Mohon tunggu...
Pascasarjana IAT UIN SATU
Pascasarjana IAT UIN SATU Mohon Tunggu... Lainnya - Admin

Memuat berbagai tulisan, sarana memperkenalkan dan melestarikan karya ulama dan lainnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Tafsir Marah Labid Karya Nawawi al-Bantani

27 Mei 2024   09:52 Diperbarui: 27 Mei 2024   10:24 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika penafsiran al-Qur'an di Indonesia terus berkembang. Karya tafsir pertama di Indonesia yang lengkap 30 juz ialah tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abdul Rouf as-Singkili dengan menggunakan pegon bahasa Sunda. Kitab ini telah memberikan kontribusi besar dalam sejarah peradaban kitab tafsir di Indonesia. Pada periode selanjutnya muncul kitab tafsir pertama kali di Indonesia dengan menggunakan Bahasa Arab. Yaitu Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantai. Ia merupakan orang Indonesia yang mempunyai kontribusi pada perkembangan keilmuan agama diberbagai bidang, hal itu ditunjukkan dari beberapa karyanya. Karya dalam bidang al-Qur'an salah satunya yaitu Tafsir Marah Labid. Melalui karya ini Nawawi berhasil memunculkan karya baru setelah dua abad mengalami stagnansasi karya penafsiran pasca penafsiran yang dilakukan oleh Abdul Rouf as-Singkili.Tafsir Marah Labid ditulis oleh Nawawi ketika berada di Makkah kemudian diterbitkan pertama juga di Makkah. Kitab ini banyak mendapat apresiasi dari para ulama Makkah.

Biografi Imam Nawawi Al-Bantani

Nawawi adalah orang Melayu Indonesia yang sangat masyhur pada abad ke 19, nama lengkap Nawawi ialah Muhammad Nawawi ibn Arabi al- Tanara al-Jawi.4 Ia dilahirkan di Tanara, Serang, Banten5 pada tahun 1230 H/ 1813 M. Nawawi dikenal dengan nama Nawawi al-Bantani karena dilahirkan di Banten. Ayahnya bernama Umar Ibnu Arabi, seorang pejabat penghulu di Tanara dan pemimpin masjid di daerah tersebut. Beliau merupakan salah satu keturunan dari Sultan Maulana Hasanuddin yang merupakan putra dari Syekh Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Jika ditelusuri nasabnya, Nawawi memiliki nasab sampai kepada Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Fatimah al-Zahra binti Rasulullah Saw. Umar Ibn Arabi lah yang mengajar ilmu keagamaan secara langsung kepada ketiga anaknya yaitu, Nawawi, Tamim dan Ahmad. Sehingga Nawawi memperoleh bekal pendidikan tentang keislaman dari kecil. Nawawi juga hafal al-Qur'an pada umur 18 tahun. Selanjutnya Nawawi berguru kepada Kyai Sahal di Banten dan berguru kepada Kyai Yusuf di Purwakarta hingga usia kelima belas. Kemudian ia pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim disana serta berguru kepada Syekh Ahmad Nahrawi dan Syekh Yusuf Sumbulawi dari Mesir. Pada umur 18 tahun tepatnya pada tahun 1248 H/ 1831 M ia pulang ke kampung halamannya. Nawawi membangun masjid dan membantu menyempurnakan bangunan pesantren ayahnya selama kurang lebih tiga tahun.Namun ia merasa belum memenuhi cita-cita masyarakat Banten. Sehingga ia ingin kembali ke Makkah, ada juga pendapat lain yang menjelaskan bahwa kembalinya Nawawi ke Mekkah dikarenakan adanya tekanan politik dari Belanda , jika ditelusuri pada tahun 1831 M, 1833 M, 1836 M dan 1839 M terjadi banyak perlawanan senjata oleh Belanda di daerah Banten. Yang menimbulkan banyaknya kecaman terhadap Nawawi, sehingga Nawawi memutuskan untuk ke Makkah pada tahun 1335 H/1834 M dan tidak kembali ke kampung halamannya sampai wafat. Setelah kembali ke Makkah, Nawawi melanjutkan menuntut ilmu kepada beberapa guru diantaranya Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Sumbulawani dan Syekh Abd al-Hamid Daghestani (ulama dari Daghestan) Menurut Snouck Hurgronje bahwa guru yang sebenarnya adalah Syekh Sumbulawani dan Syekh Abd al-Hamid Daghestani dan juga Syekh Ahmad Nahrawi ulama dari Mesir. Nawawi terus menimba ilmu sampai 1277 H / 1860 M. Setelah mengenyam pendidikan selama kurang lebih 30 tahun, Nawawi menjadi sangat terkenal dan terpandang sehingga ia menjadi guru besar di Masjidil Haram dan memiliki 200 murid yang berasal dari berbagai negara.13 Diantara muridnya yang menjadi ulama besar di Indonesia yaitu KH. Kholil Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy'ari pendiri organisasi Nahdlatul Ulama, KH. Mahfudz al-Turmusi, seorang yang masyhur di Makkah yang berasal dari Termas Pacitan, KH. Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah. dan masih banyak lagi murid-murid Nawawi yang mempunyai kontribusi dalam bidang keagamaan di Indonesia. Nawawi termasuk ulama yang produktif, sehingga menghasilkan banyak karya. Kurang lebih ada 115 karya yang ditulis dari berbagai bidang keilmuan. Kitab-kitab yang dihasilkan oleh Nawawi memiliki pengaruh besar dalam lingkungan pesantren-pesantren di Nusantara. Diantaranya dalam bidang tafsir Marah Labid, dalam bidang Tawasuf Salalim al-Fudhala, dalam bidang Hadis Tariq al-Qaul, dalam bidang Tauhid kitab Fath al-Majid, dalam bidang sejarah kitab al-Ibriz al-Dani, dalam bidang Fiqih sullam al-Munajah, dalam bidang Sejarah kitab Fath al-Ghafr al-Khathiyah dan Lubab al-Bayan, dan masih banyak kitab-kitab yang lain yang dihasilkan oleh Nawawi. Beliau wafat pada 1314 H / 1897 M dan dimakamkan di Makkah.

Latar belakang kepenulisan tafsir

Untuk memulai menulis tafsir ini, Nawawi membutuhkan waktu yang lama, tafsir ini ditulis Nawawi karena tekanan dari teman-teman dekat. awalnya Nawawi enggan untuk menulis karya tafsir, kemudian ia memutuskan untuk menulis tafsir dengan pertimbangan meniru ulama yang juga menerapkan keilmuannya dalam bentuk tulisan.Tafsir Marah Labid ini ditulis selama 15 tahun yang mana dimulai pada tahun1860 M dan selesai pada hari selasa, malam rabu 5 Rabi'ul Awal 1305 H. Ketika menulis, Nawawi selalu menyodorkan tulisannya kepada ulama Makkah agar diteliti terlebih dahulu sebelum dicetak dan diterbitkan. Dengan menggunakan bahasa Arab, membuat tafsir karya Nawawi ini hanya dapat dipahami oleh lingkungan pesantren saja di Nusantara, dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap bahasa Arab. Sedangkan karakteristik dalam menamai tafsir ini, Nawawi memberi nama Marah Labid li Kasyf Ma'na Al-Qur'an al-Majid atau lengkapnya diberi nama Marah Labid li Kasyf Ma'na Al-Qur'an al-Majid al-Tafsir al-Munir li Ma'aalim al-Tanzil al-Musfir an Wujuh Mahasiin al-Tanwil. Namun nama yang populer ialah Tafsir Al-Munir dan Marah Labid.

Marah Labid merupakan gabungan dari raaha yaruuhu yang artinya datang dan pergi di sore hari untuk berkemas mempersiapkan kembali berangkat. Kata Marah berarti kata benda yang menunjukkan tempat, sedangkan Labid berasal dari kata Labida Yalbadu yang memiliki arti berkumpul mengitari sesuatu. Sehingga Marah Labid berarti tempat peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi.17 Dengan demikian tafsir ini diharapkan menjadi rujukan yang dapat memberikan kenyamanan dan pencerahan bagi pembaca. Berikut karakteristik kitab tafsir Marah Labid diantaranya, pertama, Halaman pertama ia menulis muqoddimah, halaman kedua baru dimulai penafsirannya, kedua, Terdapat kolofon (penjelasan) dibagian akhir tentang penafsiran pada jilid ke-1 dan ke-2, ketiga, Halaman ayat selalu di dalam kurung, Keempat, Adanya penyebutan jumlah ayat, jumlah huruf, dan jumlah kalimat, Kelima, Diawali dengan penyebutan nama surat, periode makiyyah dan madaniyah dan keenam, Menyertakan asbab nuzul, ragam qiraat, dan penjelasan tentang ketatabahasasan.

Metode penulisan dan Corak penafsiran

Nawawi menggunakan metode tahlili, yaitu metode penafsiran berdasarkan susunan mushaf, menguraikan makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, munasabah, dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat dari Rasul, sahabat, maupun tabi'in dan dijelaskan tentang kebahasaan. Penulisan tafsir meliputi yang pertama, penulisan ayat demi ayat. Kedua, menafsirkan ayat dengan hadis, ketiga, menafsirkan ayat dengan pendapat sahabat dan atau tabi'in, keempat, menggunakan pendekatan ra'yu Kelima, menggunakan metode muqarin. Pada pendapat lain, selain menggunakan metode tahlili, tafsir ini juga menggunakan dua metode yaitu ijmali (global) dan tahlili (analisis). Dalam artian, pada bagian tertentu Nawawi menggunakan metode ijmali dan pada kesempatan lain menggunakan metode tahlili.

Corak pada tafsir ini ada yang berpendapat, termasuk dalam kategori corak riwayah/ ma'tsur. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya pada muqaddimah tafsirnya, Imam Nawawi mengatakan bahwa ia takut menafsirkan al-Qur'an dengan tafsir pemikiran murninya (bil-Ra'yi) saja. Hal ini dibuktikan dalam tafsirnya ia banyak mengutip hadis-hadis Rasulullah saw, pendapat sabahat, tabi'in atau para tokoh yang dianggap mu'tabar dalam menjelaskan ayat tertentu. Corak penafsiran dalam tafsir Marah Labid ini yaitu corak lughawi yaitu banyak melakukan analisis kebahasaan, terkadang juga mengandung corak sufi, terkadang corak fiqih yang murni fiqih Syafi'i. Dan terkadang juga menggunakan corak isyari. Tafsir ini juga mengandung corak adabi ijtima'i yang mana ingin menjadikan al-Qur'an sebagai hudan li an-Nas yang mana penulisnya ingin memberikan penanaman nilai keimanan yang kuat, baik kepada Allah ataupun ajaran-Nya. Dalam muqaddimahnya, Nawawi memaparkan ,berbagai kitab yang menjadi rujukan untuk menulis kitab tafsir marah Labid diantaranya: Kitab Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi (544-606 H), Kitab Al-Siraj al- Munir karya Muhammad bin Ahmadal-Syirbini (577 H), Kitab Tafsir Tanwir al-Miqbas karya Ibnu Abbas (3 SH-86 H), Tafsir Irsyad al-Aqli al-Salim ila Mazaya al-Kitab karya Muhammad ibn Muhammad ibn Musthafa al- 'Ammadi (898-982 H). Dalam referensi lain, Nawawi juga merujuk pada kitab Tafsir Al-Futuhat Al-Ilahiyah karya Ibnu Arabi, Tafsir Abu al-Su'ud karya Ibnu Su'ud dan Tafsir Siraj al-Munir karya Imam Syamsuddin. Kelebihan dan kekurangan, Kelebihan dari Tafsir Marah Labid ini yaitu menggunakan bahasa yang ringkas, mudah dipahami, terdapat rincian yang menyebutkan jumlah huruf, jumlah kata, tempat diturunkan surat, jumlah ayat.Adapun kekurangan dalam tafsir ini antara lain, jarang menyebutkan kualitas hadis hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah kekurangan dalam sebuah kajian ilmiah, disamping itu Nawawi kurang memperhatikan munasabah ayat al-Qur'an dalam tafsirnya dan penafsirannya mengandung isra'iliyyat yang mana hal ini menjadi kontroversi para ulama.

Penulis: Khamidatul Laila

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun