Tulisan ini saya buat karena gelisah melihat perkembangan Jogja masa kini. Jemari gatal ingin mencakar-cakar corat coret yang tengah marak di kota pendidikan ini. Setiap kali berkeliling Jogja, sepanjang jalan kita disuguhi rolling door baru penuh coretan, tembok pagar toko dan rumah penuh coretan bercampur tempelan poster, bahkan pohon perindang di jalan protokol pun jadi sasarannya. Mas Sumbo Tinarbuko menyebutnya sebagai “Sampah Visual”.
Sampah Visual itu segala yang “tidak berguna” secara visual. Klo baliho, poster, spanduk, tempelan iklan masih sesekali ada gunanya, minimal infonya deh. Nah klo coretan “3 Huruf” mana ada gunanya. Sama sekali tak ada informasi yang berguna. Untuk itu saya menyebutnya grafiti “3 Huruf” ini derajatnya lebih rendah. Sampah nya sampah. Sedikitpun tidak ada gunanya.
Kata wikipedia coretan itu termasuk grafiti. Wiki menyebutnya kayak begini
“Grafiti (juga dieja graffity atau graffiti) adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu. Alat yang digunakan pada masa kini biasanya cat semprot kaleng. Sebelum cat semprot tersedia, grafiti umumnya dibuat dengan sapuan cat menggunakan kuas atau kapur”
Seiring berkembangnya jaman, fenomena grafiti sebagai ekspresi seni sudah dianggap biasa. Artinya Grafiti yang memanfaatkan berbagai sarana fasilitas umum perkotaan sebagai medianya telah diterima masyarakat karena memberikan manfaat. Bahkan pengelola kota secara formal membuka dan memfasilitasi para seniman untuk mengelola ruang ruang kota seperti jembatan, tembok untuk sengaja dibubuhi grafiti. Ini yang kita kenal kemudian dengan karya seni mural.
Berbagai grafiti yang diakomodasi ini biasanya dikombinasi tak hanya teks tapi dengan lukisan bahkan pesan. Karya jenis ini biasanya dikelola secara serius dan bukan seolah olah “maling”, main sembunyi-coret-lalu lari. Grafiti ini menjadi ekspresi seni yang mempercantik kota.
Namun fenomena baru muncul sebuah grafiti yang berisi teks atau mural ditimpa dengan grafiti lain dan berkesan tidak indah. Saya menyebutnya grafiti kontra grafiti. Grafiti baru lahir, benalu bagi grafiti lain. Grafiti benalu ini bersifat vandal. Muncul bak jamur di musim hujan. Dimana saja, kapan saja, menjadi debu bagi mata kita. Lahir diam-diam dan berkembang biak dengan dasyat seperti sengaja digerakan. Aktivitanya menyiratkan vandalisme karena merusak apa yang dikelola dengan artistik.
Wikipedia menyebut Vandalisme sebagai suatu sikap kebiasaan kaitannya dengan perusakan; sifat suka merusak.
Saya tidak setuju bila dikatakan bahwa vandalisme dengan corat coret termasuk mencoret grafiti kota karena tidak tersalurkannya ekspresi. Saya melihat aktivitas ini menjadi indikasi dari kedangkalan cara berfikir pelaku karena gagalnya sistem. Sistem keluarga, sekolah, dan masyarakat gagal membentuk individu dalam memandang tempat hidupnya. Keluarga gagal membentuk pribadi yang bertanggung jawab. Sekolah gagal memberikan pandangan tentang kualitas seni. Masyarakat pun gagal menjadikan kotanya sebagai rumahnya. Anehnya bila segala peradaban kota milik umum, para pelaku ini tidak melakukan vandalisme di rumah nya, bahkan di tembok rumah tetangganya.
penulis: jogjacreative.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H