Mohon tunggu...
Fransiskus Pascaries
Fransiskus Pascaries Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan penerjemah lepas

sesekali kita perlu menoleh ke belakang, agar langkah ke depan tak terantuk

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mas Gus dan Cinta yang Tak Saling Memiliki

21 April 2011   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:34 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1303370431796057322

Waktu, posisi dan kepentingan mungkin bisa mengubah sikap seseorang. Kesan ini tertangkap saat pertemuan saya dengan pria ini. Pria yang dihadirkan pada siang itu bukan orang sembarang orang. Kalau antara tahun 1992-1999 ia harus mendekam di penjara RI, namun di Depok tanggal 22 Maret 2011 lalu ia hadir untuk berbicara di podium, menerima sambutan meriah dari lebih 200 orang di sana. Ia adalah Jose Alexandre Kay Rala Xanana Gusmao, yang bukan lagi penghuni Lembaga Permasyarakatan, melainkan Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste. Ia hadir untuk menyampaikan kuliah umum bertajuk “Timor Leste’s State Building Experiences Within Regional & Global Context”. Kabar mengenai acara itu saya terima dari sahabat saya, Daniel Awigra, via pesan pendek pagi hari 22 Maret 2011 itu. Kebetulan ia tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana jurusan hubungan internasional di Universitas Indonesia. Ia melontarkan sebuah undangan yang mustahil saya tolak. Sekadar catatan, sahabat saya yang satu ini bukan sekali dua kali mengajak saya untuk menghadiri seminar ini, diskusi itu, talkshow anu, sarasehan anu dan sebagainya. Kalau acaranya di jam kerja, bisa dibilang hampir semua undangannya terpaksa saya abaikan. Tetapi, sekali lagi, saya tak kuasa menolak ajakannya pagi itu. Meski acara dijadwalkan untuk dimulai pukul tiga sore, tapi harus molor sampai sekitar 30 menit kemudian. Bangku barisan depan terisi dengan deretan orang-orang berdasi. Ada Rektor UI, dan juga sepertinya beberapa anggota Paspampres dan staf kedutaan yang mendampingi Xanana. Di sisi kanan dan kiri ruangan, juga di belakang, tak sedikit orang berdiri demi mendengarkan kuliah Xanana. Makalah disampaikan Xanana dalam bahasa Inggris, dengan sejumlah kata yang tak terdengar jelas pelafalannya. Saat sesi pertanyaan dibuka termin pertama, saya langsung mengacungkan jari. Ada cukup banyak peserta yang mengacungkan jari, jadi saya harus berdiri agar moderator bisa memberi saya kesempatan itu. Akhirnya kesempatan langka itu saya raih juga. Saya mengajukan pertanyaan yang rada sensitif seputar keterlibatan sejumlah petinggi militer republik ini selama proses pendudukan RI di Timor Leste, terutama menjelang dan sesudah proses jajak pendapat tahun 1999. Saya menyodorkan sebuah ironi yang begitu telanjang ditampilkan di panggung republik ini, bahwa mereka yang telah terlibat dalam sejumlah pelanggaran itu justru malah mendapat tempat spesial dalam jajaran elit negeri ini, tanpa pernah tersentuh hukum. Tanya saya pada Xanana, “It’s a great honour for me to address this question directly to you, Mr.Prime Minister Xanana Gusmao. I lived in Timor Leste for ten years, between 1988 until 1998, one year before the referendum.We are here to build an engagement between Indonesia and Timor Leste, while in the same time we have human rights problems when Timor Leste was one of 27 provinces of RI. What’s your expectations from the process of justice in Timor Leste? As we know some of Indonesian elites were involved on the violations against human rights in Timor Leste, when Timor Leste was one of 27 provinces of the Republic of Indonesia.” Ratusan pasang mata di forum itu sontak mengalihkan pandangan ke saya, karena saya juga mengatakan pernah menetap di Timor Leste selama sepuluh tahun antara tahun 1988 hingga 1999, setahun sebelum referéndum, dan menyapanya dalam bahasa Tetun: boatarde (selamat sore), diak ka lae (apa kabar), obrigado (terima kasih). Setelah menjawab dua pertanyaan pertama dari floor Xanana pun menjawab pertanyaan saya. Ia mengawalinya dengan terlebih dahulu bertanya, “Hau diak hela. Itaboot diak ka lae? Itaboot hakarak hau hatan iha Tetun, depois mak itaboot traduz ba sira seluk? (Saya baik-baik saja. Bagaimana kabar anda? Anda mau saya jawab dalam bahasa Tetun, kemudian anda terjemahkan untuk yang lain?”) Saya hanya menggeleng