Salut dan bangga atas upaya Pemerintah Pusat yang menyatakan kesungguhan untuk membenahi kualitas Pendidikan di NKRI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Program bantuan seperti dana BOS, Tunjangan Sertifikasi Guru, Program Indonesia Pintar, Keluarga Harapan Sejahtera, Dana Alokasi Kusus dan masih banyak lagi.
Secara program, bantuan Pemerintah sungguh baik adanya dan hal ini tidak bisa dielakkan. Namun dalam implementasi dan teknis pelaksanaan program-program Pemerintah, masih terdapat kendala yang berdampak buruk pada proses yang terjadi pada satuan pendidikan.
Secara khusus saya hendak menyampaikan dampak teknis dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang sungguh menyiksa sekolah.
Bagaimana tidak, sekolah sudah membuat rencana program kerja sekolah yang diikuti dengan rencana angaran pendapatan belanja sekolah untuk satu tahun pelajaran dan disusun bersama guru, pegawai sesuai dengan kebutuhan sekolah dengan berpatokan pada sumber dana yang ada.
Faktanya, untuk tahun 2017 hingga detik ini, dana BOS triwulan I yang sedianya memenuhi kebutuhan Januari-Maret belum juga masuk di rekening sekolah. Padahal, update data secara online di Dapodik sudah dilakukan dengan tertib, persiaratan lain seperti pengajuan RKAS sudah diserahkan. Intinya bahwa sekolah sudah memenuhi prasyarat yang diminta.
Jadi logika pengelolaan keuangan seperti apa yang hendak diterapkan di sekolah? Dari mana sumber biaya untuk memenuhi kebutuhan Januari-Maret? Haruskah proses belajar mengajar dihentikan sampai menunggu dana cair? Grrrrrr!
Di sekolah tempat saya bertugas dengan status swasta, tahukah Anda bahwa beban utama adalah belanja gaji Guru-Pegawai? [tidak seperti PNS/ ASN, tiap bulan gaji dibayarkan Negara secara rutin] Bagaimana dengan beban listrik, air, bahan habis pakai untuk praktek siswa?
Apakah Anda akan bertanya; Apa yang dilakukan Yayasan Kalian? ataukah Apa yang dipikirkan, dikerjakan Gerejamu?
Faktanya, sekolah memang menerima partisipasi orang tua siswa yang besarannya disepakati bersama. Namun dalam kenyataan, sekolah tidak bisa memaksa orang tua siswa untuk membayar tepat waktu setiap bulan. Kondisi ekonomi orang tua siswa di tempat saya tidak seperti di kota. Sekolah di kota bisa “memberi sangsi” kepada orang tua jika terlambat membayar.
Berulang kali dalam perjalan menuju ke sekolah, saya berhenti sesaat [tengok depan belakang sepi] dan menangis sembari teriak sekeras-kerasnya demi menyalurkan sesak di dada. Bagaimana harus mengelola sekolah dengan kondisi keuangan seperti ini?
Anak-anak di sekolah 60 persen adalah hasil dari kawin lalu cerai, anak dititip di nenek… orang tua entah dimana. Ada juga yang sekedar menumpang di rumah orang lain tanpa hubungan keluarga dan sambil membantu pekerjaan di rumah, mereka dibantu biaya. Bagaiman harus memaksa mereka membayar uang sekolah?
Tadi siang, saya ngobrol berdua dengan seorang Pegawai… maaf, apa yang kalian makan di rumah, sementara dari Januari hingga saat ini kita belum gajian?
Dia hanya tertunduk tanpa jawaban! Sejenak heningg… Ayooooo mari kita pulang, besok lagi kita lanjutkan. Terima kasih sudah melayani hari ini.
Aku Menyesal Menjadi Kepala Sekolah, meski faktanya hingga detik ini saya masih Kepala Sekolah entah sampai kapan.
Pak… Bu… yang di atas sana…
Bolehkah kami di bantu? Ada 116 siswa kurang beruntung di sekolah ini, ada 20 Guru Pegawai [4 orang ASN]… ataukah Baiknya sekolah ini ditutup saja?
Kami juga merindukan proses belajar yang terbaik… Kami menjamin bahwa kami mengelola dengan sungguh dan JUJUR.
Mohon maaf jika terdapat keliru kata kalimat, silahkan diberi kritik, masukan.
Daniel Desianto Pasedan
Guru yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah SMK Kristen Sangalla’-Tana Toraja-Sulawesi Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H