Dua tahun lalu, saat masih menjadi mahasiswa tingkat 3 di salah satu Perguruan Tinggi Negri di Yogyakarta, saya dan 19 teman lainnya beruntung dikirimkan oleh Universitas ke desa Papakaju, Sulawesi Selatan untuk melaksanakan tugas pengabdian. Dua bulan lamanya saya dan teman-teman harus melepaskan diri dari hiruk-pikuk perkotaan, jadwal perkuliahan, tumpukan tugas-tugas dari dosen kesayangan, dan tak lupa segala kemudahan serta akses yang memberikan kenikmatan sekaligus kenyamanan. Bukan hal yang mudah sih menerima kenyataan akan menanggalkan semua fasilitas yang sudah terlanjur membuat saya ketergantungan. Mulai dari kemudahan transportasi, segala macam tempat liburan, dan yang terpenting gadget yang bisa online setiap saat. Sementara selama dua bulan di Papakaju, semuanya itu semacam hal yang tak pernah terfikirkan. Jadi, jangan heran ketika hari penarikan, saya dan teman-teman langsung merancanakan untuk menyempatkan diri berlibur di Makassar.
Dari beberapa destinasi yang sudah direncanakan, akhirnya pilihan jatuh ke pantai Bira. Sebenarnya pilihan ini bukan karena saya dan teman-teman memang mengerti pesona pantai Bira, hanya saja teman yang dengan berbesar hati memberikan tumpangan penginapan selama di Makassar mengusulkan lokasi wisata tersebut. Ya boleh dibilang sih, saya dan teman-teman merasa tidak enak hati kalau harus lebih banyak merepotkan. Jadi, mau gak mau harus mau. Dan perlu diketahui, budget saya dan teman-teman selama liburan di Makassar sangat “pas-pasan”, bahkan boleh dibilang hanya untuk biaya transportasi dan penginapan di Bira. Kebayangkan betapa super iritnya liburan saya kali ini.
Ngrit versi saya dan teman-teman untuk liburan kali ini memang luar biasa. Mulai dari harus bawa bekal selama perjalanan Makassar – Bira yang jarak tempuhnya sekitar 5-6 jam. Kemudian, bersedia menempati penginapan yang seharusnya hanya bisa diisi oleh 3 orang tapi nekat diisi per jenis kelamin (alias, 1 kamar untuk laki-laki dengan kuantitas 9 orang, dan satu kamar untuk perempuan dengan kuantitas 11 orang). Untuk biaya penginapan selama di Bira sih lumayan murah, sekitar Rp 150.000 – Rp 200.000 dengan fasilitas yang sudah sangat memuaskan (AC, TV, kamar mandi dalam). And for your information guys, beberapa penginapan bentukannya gazebo ala-ala resort di Wakatobi. Jadi penginapannya dekat banget ke pantai, bahkan ada beberapa penginapan yang langsung menghadap ke bibir pantai (begitu buka jendela, sunrise dan sunset siap menyapa. Oh God, that was so perpect!) Tapi, butuh budget yang lumayan sih buat dapatin itu semua, dan hasilnya saya juga beberapa teman hanya bisa ngelus dada sambil bergumam “kalau kesini lagi harus nginap dan makan di resort ini pokoknya!”, sambil berpose mengabadikan kemegahan resort dari kejauhan.
*pemandangan dibelakang adalah resort dengan pemandangan menghadap langsung ke pantai dilengkapi restoran dari rangkai kapal pinisi*
Dan, irit versi ketiga ala kami adalah nego-nego cantik dengan pak supir bus yang sengaja dipesan khusus buat saya dan teman-teman. Alhasil saya dan tim hanya merogoh kocek Rp 1.000.000,- untuk perjalanan pulang pergi Makassar – Bira serta bonus tempat wisata lainnya. Bonusnya, mampir di lokasi pembuatan kapal pinisi yang ada di Bulukumba, pantai Losari, Masjid Apung, dan mengunjungi Museum Rotterdam (how lucky we are, right!). Padahal kalau kita mau travelling sendiri biaya yang dikeluarkan lumayan loh untuk perjalanan menuju Bira, kalau gak salah sih waktu itu sekitar Rp 30.000 – 50.000 untuk sekali perjalanan. Itu baru dapat Bira doang, belum lagi kalau mau mampir-mampir, trus perjalanan ke Museum, ke Losari, ya bisa kebayanglah berapa jumlah yang seharusnya kami keluarkan. Tapi beruntungnya, penduduk sekitar yang kami temui sangat berbaik hati dan selalu memberikan kemudahan.
Tapi hal terpenting lainnya dari liburan ke Bira waktu itu sih pesona pantai yang gak kalah keren dengan pantai-pantai kenamaan di Indonesia. Pasir pantai yang putih dan lembut, airnya yang masih biru jernih berkat pengelolaan yang tepat oleh pemerintah dan warga sekitar. Ditambah lagi, pemandangan sekeliling yang tak kalah mengagumkan. Terpampang jelas deretan kapal para nelayan yang bertengger di bibir pantai, riak-riak ombak yang berkejaran dengan para wisatawan, serta sekumpulan makhluk bernama Manusia yang tengah asik menunggu datangnya senja, termasuk saya diantaranya. Pemandangan Bira kala itu memang gak akan bisa tergantikan. Lagi-lagi bersyukur banget bisa menikmati Pesona Indonesia di salah satu sudut negeri ini. Dan berharap, keindahan Bira tak akan sirna oleh ulah-ulah manusia tak bertanggungjawab hingga kelak putra-putri negri ini masih bisa mengagumi dan bercerita tentang keindahannya yang masih saja sama atau malah lebih indah dari sebelumnya.
Meminjam part lagu,
"ku cinta, ku terpana, Pesona Indonesia"
Keindahan sudut negeri di tanah Sulawesi Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H