sambil tersenyum dari tempat saya duduk. Secara umum, Xanana menjawab, bahwa sebaiknya kita tak perlu terus-menerus memikirkan apa yang terjadi di masa lalu. Xanana menekankan, biarlah masa lalu tetap menjadi masa lalu. “Korbannya sudah meninggal, mau apa lagi?” katanya. Xanana juga menjawab, “We didn’t say ‘forget’, but let it behind.” Ia mencontohkan banjir yang kerap terjadi di Jakarta. Ketika sejumlah korban telah berjatuhan, bukankah lebih baik kita memperbaiki saluran-saluran air, supaya banjir tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Menarik Perhatian Setelah pertanyaan itu dijawab Xanana, tanpa pernah saya duga sebelumnya, hal itu menarik perhatian seorang perempuan di bagian kiri depan, tak jauh dari kursi VIP yang diduduki Rektor UI, entah siapa dia, berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya sambil mengarahkan dua pasang mata mereka pada saya. Tak lama, salah satu di antara mereka pun mendekati saya dan terjadilah percakapan ini: “Mas namanya siapa?” “Aries, mbak.” “Kuliah di UI?” “Nggak, mbak. Saya karyawan swasta.” “Oh, bukan kuliah di UI?” Saya menggelengkan kepala. “Pernah kuliah di UI?” “Nggak pernah, Mbak. Saya kuliah di Purwokerto dulu.” Ia pun ngeloyor pergi, meninggalkan satu pertanyaan dalam hati saya, kenapa dari sekian penanya, hanya saya yang ditanyai begitu? Berubah Suasana kuliah umum itu awalnya sedikit kaku, meski Xanana berkali-kali berusaha untuk mencairkan suasana. Ketika ia terbatuk sewaktu membacakan materi, ia nyeletuk dalam bahasa Inggris “Untuk anak muda, jangan merokok!” Spontan seisi ruangan dibuatnya tergelak. Ternyata, itu bukan gurauannya yang pertama dan terakhir. Setelah sekitar satu jam sesi berjalan, ia pun ‘menyerah’ dan berkata, “Kita pakai bahasa Indonesia saja ya? Dari tadi capek juga pakai bahasa Inggris.” Lagi-lagi, pria yang semasa ditahan di LP Cipinang disapa Mas Gus ini, mengocok perut hadirin dengan berkata, “Dari tadi saya pikir, ‘ini orang-orang di sini mengerti tidak dengan bahasa Inggris saya? Jangan-jangan tidak mengerti.” Mulai detik itu, hingga forum usai ia berkomunikasi dengan audiens dalam bahasa Indonesia, sambil mengakui keterbatasannya menggunakan bahasa Inggris yang bukan merupakan bahasa ibunya. Buat saya, sebuah pertanyaan masih membayang tentang perubahan sikap Xanana. Terlebih bila saya bandingkan dengan apa yang ia katakan pada wartawan Tempo pada 21 Juli 2004. “Yang pantas menjalani hukuman adalah mereka yang diberi tugas dan tanggung jawab keamanan pra dan pasca jajak pendapat 1999,” papar Xanana saat memprotes putusan hukuman penjara tiga tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung RI pada mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares, karena dituduh bertanggungjawab pada kasus pelanggaran berat terhadap kemanusiaan di Timtim selama tahun 1999. Xanana menegaskan, saat itu, sesuai kesepakatan 5 Mei 1999 antara Indonesia-Portugal dan PBB, tanggung jawab keamanan berada di tangan militer dan polisi Indonesia. Karena itu, lanjut Xanana, tragedi kemanusiaan 1999 adalah tanggung jawab TNI dan polisi, bukan tanggung jawab Abilio. Dari situ kita melihat pada masanya, Xanana, yang juga seorang public speaker kharismatis, jauh dari kesan kaku alias formal, begitu garang sebagai pimpinan gerakan kemerdekaan. Mungkin saja posisinya sebagai petinggi di negeri tetangga itu telah membuatnya (sedikit) lebih santun dan ‘lembut’ dalam berdiplomasi. Waktu dan posisi mungkin telah mengubah banyak hal. Adakah tekanan yang ia hadapi, sehingga ia harus berubah? Apakah ia, yang dulu berjuang mengangkat senjata bertarung melawan serdadu ABRI, dengan mudahnya melupakan darah para pejuang Timor Leste yang sudah tertumpah? Pertanyaan-pertanyaan itu masih harus kita telusuri jawabannya, guna mengetahui mengapa Xanana berubah? Tetapi, terlepas dari apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Timor Leste telah menjadi sebuah negara dan bangsa merdeka dan berdaulat. Suka atau tidak. Satu yang pasti, seperti kata sebuah lagu, yang dikutip oleh Dekan FISIP UI, Bambang Shergi Laksmono yang menjadi moderator pada acara itu bahwa, “Cinta memang tak harus saling memiliki...” Foto oleh Adam Dwi, Media Indonesia Sumber: http://www.mediaindonesia.com/foto/9411/Kuliah-Umum-Xanana#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun