Siti Kholifah
Kita harus tetap percaya diri? Â
Jawabnya adalah "Ya, harus!
"Kunci untuk mengembangkan kepercayaan diri adalah melakukan hal yang kamu takutkan dan mencatatkan kesuksesan atasnya."
~William Jennings Bryan
Kita dalam hal ini yang dimaksud adalah  orang tua, guru, praktisi, atau  pemangku kebijakan yang bersentuhan langsung dengan Sumber Daya Manusia khususnya generasi Alpha. Generasi Alpha yang lahir antara tahun 2010 dan 2024, adalah generasi yang lahir di era digital. Generasi ini kerap disebut sebagai screenager, karena keterikatannya yang sangat erat dengan teknologi. Hal inilah yang membedakan Generasi Alpha dengan generasi-generasi sebelumnya. Generasi Alpha diprediksi akan berkontribusi besar hingga US$5,46 triliun pada tahun 2029, sehingga generasi ini dianggap sebagai generasi yang akan membentuk masa depan.
Generasi Alpha sendiri umumnya merupakan keturunan dari Milenial dan serin gkali adalah adik dari Generasi Z. Saat seluruh anak Generasi Alpha lahir di tahun 2025, populasi mereka akan mencakup sekitar 2 milyar di dunia, membuatnya generasi terbanyak yang tercatat dalam sejarah. Generasi ini unik dan diharapkan menjadi kelompok yang paling kaya secara materi dan memiliki pemahaman paling tinggi terhadap teknologi sepanjang masa. Generasi Alpha juga kemungkinan akan memiliki umur yang lebih panjang dibandingkan generasi sebelumnya.
Salah satu aspek paling menonjol dari Generasi Alpha adalah bagaimana mereka terpapar layar digital sejak dini, sebuah fenomena yang berakar dari munculnya tablet, smartphone, dan perangkat digital lainnya. Tahun 2010, yang menandai awal mula generasi ini, kebetulan berbarengan dengan peluncuran iPad dan Instagram, platform yang membentuk tahun-tahun generasi ini tumbuh kembang. Maka dari itu, meski mereka kini adalah generasi termuda, namun pengaruhnya, terutama di dalam lanskap digital, patut ditandai.
Dikutip dari pendapat beberapa pemerhati perkembangan anak: Orang tua sangatlah berperan penuh atas anak-anaknya dalam hal pendidikan dalam keluarga, baik pendidikan agama, moral, bermasyarakat dan lain sebagainya. Peran orang tua dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak sangat penting, salah satunya mengajarkan cara berbahasa dalam pergaulan sehari-hari, bagaimana menghadapi masalah  baik pribadi maupun yang berhubungan dengan lingkungannya. Tentunya masih banyak contoh lain yang bisa dikembangkan, yaitu pembiasaanpembiasaan lainnya sesuai lingkungan budaya masing-masing, misalnya membiasakan menghargai hasil karya anak walau bagaimanapun bentuknya dan tidak membandingkan hasil karya anak dengan hasil karya saudara-saudaranya sendiri. Keluarga dapat berperan sebagai fondasi dasar untuk memulai langkah-langkah pembudayaan karakter melalui pembiasaan bersikap dan berperilaku sesuai dengan karakter yang diharapkan. Pembiasaan yang disertai dengan teladan dan diperkuat dengan penanaman nilai.( Dr. Hendarti permono M.Psi: 2013)
Namun, berdasarkan dari tiga penelitian yang ditemukan bahwa pada umumnya peran orang tua saat ini dinilai belum begitu maksimal dalam memberikan pendidikan karakter pada anak hal ini dipengaruhi oleh kesibukan kerja dan dinamika kehidupan masyarakat modern yang sering kali memaksa orang tua untuk meninggalkan tugas pokok sebagai pendidik anak ketika di rumah, hal tersebut mengakibatkan kurangnya kebersaman, pengawasan dan kontrol orang tua terhadap anak yang berdampak pada akhlak yang kurang baik, tingkah laku dan juga tutur kata yang kurang sopan. (Salwiah dan Asmuddin: 2022).
Kemudian Fakta didapati bahwa pada zaman sekarang perilaku anak-anak telah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak layak dilakukan oleh anak seusia mereka. Anak-anak usia dini terpengaruh oleh media-media elektronik yang nyatanya memang lebih sering mereka dapatkan dibanding dengan pendidikan moral yang seharusnya ditanamkan dalam rentang masa perkembangan itu.(Udzlifatul chasanah:2017)
Serta Fenomena yang dialami sekarang juga oleh sejumlah besar dalam pendidikan dimana orang tua menyerahkan tugas seutuhnya kepada sekolah. Justru itu membuat karakter anak terbentuk dengan tidak baik, disebabkan tidak terjalin kesinambungan atau penguatan karakter yang telah ditanam oleh guru di sekolah, apabila anak berada di luar lingkungan dan jam sekolah.( M. Rezki andhika: 2021)
Nilai-nilai kebaikan yang mewakili kepribadian tersebut dapat berupa nilai nilai dalam ajaran agama dan nilai-nilai yang telah ada dalam kehidupan sosial. Jika seseorang mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, maka orang tersebut dapat dikatakan memiliki karakter atau orang yang berkarakter, begitu juga terhadap anak-anak. Secara sederhana, kepribadian merupakan karakteristik yang melekat pada diri manusia semenjak ia lahir dan dibentuk oleh proses belajar sepanjang hayat. Pendidikan merupakan suatu proses perubahan tingkah laku manusia, sedangkan karakter merupakan sebagai ciri khas/identitas yang melekat pada manusia. Lickona (Muchlas Samani, 2012: 44) menguraikan pendidikan karakter kepada suatu upaya yang dirancang secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa. Sedangkan menurut Scerenko (Muchlas Samani, 2012:45) mengartikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh dengan cara mencari kepribadian yang positif kemudian dikembangkan, didorong dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian, serta praktek emulasi yang merupakan usaha maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan dipelajari. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga anak-anak menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek "pengetahuan yang baik" (moral knowing), akan tetapi juga "merasakan dengan baik" (moral feeling), dan "perilaku yang baik" (moral action) Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha penanaman kebiasaan berupa sikap atau perilaku yang baik sehingga seorang individu paham dan mampu merasakan serta melaksanakannya.
Dapat diambil simpulan sementara , bahwa  peran orang tua terhadap pendidikan karakter anak usia dini menjadi menentu bagi pembentukan karakter anak tersebut. Maka diharapkan bagi orang tua menyadari bahwa pentingnya pendidikan karakter untuk anak, yang harus dilakukan oleh orang tua pertama kali adalah memahami keadaan anak sehingga orang tua dapat mengetahui cara apa yang harus ia gunakan dalam membentuk karakter anak.
Dalam  pendidikan  karakter  di  sekolah,  semua  komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu
isi  kurikulum,  proses  pembelajaran  dan  penilaian,  kualitas  hubungan,  penanganan  atau pengelolaan  mata  pelajaran,  pengelolaan  sekolah,  pelaksanaan  aktivitas,  pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.Â
Oleh  karena itu,  pendidikan karakter  dapat  diintegrasikan dalam pembelajaran  pada setiap  mata  pelajaran. Materi  pembelajaran  yang  berkaitan  dengan norma  atau  nilai-nilai pada setiap mata  pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan  konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan siswa sehari-hari  di masyarakat. Pendidikan karakter di  sekolah sangat terkait dengan  manajemen  atau pengelolaan  sekolah.  Pengelolaan yang  dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi,  nilai-nilai  yang  perlu  ditanamkan,  muatan  kurikulum,  pembelajaran,  penilaian, pendidik  dan  tenaga  kependidikan,  dan  komponen  terkait  lainnya.  Dengan  demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di
sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan  untuk  meningkatkan mutu penyelenggaraan dan  hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan  karakter  diharapkan  siswa  didik  mampu  secara  mandiri  meningkatkan  dan menggunakan  pengetahuannya,  mengkaji  dan  menginternalisasi  serta  mempersonalisasi nilai-nilai  karakter  dan  akhlak  mulia  sehingga  terwujud  dalam  perilaku  sehari-hari.
Pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah. Membentuk karakter tidak bisa dilakukan dalam sekejap dengan memberikan nasihat, perintah, atau  instruksi, namun  lebih dari hal tersebut. Pembentukan karakter memerlukan teladan/role  model,  kesabaran, pembiasaan,  dan  pengulangan.
Menurut  Haniyyah  pendiri  Indonesia Heritage Foundation, ada
tiga tahap pembentukan karakter, yakni:Â
1. Moral Knowing : Memahamkan dengan baik pada  anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik.Â
2.  Moral  Feeling  :  Membangun  kecintaan  berperilaku  baik  pada  anak yang  akan menjadi sumber  energi  anak  untuk  berperilaku  baik. Membentuk  karakter  adalah  dengan cara menumbuhkannya.
3. Moral Action  : Bagaimana membuat pengetahuan moral  menjadi  tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang  agar  menjadi  moral  behavior  Dengan  melalui  tiga  tahap  tersebut,  proses pembentukan karakter akan menjadi lebih mengena dan siswa akan berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri.Â
dalam diri siswa, yaitu :Â
1. Cinta pada Allah SWT, dengan segenap ciptaanNyaÂ
2. Kemandirian dan tanggung jawabÂ
3. Kejujuran, bijaksanaÂ
4. Hormat, santunÂ
5. Dermawan, suka menolong, gotong royongÂ
6. Percaya diri, kreatif, bekerja keras
7. Kepemimpinan, keadilanÂ
8. Baik hati, rendah hatiÂ
9. Toleransi, Kedamaian, kesatuanÂ
Kesembilan pilar karakter perlu diajarkan dengan menggunakan metode knowing the
good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan  bersifat kognitif  saja.  Setelah  knowing  the good  harus ditumbuhkan  feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku  kebajikan  karena  dia  cinta  dengan  perilaku  kebajikan  itu.  Setelah  terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi kebiasaan.
Generasi Alpha sedang membentuk karakteristik yang unik yang utamanya dipengaruhi oleh era digital yang berkembang pesat. Di masa tumbuh kembangnya, Generasi Alpha menyaksikan ledakan perangkat digital portabel, dan tumbuh dalam lingkungan di mana layar ada di mana-mana. Mereka adalah generasi pertama yang dibentuk di era yang didominasi oleh gadget seperti ponsel pintar dan tablet. Beberapa hal yang membentuk karakteristik Generasi Alpha antara lain:
1. Teknologi
Teknologi berdampak besar terhadap masa pertumbuhan generasi ini di mana mereka terus-menerus terpapar layar, sehingga mempengaruhi kemampuan mereka dalam keterampilan praktis, menimbang risiko, dan menentukan tujuan. Oleh karena itu, sangat penting bagi mereka untuk tidak hanya dilengkapi dengan keahlian teknis seperti STEM, tetapi juga dengan pengetahuan lain seperti keuangan, ketahanan, dan inovasi.
2. Sosial
Generasi Alpha adalah generasi yang paling terhubung. Keterhubungan secara terus menerus dengan teman-temannya membuat mereka melampaui batasan-batasan ruang dan waktu, sosial, dan demografi. Namun hiperkonektivitas ini memiliki kekurangan. Kebanyakan siswa dari generasi ini yang mengalami perundungan harus melaluinya secara digital seperti media sosial atau pesan teks. Sebagai pencegahan, kini mulai muncul kesadaran akan kesehatan mental, terutama di lingkup pendidikan dan tempat kerja.
3. Global
Pandangan Generasi Alpha terhadap dunia sekitar juga dibentuk oleh pengaruh global. Tidak peduli di mana mereka berada, mereka dipengaruhi oleh media, mode, dan tren global yang sama. Paparan terhadap dunia digital tanpa batas berarti orang tua harus mempersiapkan mereka untuk dunia kerja yang semakin mengglobal. Menariknya, meskipun mereka diharapkan mahir secara digital dan kreatif, ada kekhawatiran tentang kemampuan berpikir kritis mereka.
4. Visual
Sebuah perubahan yang mencolok untuk Generasi Alpha adalah ketertarikan mereka pada informasi yang bersifat visual. Banyak di antara mereka lebih memilih untuk menonton video yang merangkum suatu topik ketimbang membaca artikel teks. Tren ini mengubah cara mereka belajar, lebih mengarah ke metode pendidikan yang visual, menarik, dan beragam. Dengan kecenderungan generasi ini terhadap informasi visual, sangat penting bagi penyedia konten edukasi dan informasi untuk beradaptasi.
Seiring berkembangnya generasi ini, memahami karakteristik unik mereka akan sangat penting bagi pendidik, orang tua, dan masyarakat luas. Perpaduan teknologi, pengaruh sosial, dan peristiwa global membentuk generasi yang tak ada bandingannya sebelumnya.
7 Cara Mendidik Generasi Alpha
Generasi Alpha dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Dibesarkan terutama oleh orang tua dari Generasi X dan Milenial, mereka ditanamkan nilai-nilai yang beragam, baik tradisional maupun modern. Mendidik Generasi Alpha membutuhkan pendekatan khusus, dengan menekankan pertumbuhan dan pengembangan pribadi di luar akademik semata. Berikut tujuh metode yang bisa dilakukan:
1. Memberi ruang eksplorasi pribadi
Arahkan Generasi Alpha untuk mengetahui dan menetapkan target-target pribadi dan menemukan ilmu di luar batasan ruang kelas biasa.
2. Fokus pada kecerdasan ganda
Tekankan pada pengembangan berbagai jenis kecerdasan, bukan hanya numerasi dan literasi.
3. Penghargaan atas usaha
Menghargai dedikasi serta cara mereka menghadapi tantangan memupuk semangat untuk terus berusaha dan memupuk daya tahan.
4. Manfaatkan kata 'belum'
Mengenalkan kata 'belum' membantu mereka bergeser pola pikir "Saya tidak bisa" menjadi "Saya belum bisa," dari sini, mereka akan belajar untuk selalu ingin berkembang.
5. Menghindari labelisasi
Jauhi pelabelan, baik negatif maupun positif, membantu anak tetap termotivasi dan mencegah mereka dicap dalam suatu kategori tertentu.
6. Melihat kegagalan sebagai pelajaran
Cara ini mengajarkan anak Generasi Alpha untuk memandang kegagalan sebagai langkah pembelajaran, bukan sebagai rintangan, sehingga membantu mereka menjadi lebih tangguh.
7. Peran orang tua sebagai teladan
Orang tua, terutama dari Generasi Milenial, sangat fasih dengan teknologi dan memiliki metode mendidik yang modern. Mereka berperan penting dalam membantu Generasi Alpha memahami tantangan dan peluang di dunia global saat ini.
Tantangan dalam Mendidik Generasi Alpha
Di era kemajuan teknologi yang pesat, Generasi Alpha muncul dengan serangkaian tantangan khusus, terutama dalam bidang pendidikan. Keterlibatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, meskipun menguntungkan, berpotensi menghadirkan rintangan dalam menjaga agar anak-anak mendapatkan pendidikan yang seimbang.
Sebagai contoh, menurut survei terbaru, 87% orang tua kesulitan mengatur waktu yang dihabiskan di depan layar layar anak-anak mereka. Ini tidak hanya mencakup berapa lama waktu yang dihabiskan di depan layar, tetapi juga jenis konten yang mereka temui. Dengan 85% orang tua menyatakan bahwa Generasi Alpha terpapar konten yang lebih matang pada usia yang sama dibandingkan dengan generasi sebelumnya, muncul tantangan untuk menjaga agar anak mengakses konten digital yang sesuai usia mereka.
Selain beradaptasi dengan dunia digital, nutrisi juga memegang peranan krusial dalam mendukung perkembangan Generasi Alpha. Saat ini, makin banyak orang yang menyadari pentingnya asam lemak omega-3 bagi perkembangan otak, kalsium untuk kekuatan tulang, serta protein untuk membangun otot.
Mendidik Generasi Alpha memerlukan pendekatan yang beragam. Selain memanfaatkan keuntungan dari era digital, sangat penting pula untuk memastikan mereka mendapatkan asupan nutrisi yang tepat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan kognitif mereka.
Di Lembaga Pendidikan seperti yang diatur dalam KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56/M/2022 TENTANG PEDOMAN PENERAPAN KURIKULUM DALAM RANGKA PEMULIHAN PEMBELAJARAN dijelaskan bahwa pengembangan karakter siswa adalah salah satu tujuan utama dalam pendidikan. Karakter yang kuat akan membantu siswa menjadi individu yang bertanggung jawab, jujur, dan bermoral baik. Begitu pentingnya menyiapkan SDM yang Tangguh dimulai sejak dini, sehingga pemerintah di Kurikulum Merdeka memasukkan perhatiannya pada pengembangan  Merdeka Belajar tersebut dalam kegiatan intrakurikuler, ekstra kurikuler, dan Penguatan Profil Pelajar Pancasila ( P5) , program pembiasaan, Pelatihan kepemimpinan OSIS, Pendidikan Anti Buliying, dll
Demikian tulisan yang ini semoga menjadi penyadaran kita bersama guna memahami ciri dan cara menyiapkan anak-anak bangsa menjadi generasi Tangguh di Tengah badai media sosial yang berpengaruh sangat luar biasa pada kehidupan manusia di muka bumi ini. Â Semoga kita tetap optimis!!!
DAFTAR PUSTAKA
Eka Sapti C, Sudaryanti & Nurtanio Agus P. 2017. Pengembangan Nilai-Nilai Karakter
Anak Usia Dini Melalui Pembiasaan dan Keteladanan. Jurnal: Pendidikan Anak. 6
(2), 203-213.
M. Hidayat Ginanjar 2013. Keseimbangan Peran Orang Tua Dalam Pembentukan
Karakter Anak. Edukasi Islam, Jurnal: Pendidikan Islam. 2: 230-242.
Udzlifatul Chasanah 2017. Urgensi Pendidikan Hadis Dalam Pembentukan Karakter Anak
Aziz, H. A. (2011). Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati. Jakarta: Al-Mawardi Prima.
Elmubarok, Z. (2009). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
Dr. Hendarti Permono M.Psi.Peran Orangtua Dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anakuntuk Membangun Karakter Anak Usia Dini Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H