Secara pribadi, saya sungguh menolak jika nilai ujian nasional dijadikan penentu utama seorang siswa dinyatakan lulus atau belum lulus pada jenjang tertentu di sekolah. Ada banyak argumen dan fakta yang bisa mendukung mengapa UN tidak perlu menjadi penentu utama kelulusan siswa.
Pertama, proses pendidikan formal yang dilaksanakan selama kurang lebih 3 atau 4 tahun di sekolah divonis oleh kegiatan yang berlangsung selama 3 atau 4 hari! Jika demikian, selaku pembimbing, fasilitator belajar siswa dinyatakan gagal ketika siswa tidak lulus atau sukses jika lulus.
Bukankah PENDIDIKAN tidak semata-mata nilai formal? Bukankah NILAI sesungguhnya bukan yang tertulis di ijazah tetapi NILAI yang ada pada setiap pribadi? Dimana setiap saat NILAI DIRI bisa disaksikan melalui tutur kata, perilaku, kompetensi keahlian, karya seseorang.
Kedua, terdapat hal teknis dilapangan yang sungguh mencederai nilai-nilai kejujuran ketika UN dijadikan penentu kelulusan siswa. Proses belajar mengajar "mengerucut" pada tujuan "bagaimana sukses UN". Berbagai cara-cara lihai dilakukan oleh oknum di sekolah agar "semua siswa lulus UN".Â
Pada akhirnya tingkat kelulusan siswa menjadi "ukuran" sukses tidak seorang kepala sekolah menahkodai lembaganya. Menjadi ukuran maju tidaknya, berkualitas tidaknya "pendidikan" di sekolah. Menjadi "nilai jual" sekolah ketika 100% siswanya lulus UN meskipun telah mencederai salah satu NILAI PENDIDIKAN yakni JUJUR!
Ketiga, Pak Menteri tidak usah gelisah ketika menyaksikan perolehan nilai UN siswa tingkat atas tahun ini yang mengalami tren menurun. Ada beberapa alasan perolehan nilai UN menurun seperti yang pak Menteri sudah sampaikan seperti model soal yang disusun tim membutuhkan analisa tingkat tinggi, minat siswa mengikuti UNBK menurun karena bukan penentu kelulusan yang tentu saja hal ini masih debatable.
Pak menteri, bukankah jujur lebih utama dari pada nilai 789? Saya setuju dengan sistem UNBK yang "mempersempit" celah tindakan curang meskipun hal in tidak berarti bebas dari tindakan curang. Sistem apapun yang diterapkan dalam sebuah ujian tentu tidak terlepas dari celah keamanan.
Pak Menteri, mengurusi Pendidikan memang tidak mudah namun bukan berarti tidak bisa. Saat ini kita semua menyadari terjadi perubahan pola manusia dalam berinteraksi, menerima dan menyampaikan informasi. Era disrupsi telah berdampak besar terhadap perilaku pasar, ekonomi, bisnis, termasuk pendidikan.
Meski demikian hal mendasar yang mesti disadari dan terus digumuli, dikembangkan, dievaluasi adalah amanat UUD 1945, UURI nomor 20 tahun 2003 sebagai pijakan kuat untuk mengelola mengembangkan proses pendidikan di Negara Tercinta.
Pak Menteri, saya kira kita sekalian sedih menyaksikan banyaknya peristiwa memilukan yang terjadi di negeri tercinta ini. Masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini adalah INTOLERANSI, TERORISME, KORUPSI sebagai manifestasi dari individu yang telah mengalami PERSEKOLAHAN.
Hal ini menjadi fakta tak terbantahkan bahwa selain Ujian Nasional, terdapat skala prioritas yang HARUS dijamin oleh pak Menteri sebagai penanggung jawab PENDIDIKAN NASIONAL yaitu MENJAMIN :
- Semua lembaga formal pendidikan dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi bebas dari OKNUM TERORIS,
- Semua insan GURU, DOSEN bebas dari OKNUM yang tidak menerima NKRI, PANCASILA, BHINNEKA TUNGGAL IKA, UUD 1945.
Setelah bisa "menjamin" kedua prioritas tersebut barulah melangkah ke persoalan "teknis" pendidikan seperti : upaya meningkatkan kualitas Pendidik alias Guru, menyediakan sarana prasarana pendukung belajar.
Saya kira ada baiknya kita meninggalkan pola-pola lama yang mementingkan remeh-temeh, "pewajahan" prestasi, beragam formalitas belaka yang selama ini menghiasi dunia pendidikan dan mulai berbenah melalui SENI Mendidik, esensi Manusia yang berTuhan dan kesadaran akan pentingnya keadilan, persatuan, kebhinnekaan dan penghayatan atas upaya para Pejuang yang telah memberi segalanya bagi KEMERDEKAAN RI.
Maaf... jika terdapat untaian kata kalimat yang tidak semestinya, tulisan ini bagian dari kesadaran, bukti mendukung gerakan literasi. Saya sungguh terbuka dikritik, dikoreksi.
Salam...
Daniel Pasedan,Â
Guru SMK Kristen Tagari-Toraja Utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H