Dari argumentasi-argumentasi tentang hukum progresif diatas jika dikaitkan dengan konteks perkara penganiayaan Novel Baswedan, patut majelis hakim penerapkan asas ultra petita dalam putusannya atau tidak terbelenggu dari tuntutan pidana JPU sebagai wujud pemaknaan teori hukum progresif agar keadilan subsantif bisa dirasakan oleh subjek hukum dalam hal ini korban Novel Baswedan.
Penerapan asas ultra petita juga memiliki landasan atas teori sistem hukum klasik, di mana sebenarnya perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan, merupakan isu klasik.Â
Kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. (Mahfud MD, 2012:399)
Secara konstitusional penerapan ultra petita oleh hakim merupakan amanat dari Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan" serta dalam Pasal 28D ayat (1) juga menegaskan bahwa "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan "kepastian hukum yang adil".Â
Jadi, tekanannya bukan hanya pada kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil. Berkaca pada penegakan hukum masa lalu yang hanya menegakan hukum (procedural justice), amandemen UUD 1945 menegaskan prinsip penegakan keadilan ke dalam konstitusi dalam proses peradilan.Â
Para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat (peradilan) daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice). (Mahfud MD, 2012:400)
Demikian pula, pada irah-irah tiap putusan juga selalu tertulis, putusan dibuat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", dan bukan "Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang." Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakan keadilan meski jika terpaksa melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan.
Tuntutan JPU tersebut berdampak buruk terhadap pemberantasan korupsi kedepan, Dalam hal ini perlindungan keamanan serta tidak mencerminkan jaminan keadilan terhadap aparat penegak hukum yang bertugas dalam upaya pemberantasan korupsi. Tuntutan tersebut juga tidak mencerminkan bahwa salah satu tujuan dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan individu (korban).
 "ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan".- Pramoedya Ananta Toer
Penulis: Pascal Wilmar Yehezkiel Toloh
Referensi: