Mohon tunggu...
Jimmy Ginting
Jimmy Ginting Mohon Tunggu... profesional -

Tidak ada yang istimewa, hanya ingin berbagi dan mengambil pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Hanya untuk 21+ : Sebuah Cerita dari Kantin Sastra tentang Alkohol

17 Desember 2015   14:54 Diperbarui: 17 Desember 2015   15:13 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gadis Arivia dan Raymond Menot Dalam Diskusi "][/caption]

“Persoalan utama saya adalah ketika terjadi pemerkosaan terhadap hak-hak sipil di mana negara terlalu dalam mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Jangan-jangan nanti, urusan pacaran juga nanti akan diatur oleh negara. Negara kini ultra konservatif” – Rudolf Dethu

Kemarin (16/12/2015) saya berkesempatan menghadiri sebuah diskusi sederhana namun menyegarkan pemikiran. Awalnya sedikit ragu untuk datang, mengingat lokasi lumayan jauh di luar kota, tepatnya di Kantin Sastra, kampus FIB UI Depok. Tetap saja Depok itu hitungannya luar kota, kan Jabar ;).

Kembali ke persoalan. Diskusi yang digagas anak-anak muda ini kiranya patut dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap pengekangan negara atas hak-hak sipil warga negara juga bentuk perlawanan atas malfungsi akal pikir memandang minuman beralkohol serta pengaturannya. Dari judul diskusi saja sudah ingin “menyentil” kaum intelektual lainnya untuk berpikir secara jernih dan rasional. “Mempertanyakan Regulasi Minuman Beralkohol” demikian topik diskusi tersebut.

Sekedar latar belakang, diskusi yang dimaksud bermula dari kegelisahan mereka terhadap mulai dibahasnya Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Larangan Minol). Sebagaimana diketahui, RUU Larangan Minol ini diusulkan oleh PKS dan PPP dan menjadi RUU inisiatif DPR (catatan : dalam tulisan sebelumnya sudah pernah saya uraikan).

Saya mendukung kebebasan berpikir dan berpendapat secara dewasa. Senang sekali rasanya bisa mengadakan diskusi untuk mengkritisi RUU terkait alkohol ini terutama soal larangan,” demikian Nadya Karina Melati membuka obrolan sore itu.

Keterbukaan dan kedewasaan. Dua hal inilah yang menjadi penghantar diskusi yang menghadirkan Gadis Arivia, seorang dosen filsafat UI dan pendiri dari Jurnal Perempuan yang bergerak memperjuangkan HAM terutama perempuan. Dihadiri juga oleh Raymond Menot, dosen sekaligus peneliti antropologi UI yang telah mengabdikan dirinya untuk penelitian masyarakat khususnya adat.

Siapa di antara kalian yang meminum bir ?” tanya Gadis ke peserta. Beberapa orang mengangkat tangannya dengan berani dan tegas.

Berarti kalian harus siap-siap dipenjara karena dalam RUU Larangan Minol mengatur soal konsumsi”, ujar Gadis membuka diskusi.

Pesan Mereka Sama, Naskah Akademis Abal-Abal !

Dari beberapa sisi yang diulas oleh pembicara, ada kesamaan pesan yang tersiar di sana. Pesan yang mewakili sebuah integritas dan marwah akademisi. Jika kalian belum mengetahuinya, dalam sebuah pembahasan sebuah RUU, idealnya berbasis Naskah Akademis (NA). NA menjadi kerangka berpikir dan argumentasi logis suatu rencana aturan.

Untuk unduh dokumennya silahkan lihat di sini http://www.dpr.go.id/doksileg/proses1/RJ1-20150626-022127-5317.pdf

Geram, marah mungkin lebih tepat menggambarkan bagaimana kedua pembicara mengkritisi NA RUU Larangan Minol. Logika NA jika dibaca dengan serius memang banyak menjadi pertanyaan banyak kalangan akademisi. Bukan soal pengertian, tetapi lebih kepada substansi, analisa dan relasi atas kesimpulan. Ambil contoh soal analisa beban negara. Tidak digambarkan secara gamblang apa akibat jika produksi, distribusi dan konsumsi dikenakan pidana. Bisa saja penjara penuh. Atau analisa terkait empiris yang menyatakan bahwa persatuan hotel tidak terpengaruh dalam konteks bisnis apabila penjualan dilarang. Pertanyaannya ? Seberapa besar dari anda yang menikmati minuman beralkohol di hotel ?? Jika ya, berarti anda berpenghasilan lebih dari Rp 15 juta/bulan.

Logika perlindungan terhadap warga negara dengan cara melarang produksi, distribusi, dan peredaran minol seolah-olah menjadi solusi atas kematian akibat oplosan. Di sisi lain, mengapa orang melakukan oplosan dan meminumnya tidak pernah di bahas di dalam NA. Tiba-tiba dalam kesimpulan NA, perlu adanya larangan minol.

Belum menangkap maksudnya ? Sederhananya begini, misalkan ada seks bebas di kalangan remaja dan itu tidak sehat bagi kesehatan reproduksi, lalu disarankan untuk mengeluarkan RUU Larangan seks bebas.

Ini soal mindset yang salah. RUU ini merugikan tidak hanya kepada konsumen tetapi juga kelompok-kelompok minoritas lainnya. Toleransi kini tidak ada lagi,” ungkap Gadis.

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Raymond, bahwa kita perlu merevolusi mental secara benar, salah satunya dengan tidak menjadi bangsa yang munafik. Kedewasaan berpikir dan menentukan pilihan merupakan kunci atas kendali diri.

Lihat orang Jepang dan Korea. Budaya minum begitu kuat, namun produktivitas mereka juga tinggi. logika pelarangan tidka masuk akal. Masalahnya bukan di barang (fisik), tetapi di otak,” ungkapnya.

Peminum atau bukan peminum, ada baiknya kita berpikir sejauh mana negara masuk dalam ranah privat dan sedalam apa kesadaran kita untuk mengendalikannya. Ada baiknya juga memulai diskusi di lingkungan sendiri sebelum nantinya anda dipenjara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun