Mas Gie sangat ulet dan berbakat menjadi pengusaha hasil pertanian. Berkat pengaruh bapak mertua pula usaha kami tumbuh pesat dan tanpa dinyana makin banyak tangan yang terulur, tak jarang berebut, membantu kami. Dalam rumus bisnis, itu lumrah.Â
Dukungan banyak orang, dalam bentuk apapun, adalah juga keuntungan. Pengusaha harus mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Berbeda dengan pemimpin seperti bapak mertua, yang tak patut mencari untung sendiri. Keberuntungan seorang pemimpin adalah keuntungan semua rakyatnya.Â
Haji Agus Salim konon bahkan tinggal di rumah jelek yang bocor ketika hujan, dan berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah sewa lainnya. Seperti kata pepatah Belanda: leiden is lijden. Memimpin adalah menderita.
"Paham, kan?" bapak mertua seperti ingin mendengar persetujuanku, mungkin karena melihat keraguan dari bahasa tubuhku.
"Paham, Pak!" pungkasku.
Pertemuanku dengan bapak mertua tak lama lantaran kesibukan yang sudah menunggunya. Maka jawabanku mudah ditebak, karena aku tak mungkin menyangkal. Namun, aku kesah. Kenikmatan yang kurasakan akan segera sirna.Â
Betapa nikmat hidup apa adanya yang sedang kami jalani. Namun, esok semua akan berubah. Mas Gie tak mungkin kalah dalam pemilihan itu, seperti juga aku yang tak mungkin berharap orang yang kusayangi tidak terpilih. Maka apapun akan kulakukan demi kemenangan.Â
Bukankah kekalahan Mas Gie sama saja menampar wajah bapak mertua di depan orang banyak? bapak mertua pasti sudah menghitung matang-matang, seberapa besar Mas Gie akan meraup suara untuk menjadi penguasa di kota sesuai niatnya.
Seiring waktu, aku membayangkan Mas Gie akan sesibuk bapak mertua. Dikawal ke mana-mana. Sesekali terpaksa berpura-pura demi menenangkan kegelisahan orang banyak. Dan aku akan menjadi orang yang paling tidak menikmatinya.
Setelah pertemuanku yang singkat dengan bapak mertua, aku duduk tertegun di kamar. Tiba-tiba ibu mertua mengetuk pintu kamar dan menyampaikan pesan Mas Gie. Tanpa membuang waktu, aku menghambur ke tempat di mana Mas Gie sedang menunggu.
Dari kejauhan, saat senja masih berselimut mendung tebal yang tak kunjung tumpah itu, aku melihat Mas Gie duduk di bawah beringin yang tumbuh sejak lama di pekarangan. Aku pun akan segera duduk di sana.