[caption id="attachment_169523" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Hari minggu adalah hari bebas di keluarga mini kami. Mau bangun pagi kek, kesiangan kek, suka-suka. Mau bersih-bersih kek, apa kek... pokok men suka-sukalah... ada yang isinya cuma membaca, ada yang isinya ngegem, ada yang membuat berantakan, ada yang main bola.
Agh... lapar euuu... sudah siang, tak ada yang tergerak menyiapkan sesuatu yang bisa disantap. Dari pagi sampai siang perut baru diisi segelas kopi sepotong kue. Yuk... cari makan yoooo, segera semua bergegas. Brummmm... seisi keluarga mini meluncur di atas motor mini.
Siang ini cukup sepi, seperti biasa dihari minggu yang sudah-sudah. Arah kekota lewat gang-gang ternyata cukup jauh juga dan astaga ternyata kita melewati kuburan.
Laju motor sedikit dipercepat, sudah keroncongan nih perut minta ditambal. Di depan ada dua sosok sedang berdiri, setelah mendekat... agh ternyata seorang lelaki tua sedang dengan lahapnya menikmati hidangan nasi bungkus bersama seorang perempuan yang usianya tidak terpaut jauh yang juga sedang menikmati hidangan.
Dari ekspresi wajah mereka tergambar kenikmatan tiada tara, sesekali mereka ngobrol... entah mereka membicarakan apa.
Keluarga mini berlalu begitu saja dihadapan mereka. Tidak ada sesuatu yang istimewa dengan pandangan di sekitar. Baru beberapa puluh meter beranjak dari kedua sosok tadi, lha kok hati ini merasakan sesuatu... sesuatu yang sungguh mengusik jiwaku. Tanpa terasa air mata ini mengalir, untungnya kepalaku terbalut helm tengkorak... Pemandangan sepintas yang baru saja terlihat begitu jelas tergambar dalam otak ini.
Tiba-tiba aku teringat orang tuaku yang juga sudah usia senja, nun jauh di sana. Adakah mereka sehat? adakah mereka makan? adakah mereka bahagia saat ini?
Dengan cermat kuperhatikan kondisi belakang, lalu segera aku berbalik kembali ke posisi kedua sosok yang telah mengusikku. Hidangan nikmat mereka belum habis, wajah mereka masih seperti tadi.
Aku berhenti di depan mereka, tergambar jelas wajah bercahaya menatap kehadiran kami. Segera kurogoh kantong jaket dan lalu menyodorkannya ke beliau. Matursuwun... demikian nada sang Kakek berujar. Lalu kami segera beranjak dari situ.
Entah mengapa jika diri ini melihat sosok renta, tua tak berdaya... jiwa ini selalu terusik. Ada sesuatu yang mengganggu. Pikiran saya mengembara kemana-mana... ups, kita makan siang di sini saja. ***
Ayah... maafkan anakmu yang belum mampu membahagiakan Ayah!
Tergambar jelas peristiwa-peristiwa lalu, dimana Ayah begitu bangga dengan kehadiranku, bercanda, menggendongku, membuatkanku beragam mainan dari bahan kayu.
Ayah... aku kangen!
Aku bangga denganmu Ayah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H