Persidangan yang belum pada tahap akhir masih memberikan peluang kepada korban, dimana pada akhir persidangan akan dibacakan putusan akhir dari majelis hakim (Vonnis), sehingga momentum untuk melahirkan keadilan bagi para pencari keadilan dalam hal ini pihak korban Novel Baswedan.Â
Hakim harus mampu mencari kebenaran materil dan mengabaikan tuntutan JPU lewat Ultra Petita untuk menciptakan keadilan substantif dalam rangka menegakan hukum dan keadilan di bumi nusantara.
Hakim sebagai wakil tuhan yang merupakan garda terakhir dari proses pencarian keadilan pada dasarnya memiliki kebebasan dalam menilai fakta hukum di persidangan,
Sebagaimana yang termuat dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian "negatief wettellijk" yaitu hakim menyatakan bersalahnya seorang terdakwa didasarkan keyakinan dan dua alat bukti yang sah. apalagi para pihak yang berperkara jelas meminta ex aequo et bono (putusan yang seadil-adilnya).
Majelis hakim diharapkan melakukan ultra petita dalam perkara ini. yakni sebuah asas dimana hakim dapat memutus suatu perkara melebihi apa yang dituntut oleh JPU dalam perkara pidana dengan rasa adil dan rasional, dengan catatan tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang.
Artinya, majelis hakim memiliki hak prerogatif yang tidak boleh diintervensi pihak manapun, termasuk mengamini tuntutan JPU.Â
Dasar hukum penerapan ultra petita dalam perkara pidana dapat berpijak  pada Yurisprudensi putusan MA No. 675 K/pid/ 1987, tgl 21-031989 sebagai dasar hukum telah menjatuhkan  putusan berupa menyatakan  bersalah  serta  menghukum terdakwa dengan putusan di luar dakwaan Jaksa penuntut Umum.
Teori Hukum Progresif
Asas ultra petita merupakan cerminan dari teori hukum progresif yang terkenal dengan ungkapan Satjipto Rahardjo bahwa "Hukum Untuk Manusia, Bukan Manusia Untuk Hukum". Mengutip argumentasi Prof.Moh. Mahfud MD yang memberikan definisi tentang hukum progresif, dimana bagi seorang hakim hukum progresif adalah hukum yang bertumpu pada keyakinan hakim, dimana hakim tidak terbelenggu pada rumusan undang-undang.Â
Dalam mengunakan hukum progresif, seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan dengan melanggar Undang-Undang. Apalagi, tak selamanya Undang-Undang bersifat adil.Â
Juga, Prof. Denny Indrayana mengelaborasi pikiran-pikiran hukum progresif ke dalam beberapa karakter Antara lain hukum progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Hukum progresif mendudukkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam satu garis.