidka masuk akal. Masalahnya bukan di barang (fisik), tetapi di otak,” ungkapnya.
Peminum atau bukan peminum, ada baiknya kita berpikir sejauh mana negara masuk dalam ranah privat dan sedalam apa kesadaran kita untuk mengendalikannya. Ada baiknya juga memulai diskusi di lingkungan sendiri sebelum nantinya anda dipenjara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H